Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seribuan bibit ikan dilepaskan di sebuah empang di Desa Tunggang, Kabupaten Lebong, Bengkulu, pada 29 September 2022. Dalam video yang diunggah Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Taneak Jang itu, pelepasan ikan mas tersebut tak dilakukan begitu saja. Namun diberi mantra atau dikenal dengan istilah idau japai yang dilakukan masyarakat suku Rejang. Prosesi tersebut dilakukan sebagai doa agar ikan-ikan itu berkembang biak dengan baik dan terhindar dari wabah penyakit.
Tak jauh dari lokasi empang, para pemuda adat Taneak Jang membudidayakan tanaman herbal, seperti sirih, kunyit, dan jahe, untuk merawat pengetahuan sehat leluhur Rejang, serta membuka peternakan itik petelur. Kegiatan ini merupakan bagian dari program Gerakan Pulang Kampung. “Kita sudah mulai kegiatan ini sejak Agustus 2022,” kata Ketua BPAN Taneak Jang, Sulastri, kepada Tempo, Jumat, 28 Oktober 2022.
Mereka mencanangkan Gerakan Pulang Kampung sejak sepuluh tahun lalu. Hal itu berangkat dari kondisi jumlah pemuda di kampung yang mulai berkurang, termasuk di Desa Tunggang. Sulastri menuturkan banyak pemuda adat di desanya pergi merantau, lalu lupa dengan wilayah adatnya. Sebelum memimpin BPAN Taneak Jang, Sulastri sudah aktif terlibat bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Pada 2019, dara berusia 20 tahun ini mengidentifikasi tanaman-tanaman herbal di wilayahnya. Ia juga mempelajari etnomedisin hingga menerbitkan buku.
Sebelum Gerakan Pulang Kampung hadir, kegiatan masyarakat setempat hanya bertani. Padahal, kata Sulastri, banyak lahan yang bisa dimanfaatkan lebih maksimal. Karena itu, Sulastri dan kawan-kawannya menggagas tiga pilar dalam gerakan, yaitu budi daya ikan mas, beternak itik petelur, dan budi daya tanaman obat. Dengan tiga program tersebut, masyarakat Taneak Jang kini mulai memiliki banyak kegiatan.
Itik petelur hasil budi daya pemuda adat Taneak Jang. Dok. BPAN Taneak Jang
“Kita ingin mengajak masyarakat sekitar melihat kita sebagai contoh bahwa kita bisa mengelola wilayah-wilayah adat,” kata mahasiswi Universitas Terbuka Bengkulu ini.
Di samping program kedaulatan pangan tersebut, Sulastri bersama pemuda di kampungnya berupaya mengembalikan adat istiadat yang mulai pudar. Salah satunya Muang Apem, ritual peninggalan leluhur masyarakat Lebong. Kearifan lokal ini biasanya dilakukan lima tahun sekali, dengan memotong kambing atau sapi untuk buang sial. “Tiap lima tahun sekali sudah ditentukan. Tapi sekarang mulai jarang.”
Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara, Michelin Sallata, mengatakan masyarakat adat saat ini belum berdaulat di tanah adatnya sendiri. Hal ini, kata Michelin, menjadi salah satu alasan cita-cita Sumpah Pemuda belum tercapai hingga saat ini. Ia menilai masih ada diskriminasi terhadap masyarakat adat, termasuk para pemuda dan perempuan adat.
Meski merayakan Sumpah Pemuda setiap 28 Oktober, Michelin bersama para pemuda adat masih mengupayakan implementasinya. Ia berdampingan dengan para tetua adat di komunitas memperjuangkan hak-hak ulayat, serta sejarah asal-usul nenek moyang agar tidak tergerus dan punah.
Selain itu, Michelin yakin banyaknya pemuda adat yang meninggalkan kampung bukan hanya karena keinginan pribadi, tapi juga tersebab banyak tanah adat direbut dan dijual. Padahal tanah tersebut merupakan salah satu sumber kekayaan masyarakat adat. “Sebenarnya kalau tidak direbut, mereka masih bisa tinggal di situ, membangun usaha tertentu sehingga tidak harus merantau.”
Sri Tiawati (tengah) di Sekatak, Bulungan, Kalimantan Utara. Zah Photograph
Program Gerakan Pulang Kampung tercetus ketika BPAN lahir pada 2012. Di samping gerakan kedaulatan pangan, kini sudah lahir berbagai sekolah adat yang diprakarsai pemuda adat di berbagai wilayah di seluruh Nusantara. Jumlahnya sudah mencapai 90 unit. Salah satunya sekolah adat yang didirikan Sri Tiawati, wanita asal Desa Kelembunan, Kecamatan Sekatak, Kalimantan Utara. Perempuan keturunan Dayak Punan ini mendirikan Sekolah Adat Punan Semeriot (SAPS) di Kampung Semeriot pada 2013.
Sekolah adat ini berdiri untuk melawan stigma tentang Punan yang disebut kotor, jorok, dan bodoh. “Banyak yang menggunakan kata Punan mengacu pada memakan manusia, kemudian tidak tahu apa-apa,” ucap Sukhet, panggilan akrab Sri. Dia juga mengatakan tujuan adanya sekolah ini adalah untuk mengembalikan identitas, memperkuat jati diri, dan mempertahankan wilayah adat.
Sebelum ada sekolah adat Punan, di daerah tersebut sudah ada sekolah formal yang dibangun. Namun, karena tenaga pendidik tidak sanggup mengajar di sana, akhirnya mereka memutuskan keluar. “Gurunya enggak tahan menunggu dan mengejar mereka berladang dan meramu,” ucap wanita berusia 29 tahun tersebut.
Untuk membuat anak-anak mau belajar, Sukhet menerapkan metode berbeda. Proses belajar-mengajar ini pun dilakukan di alam terbuka, seperti di ladang, kebun, hutan, atau di pinggir sungai. Hal ini dia lakukan agar proses belajar tidak membosankan.
Sri Tiawati di Sekatak, Bulungan, Kalimantan Utara. Zah Photograph
Sukhet ditemani oleh beberapa guru tamu yang berasal dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), kelompok, dan individu lainnya. Beberapa orang tua juga ikut membantu mengajar. “Belajar sejarah dengan kepala suku. Belajar obat herbal dengan tabib. Tugas saya hanya memfasilitasi, tidak mengajar,” ucapnya.
Di Sekolah Adat Punan Semeriot juga diajarkan membaca, menulis, dan menghitung (calistung) lantaran ada banyak anak belum pernah belajar di lembaga pendidikan formal. Ada delapan mata pelajaran di sana. Selain calistung, ada sejarah, bahasa, budaya dan kesenian, bercocok tanam lokal, meramu obat tradisional, kuliner, serta penerapan hukum dan aturan adat.
Saat pertama kali mulai belajar, terhitung hanya enam anak yang mengikuti sekolah. “Karena kelompoknya terpisah-pisah, ada yang di wilayah adat paling dalam.” Dari enam orang tersebut bertambah menjadi 12 orang. Hingga kini, sekolah yang terletak di Semeriot, Desa Ujang, Sekatak, Bulungan, ini memiliki lebih dari 100 siswa, beberapa di antaranya orang dewasa. “Jadi, siapa pun yang mau belajar silakan, kapan pun dan di mana pun. Karena alam raya adalah sekolahku,” tutur Sukhet.
Sukhet mengaku anak di sana cukup antusias belajar, walaupun pada awalnya terjadi penolakan. Selain keluarga Sukhet menentang lantaran kondisinya sedang tidak sehat, penolakan ada dari warga Punan. Sukhet menuturkan, dalam kehidupan warga Punan, orang baru merupakan musibah atau petaka. Kepercayaan juga menjadi faktor penolakan dari para orang tua. “Semua orang di Punan itu tidak berani menitipkan anaknya ke orang lain karena takut anaknya kelaparan.”
Sukhet mengaku tidak ada cara untuk membujuk masyarakat Punan untuk ikut sekolah. “Yang penting, saya rajin datang ke sana dan teman-teman pasti terima,” katanya. Seiring dengan waktu, dampak keberadaan sekolah adat ini mulai terlihat. Salah satunya muncul keberanian anak-anak Punan mengakui identitas mereka. “Setelah adanya sekolah adat, sekarang mereka berani mengakui bahwa mereka adalah Punan.”
Dari awal berdirinya hingga sekarang, Sekolah Adat Punan Semeriot telah dikenal sebagai salah satu pionir sekolah adat di Indonesia. Mereka telah bekerja sama dengan relawan-relawan dari tingkat lokal hingga internasional. Sukhet kini berencana membuka sekolah adat baru. Sejak pandemi merebak, ia mulai sibuk mensosialisasi pendidikan adat ke beberapa daerah komunitas Punan, seperti Punan Tugung, Binai, dan Batu.
Inisiator Sekolah Adat Sihaporas Risnan Ambarita (kanan) mengadakan diskusi dengan Pemuda Adat Sihaporas mengenai program belajar bersama di Buttu Pangaturan, Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Sumatera Utara, 27 Juli 2022. Dok BPAN
Tak hanya di bumi Borneo, sekolah adat juga hadir di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Sekolah ini didirikan oleh sejumlah pemuda dari BPAN Sihaporas. Inisiator Sekolah Adat Sihaporas, Risnan Ambarita, menuturkan anak-anak diberi pendidikan adat yang mencakup sistem pembelajaran tradisional, filosofi, budaya, serta kreativitas yang menjamin keberlangsungan pengetahuan dan praktik adat dari generasi ke generasi.
Ia mengatakan, dengan menerapkan nilai-nilai adat, pemuda adat diharapkan dapat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dalam bermasyarakat. "Dengan adanya program 'Belajar Sama-sama di Sekolah Adat Sihaporas' menjadi peluang bagi pemuda adat untuk mempelajari dan menggali kembali budaya leluhur yang perlahan hilang terkikis zaman," kata dia dikutip dari Witness.tempo.co.
Cara untuk kembali mengenali budaya leluhur, kata Risnan, melalui pendidikan adat. Ke depan, pemuda adat diharapkan dapat menjadi lebih kreatif dan berbudaya. Ia menuturkan bentuk-bentuk baru pendidikan adat juga muncul. Salah satunya melalui perjuangan-perjuangan seluruh elemen masyarakat untuk mempertahankan tanah adat. Pendidikan adat juga menjadi sarana untuk memperteguh masyarakat adat dalam perjuangan tersebut.
FRISKI RIANA | DAFFA SIDQI KAHFIARI (MAGANG)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo