Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perkenier Terakhir Banda Naira

Pala, yang merupakan komoditas utama dari Kepulauan Banda Naira, sempat berjaya pada abad ke-16. Belanda, melalui VOC, bahkan memboyong 37 perkenier (pemilik kebun) dari Negeri Kincir Angin itu ke Banda untuk mengelola perkebunan demi memenuhi monopoli pasokan pala di pasar Eropa. Tersisa satu keturunan perkenier terbesar dari abad ke-16 di Banda Naira, Pongky Erwandi van den Broeke, yang kini hanya mengelola 12,5 hektare lahan. Ia menjadi korban kerusuhan 1999.

12 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pala, yang merupakan komoditas utama dari Kepulauan Banda Naira ,sempat berjaya pada abad ke-16.

  • Belanda melalui VOC bahkan memboyong 37 perkenier dari Negeri Kincir Angin itu ke Banda untuk mengelola perkebunan demi memenuhi monopoli pasokan pala di Pasar Eropa.

  • Tersisa satu keturunan perkenier terbesar abad ke-16 di Banda Naira, Pongky van den Broeke, yang kini hanya mengelola 12,5 hektare lahan.

JELAGA menyelimuti seluruh permukaan dinding lantai dua bangunan tua dengan alas kayu dan bambu yang mulai rapuh. Beberapa di antaranya bolong. Jika diinjak, kayu-kayu itu retak. Di bawahnya terdapat dua tungku menyala. Di kala siang, tungku itu digunakan untuk memasak. Saat petang tiba, tungku kembali menyala untuk mengasapi biji pala. “Ini tempat pengeringan pala, dibangun tahun 1729,” kata Pongky Erwandi van den Broeke, pertengahan November lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tempat pengeringan itu merupakan bagian dari kompleks groot waling atau perkebunan besar peninggalan nenek moyang Pongky yang merupakan anggota Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda atau Vereegnide Oostindische Compagnie (VOC) di Pulau Banda Besar, Banda Naira, Maluku. Pintu gerbang tua membentengi perkebunan ini dari riak ombak pantai di pulau yang berbentuk bulan sabit tersebut. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pongky van den Broeke di tempat penyulingan minyak atsiri pala di kompleks perkebunan miliknya, Pulau Banda Besar, Banda Naira, Maluku Tengah. Tempo/Linda Trianita

Pongky merupakan perkenier (pemilik kebun) terakhir atau generasi ke-13 keturunan Van den Broeke. Ibunya asli Madiun, Jawa Timur. Sedangkan ayahnya adalah Benny William van den Broeke, keturunan ke-12 dari Paulus van den Broeke, adik Pieter Jan van den Broeke, yang merupakan admiral Angkatan Laut Kerajaan Belanda yang pertama kali menginjakkan kaki di Banda Naira pada 1621. “Dia mendapat tugas melihat situasi rempah-rempah di Banda,” ujar pria 62 tahun itu. Setelah mengobservasi, Jan kembali ke Belanda dan memboyong saudaranya yang ahli di bidang pertanian, Paulus, untuk memulai bisnis perkebunan pala. Paulus menjadi perkenier pertama klan Van den Broeke di Banda Naira.

Paulus mengembangkan perk (kebun) pertama di Pulau Ay, yang berjarak 9,9 kilometer dari Pulau Banda Besar. Keluarga Van den Broeke mendirikan groot waling yang diberi nama Welvaren seluas 20 hektare. Kebun besar pertama itu langsung membuahkan hasil. Mereka berekspansi membuka kebun baru bernama Waltevreden di Pulau Ay juga dan Waltevreden Lonthoir di Pulau Banda Besar. Di Banda Besar dan tempat lain, seperti Pulau Rhun, mereka juga memiliki beberapa perkebunan kecil atau klein waling. “Total perkebunan Van den Broeke saat itu 140 hektare,” ucap Pongky.

Paulus van den Broeke menjadi perkenier terbesar di Kepulauan Banda pada 1660-an hingga 1670-an. Mengutip media Belanda, Trouw, salah satu kebun Van den Broeke menghasilkan hampir 24 ribu pon atau 20 ton pala dan 6.000 pon atau 2,9 ton fuli (bunga pala) pada sekitar 1690. Perkenier Van den Broeke kala itu memiliki 160 pekerja dan 55 budak. Heeren XVII—direksi VOC—memperdagangkan pala dengan harga yang sangat tinggi. Pada 1750, 1 pon pala dibeli seharga 45 sen, kemudian dijual 6,40 gulden di pasar Eropa.

Pemandangan di Banda Naira, Maluku Tengah, pada 1930-an. KITLV

Tokoh Banda, Des Alwi, dalam bukunya yang berjudul Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon (2005) menyebutkan, sebelum VOC masuk, masyarakat di sana sudah menjualbelikan pala sejak zaman Romawi melalui Samudera Pasai sehingga Banda Naira terkenal dengan nama pulau parfum dan rempah-rempah. Hal ini juga yang mendorong Raja Portugal memerintahkan Christopher Columbus menemukan kepulauan tersebut di sebelah barat. Perintah itu baru terlaksana pada 1511 di era Laksamana Alfonso de Albuquerque, yang berhasil menaklukkan Malaka, pusat rute perdagangan timur jauh Asia.

Menjelang abad ke-16, pala, yang menjadi hasil utama Kepulauan Banda Naira, merupakan komoditas utama yang paling dicari pasar Eropa. “Kepulauan Banda Naira satu-satunya penghasil komoditas tersebut,” tulis Des Alwi. Pohon pala tumbuh di wilayah tropis yang lembap dengan tanah vulkanis dan berkapur.

Orang-orang Portugis memboyong pala dan rempah lain ke pasar Eropa dengan keuntungan hampir 1.000 persen. Mereka menetap di Pulau Tidore dan Ternate, wilayah sebelah utara Kepulauan Banda Naira. Pada 1599, para pelaut Belanda tiba di Banda Naira dan diikuti pelaut Inggris pada 1601. Rombongan Belanda di bawah komando Laksamana Jacob van Neck, yang melakukan ekspedisi kedua di Hindia Timur dengan dibiayai Compagnie van Verre (pendahulu VOC), sejak awal datang memperkenalkan diri sebagai musuh Portugis.

Kapal pinisi melintas di kawasan Gunung Api Banda, Banda Neira, Maluku, Mei 2016. Dok.Tempo/Iqbal Lubis

Dengan membawa persyaratan yang ditujukan bagi orang kaya—sebutan untuk tokoh masyarakat setempat—Belanda diterima di Kepulauan Banda Naira. Mereka kemudian mengangkut rempah-rempah itu untuk diperdagangkan di pasar Eropa. Belanda berupaya merintangi perdagangan Inggris dengan memaksakan perjanjian antara Belanda dan penduduk Kepulauan Banda Naira. Portugis lama-lama juga tersisih oleh kehadiran Belanda.

Ekspedisi Belanda datang dan kembali silih berganti dengan muatan rempah-rempah. “Cara berdagang mereka yang tidak simpatik membuat kebencian penduduk Banda kepada pendatang ini makin meningkat,” tulis Des Alwi. Perjanjian banyak dilanggar. Laksamana Pieterszoon Verhoeven tiba di Hindia dari Belanda pada 1608 dan berupaya membuat perundingan dengan orang kaya Banda, tapi selalu gagal. Verhoeven bersama 40 pasukannya dibunuh masyarakat Banda. Gubernur Jenderal baru VOC, Jan Pieterszoon Coen, kemudian menaklukkan Kepulauan Banda Naira pada 1621. Pada saat itu juga, Coen dan pasukannya membantai sebagian warga Banda. Orang asli Banda yang selamat dari pembantaian brutal ini melarikan diri ke pulau lain yang sulit dijangkau. 

Buah Pala yang sudah siap dipanen di perkebunan Pongky van den Broeke di Pulau Banda Besar. Tempo/Linda Trianita

Desa-desa di Banda diperkirakan hancur lebur oleh serangan 1.600 tentara Belanda, tapi pohon pala tersisa utuh. Setelah menyingkirkan orang kaya dan sebagian masyarakat asli, mulailah Belanda membawa perkenier dari negaranya untuk mengelola kebun pala. Bukan cuma keluarga Van den Broeke, sebanyak 36 perkenier lain dipelihara Kerajaan Belanda untuk menguasai kebun pala di Banda Naira. Para perkenier pertama ini merupakan pegawai VOC dan mantan tentara Kerajaan Belanda. Mereka diberi fasilitas mewah. Rumah perkenier beralas marmer impor dengan lampu gantung kaca besar yang datang langsung dari Negeri Kincir Angin itu.

Tiap malam, para perkenier menggelar perjamuan makan sembari diiringi musik dan tarian. Perkenier mengelola kebun-kebun itu dengan status pinjaman dari kerajaan. Syaratnya, mereka harus memasok pala secara eksklusif ke VOC dengan harga tetap. Arkeolog senior Tim Ahli Cagar Budaya Nasional, Junus Satrio Atmodjo, mengatakan bisnis pala berjalan baik dan pernah mencapai titik kejayaan. “Saat monopoli itu, harga pala jauh di atas harga emas,” kata Junus. Monopoli Belanda atas penjualan pala berakhir saat harga di pasar Eropa menurun pada abad ke-19. Perbudakan dihapuskan dan dibuka untuk tenaga kerja berbayar. Hak eksklusif VOC untuk menjualbelikan pala dibatalkan.

Perkenier diserahkan ke sistem pasar bebas. Perdagangan bangkit kembali ketika komoditas pala hilang di pasar akibat penyakit menular di daerah produksi Inggris pada sekitar 1870. Pada 1880, harga pala anjlok selamanya. Wilayah persemakmuran Inggris di India dan Afrika mulai memproduksi pala juga. “Monopoli pasar Belanda runtuh karena kelebihan produksi,” ujar Junus. 

Perang Dunia Kedua kemudian meletus dan Jepang masuk ke wilayah Nusantara. Mereka menebang banyak pohon kenari serta pala untuk diganti dengan ubi dan singkong. Menurut Junus, Jepang saat itu tak tertarik pada rempah-rempah. “Jepang orientasinya menguasai minyak dan beberapa perkebunan karet yang sebelumnya dikuasai Belanda,” ucapnya.

Tatkala pendudukan Jepang itu, perkebunan pala Van den Broeke juga banyak beralih menjadi ladang ubi dan singkong. “Kakek saya, William Frederick Steiner van den Broeke, dibuang ke Makassar,” kata Pongky. Ayah Pongky, Benny, ditahan di Banda. Setelah Indonesia lepas dari cengkeraman Belanda dan Jepang, Benny tak memiliki apa-apa lagi.

Aset perkebunan yang sebelumnya dikuasai Belanda dan Jepang dirampas untuk negara. Pongky bersama empat saudaranya tinggal di Surabaya, lalu berpindah domisili ke Jakarta. Pada 1976, Benny berupaya meminta kembali perkebunannya itu dari pemerintah Soeharto. Kebun-kebun pala di Pulau Banda Naira, Banda Besar, Ay, Hatta, dan Rhun dikelola perusahaan daerah tingkat provinsi dan kabupaten, termasuk milik keluarga Van den Broeke.

Kakek dan ayah Pongky tinggal di Pulau Banda Naira. William kerap mengunjungi groot waling-nya di Pulau Banda Besar. Bangunan tempat pengolahan pala di kompleks perkebunan itu dijadikan rumah buruh perusahaan daerah. Ketika permohonan permintaan kembali pengelolaan kebun dikabulkan pemerintah Orde Baru pada 1978, Benny mulai menanam pala lagi. Tapi bukan 140 hektare lahan yang diberikan sebagaimana kepemilikan awal, pemerintah menyerahkan 12,5 hektare saja. “Prosesnya panjang sekali,” tutur Pongky.

Benny membabati singkong dan ubi tanaman buruh Jepang di kebunnya. Ada pala yang tersisa, yang sempat dikelola perusahaan Pala Nusantara, tapi kondisinya memprihatinkan. “Mereka tahunya cuma mengambil hasil, memetik, jadinya hancur,” ucap Pongky. Ayah Pongky memulai reboisasi dan penataan ulang perkebunan.

Pintu gerbang Groot Wailing di Pulau Banda Besar milik perkenier van den Broeke, 1920. KITLV

Teknik budi daya pala masih tradisional, mengandalkan biji pala sisa makanan burung yang tumbuh berkeliaran di lahan. Pada 1985, Pala Nusantara juga mulai berhenti berproduksi karena gurita korupsi. Ayah Pongky tetap mengurus perkebunan miliknya. Gunung api Banda lantas meletus pada 1988. Pongky, yang telah bekerja di Jakarta sebagai mekanik, mengunjungi orang tuanya. “Setelah kunjungan itu, telegram terus datang ke saya. Papi meminta saya meneruskan perkebunan ini,” ujarnya.

Ia mengumpulkan para saudaranya untuk berembuk, menentukan siapa yang kembali ke Banda Naira. Ketiga saudara Pongky angkat tangan. Mau tak mau Pongky mengalah dan memboyong keluarganya kembali ke kampung kelahirannya itu dua tahun kemudian. “Sejak balik ke sini, saya lebih banyak tinggal di kebun, belajar menanam dan mengelola yang baik,” tuturnya. Dalam sekali panen, Pongky bisa menghasilkan 6-7 ton biji pala kering. Dalam setahun, periode 2005 ke bawah, Pongky bisa memanen pala hingga dua kali. Di kebunnya, Pongky sempat menunjukkan beberapa pohon yang berusia 200 tahun lebih. “Pohonnya lebih hitam dan lebih besar, masih berbuah lebat hingga kini,” katanya. Buah pala menguning bergelantung di pohon-pohon rindang itu.

•••

MASSA mengerubungi rumah Pongky Erwandi van den Broeke di Pulau Banda Besar, Kepulauan Banda Naira, pada medio 1999. Mereka melemparkan batu dan berteriak agar Pongky keluar dari kediamannya. Melalui pintu samping, Pongky membawa istri, dua anak, ibu, dan bibinya ke rumah kosong yang berjarak satu kilometer dari sana. Ia kembali lagi ke kediamannya untuk mengambil surat-surat berharga melalui jendela.

Kerumunan massa merangsek masuk ke kediaman Pongky. Hanya membawa separuh dokumen, Pongky keluar dari rumah itu dengan melompat dari jendela lagi. “Saya sempat terkena bacok juga saat keluar dari jendela,” ucapnya pada pertengahan November lalu. Dia melarikan diri ke perbukitan. Tapi ia terpisah, tak bisa kembali ke rumah kosong tempat istri dan anak-anaknya bersembunyi. 

Kake Pongky di van den Broeke di tempat pengasapan pala. Istimewa

Serangan massa itu merupakan imbas konflik horizontal di Ambon pada 1999. Sebagian masyarakat di Ambon mengungsi ke Pulau Banda, yang bisa ditempuh dalam 8-12 jam menggunakan kapal. Salah satu tokoh masyarakat Banda, Mochtar Thalib, mengatakan awalnya warga Kepulauan Banda Naira menjaga agar kerusuhan sektarian itu tak merembet ke wilayahnya. Namun, pada sore itu, terjadi konflik di tengah hajatan warga di Pulau Hatta, 20,4 kilometer dari Pulau Banda Besar. Seorang muslim terbunuh saat pecah pertikaian di Pulau Hatta. “Ada pesta, mungkin pengaruh alkohol,” ujar Thalib.

Kabar itu kemudian tersiar hingga Banda Besar. “Masyarakat terprovokasi,” kata pria 65 tahun tersebut. Sekelompok orang kemudian menggeruduk rumah Pongky, yang dianggap sebagai nonmuslim serta keturunan VOC yang membantai warga asli Banda. Warga membabi-buta dan menemukan persembunyian keluarga Pongky. Istri, dua putri, ibu, dan bibinya dibunuh pada malam nahas itu.

Di tempat persembunyiannya di perbukitan kompleks kebunnya, pikiran Pongky tidak tenang. Ia belum tahu bahwa lima anggota keluarganya dibunuh. “Keesokannya, pukul 5 sore, saya mencium bau kembang,” tutur Pongky menceritakan firasat akan kematian anggota keluarganya.

Pekerja memetik pala di Banda Naira, Maluku Tengah, 1880. KITLV

Dilingkupi perasaan takut, Pongky turun menuju kediaman salah satu sanak saudaranya. Ia masuk melalui pintu dapur. Saudara Pongky itu langsung menjumpainya dan bercerita bahwa istri, ibu, dua anak, serta bibinya tak bisa diselamatkan. Lutut Pongky lunglai. Dia tak mampu berdiri. Namun ia harus tetap waspada. “Pas masuk ke rumah saudara, saya merasa ada banyak mata yang melihat,” ucap pria 62 tahun itu.

Pongky buru-buru keluar dari rumah saudaranya dan kembali ke tempat persembunyian. Warga tetap mencari Pongky siang dan malam. Saat di persembunyian, sayup-sayup ia mendengar amarah warga. “Bunuh dia. Dia bukan orang Indonesia. Kenapa orang Belanda bisa punya kebun di sini,” ujar Pongky menirukan ucapan para pemburunya.

Sembilan hari kemudian, Pongky memutuskan menyerahkan diri dan siap mati. “Buat apa kucing-kucingan, lebih baik aku mati, keluargaku sudah mati,” tuturnya. Begitu Pongky turun dari bukit, banyak orang yang membawa senter dan parang mengerubunginya. “Pane (kamu) cari siapa, ini beta (saya) Pongky. Beta sudah tahu pane bunuh keluarga beta. Bunuh saja beta sekalian,” kata Pongky kepada para pemburunya.

Saat kerumunan orang-orang itu mendekat, satu pasukan tentara datang. Para tentara siap mengokang senjata sembari berseru agar mereka berhenti. “Dari situ saya langsung dibawa tentara ke rumah Pak Des Alwi, penginapan The Maulana,” ucapnya. Des Alwi, murid pahlawan nasional Sutan Sjahrir, meninggal pada November 2010. 

Di kediaman Des Alwi, ia bertemu dengan putranya, yang saat itu masih duduk di kelas I sekolah menengah atas, Edo van den Broeke, yang tidak sadarkan diri. Di kepala Edo terdapat luka menganga bekas bacokan. Adik Edo, Putri, juga tak sadarkan diri. Muka bocah kelas VI sekolah dasar itu lebam-lebam. “Putri sempat diselamatkan polisi ke Pulau Ay,” tutur Pongky.

Pegawai Pongky van den Broeke sedang melubangi biji pala yang akan dijadikan benih. Tempo/Linda Trianita

Menghabiskan sembilan hari di The Maulana, Pongky, Edo, dan Putri kemudian bertolak ke Jakarta untuk pengobatan. Mereka dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina selama sebulan. “Sampai sekarang di kepala Edo dipasang slang agar cairan dari perut ke otak atau sebaliknya tidak bocor,” kata Pongky. Putri hingga kini tak mau menginjakkan kaki di Banda Naira. Ia memilih tinggal bersama saudara ibunya di Yogyakarta.

Adapun Pongky dan Edo kembali ke tempat asalnya. Pongky pelan-pelan berkebun kembali dan menikah lagi. Selain memiliki anak Edo dan Putri, Pongky mempunyai dua putri lagi hasil pernikahannya yang terbaru dan dua putra dari istri kedua. 

Perlahan-lahan ia mulai bangkit dan berinovasi. Pongky membudidayakan benih pala dan mendapat sertifikat dari dinas pertanian serta Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan pada 2013. Pekerjanya 12 orang. Dalam satu tahun, ia bisa menjual 350 ribu kecambah pala berukuran 3-5 sentimeter ke seluruh Indonesia. “Pohon khusus bibit dipasangi barcode,” ujarnya.

Dia juga berinovasi membuat minyak atsiri pala sejak 15 tahun lalu. Akibat pemanasan global, buah pala yang masih mentah banyak yang gugur. Merasa pala-pala itu mubazir, Pongky berdiskusi dengan temannya di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Ia disarankan membuat minyak. Pada awalnya, usaha pembuatan minyak ini tidak berjalan lancar. “Hasilnya kurang memuaskan, kandungan air lebih tinggi,” ucap Pongky.

Pieter van den Broecke, dilukis oleh Frans Hals, 1633. Wikipedia

Lulusan sekolah rakyat ini membaca berbagai literatur, kemudian menemukan alat distilasi yang lebih bagus. Setelah melalui uji coba, pala muda yang dipetik bisa menghasilkan minyak 11 persen dari jumlah bahan baku. Namun, jika menggunakan pala yang rontok karena embun atau angin, ia hanya bisa menghasilkan minyak 9 persen dari total bahan baku. Dia menjual minyak atsiri pala ini Rp 1,3 juta per liter.

Kecambah pala berukuran 3-5 sentimeter tadi laku sekitar Rp 1.300 per biji. Adapun harga per kilogram buah pala kering mencapai Rp 90 ribu dan fuli Rp 270 ribu. Kulitnya bisa dibikin sebagai bahan manisan atau sirup pala. “Semua bagian pala bermanfaat. Tak mengherankan jika dulu jadi rebutan bangsa-bangsa lain,” tutur Pongky. Meski harga pala kini tak lebih tinggi dari emas, ia berharap suatu saat komoditas itu berjaya lagi, seperti era nenek moyangnya 400 tahun silam. **

LINDA TRIANITA (KEPULAUAN BANDA NAIRA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Berkarier di Tempo sejak 2013, alumni Universitas Brawijaya ini meliput isu korupsi dan kriminal. Kini redaktur di Desk Hukum majalah Tempo. Fellow program Investigasi Bersama Tempo, program kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dari Belanda, dengan liputan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang melibatkan perusahaan multinasional. Mengikuti Oslo Tropical Forest Forum 2018 di Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus