Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Habis di Mana-mana

Warga di berbagai kota di Jawa berkeliling mencari obat antiviral Covid-19 dari apotek ke apotek. Stok kosong.

10 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Apotek di berbagai kota di Jawa kehabisan obat terapi Covid-19.

  • Warga berkeliling kota mencari obat antivirus tanpa hasil.

  • Efek psikologis ledakan kasus Covid-19 yang terus memburuk.

JAKARTA -- Kesulitan mencari obat antivirus dirasakan oleh Dede Royani, 31 tahun. Padahal dia sangat membutuhkan Azithromycin 500 miligram untuk kakaknya yang terinfeksi virus corona. Sesuai dengan istilahnya, semua ditanggung sendiri selama isolasi mandiri, termasuk kebutuhan obat-obatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Tujuh apotek saya datangi tadi, tapi tidak ada," kata warga Kayu Manis, Kota Bogor, itu kemarin. Tempo menemuinya di Apotek Deli di Jalan Pajajaran, Bogor. Itu merupakan titik kedelapan pencariannya. "Ada obat lain, tapi beda merek. Harganya juga lebih mahal dari biasanya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Merasa kemahalan, pria itu melanjutkan perburuan ke lokasi kesembilan. Dede pun melangkah ke arah Ciawi. "Di sana apoteknya besar. Semoga dapat," katanya.

Safari dari apotek ke apotek menjadi aktivitas yang jamak dilakukan warga berbagai kota besar di Jawa seiring dengan ledakan kasus Covid-19 sejak tiga pekan lalu. Tujuannya, mencari obat yang kerap digunakan dokter untuk terapi pasien Covid-19. Masalahnya, sebelas obat antivirus yang harganya diatur oleh Kementerian Kesehatan sejak akhir pekan lalu malah raib dari pasar.

Afidah Nusaibah di Depok, Jawa Barat, senasib dengan Dede. Penyintas Covid-19 ini berkeliling ke sampai sepuluh apotek di kota di selatan Jakarta itu mencari Azithromycin. "Habis di mana-mana," kata dia.

Dari seorang teman, dia berhasil mendapatkan obat antivirus tersebut. Namun dia harus menebusnya Rp 500 ribuan per strip--isi 10 tablet. Padahal Kementerian Kesehatan menetapkan harga satuan tablet itu tak lebih dari Rp 1.700. "Harganya benar-benar di luar nalar," kata Afidah.

Pengguna memeriksa harga multivitamin yang biasa diberikan kepada pasien Covid-19 dalam marketplace di Pasar Minggu, Jakarta, 7 Juli 2021. TEMPO/Nita Dian

Di Jawa Timur, seorang warga Surabaya melanglang sampai ke Jember demi obat antivirus. Padahal dia sedang terinfeksi virus corona. Awalnya, dia mengucilkan diri di rumahnya di Perumahan Bukit Mas, Surabaya. Pria 55 tahun itu mencari sendiri obat ke apotek-apotek di Kota Pahlawan, namun tanpa hasil.

Lima hari lalu, dia berangkat ke Jember, sekitar 200 kilometer di tenggara Surabaya, demi mendapatkan obat. Ternyata, kondisi di Jember sama saja. Isma Hakim, saudara angkatnya, mengatakan pasien itu kini menjalani isolasi di rumah temannya, seorang dokter rumah sakit swasta di Jember. "Sambil meningkatkan imun," kata Isma.

Belakangan, pasien itu mendapatkan obat antivirus yang ia cari melalui jaringan pertemanan--dengan harga lebih mahal sekian kali lipat. "Meski mahal, ya, tetap dibeli, karena membutuhkan," ujar Isma.

Pencarian obat antivirus ini juga didorong kepanikan warga di tengah badai pandemi Covid-19. Orang yang tidak butuh antivirus pun jadi merasa butuh. Gayanti Endah Pangestuti, warga Cibinong, Kabupaten Bogor, misalnya.

Perempuan 29 tahun ini sempat terjebak panic buying obat, beberapa hari lalu. Penyebabnya, kakaknya batuk, flu, dan mengalami anosmia alias kehilangan kemampuan menggunakan indra pencium dan perasa. Langsung saja sekeluarga menyebut dia terinfeksi virus corona. Dari seorang dokter teman keluarga, sang kakak diresepkan Favipiravir plus multivitamin C2Fit.

Dimulailah perburuan Gayanti. Dia dan suaminya berkeliling Bojong Gede dan Cibinong, Kabupaten Bogor, mendatangi sedikitnya enam apotek. Hasilnya, nihil. Mereka pun menjajal peruntungan lewat aplikasi kesehatan Halodoc. "Tapi cuma ada C2Fit. Favipiravir kosong," ujar Gayanti.

Karena kondisi kakaknya semakin buruk, keluarga memutuskan memanggil dokter dan tenaga kesehatan untuk tes usap polymerase chain reaction atau PCR. Hasilnya, negatif. "Dokter mendiagnosis kakak saya tifus, bukan Covid-19," ujarnya.

IMAM HAMDI, M.A. MURTADHO (BOGOR), ADE RIDWAN (DEPOK), KUKUH S.W. (SURABAYA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus