Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Komandan Cilik di Dalkeith Road

Sepuluh tahun Prabowo menjadi anak eksil di luar negeri. Sejak kecil berambisi jadi presiden.

30 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA kelompok anak kecil berusia 7-9 tahun itu ramai berlarian, saling kejar, di halaman sebuah rumah di Dalkeith Road, Singapura. Sesekali mereka berlindung di balik tembok atau pohon, lalu saling lempar tanah liat. Pekik kemenangan terdengar tiap kali seorang anak terkena peluru bulat dari tanah.

"Prabowo yang mengajak kami menantang anak-anak Singapura main perang-perangan," ujar Eko Muhatma Kartodirdjo, kini 66 tahun, mengenang peristiwa pada pertengahan 1958 itu. Kala itu usia Eko baru 9 tahun, sementara Prabowo 7 tahun.

Meski usia Eko lebih tua, Prabowo Subianto-anak ketiga tokoh Partai Sosialis Indonesia, Sumitro Djojohadikusumo-selalu tampil sebagai pemimpin kelompok mereka. "Anak-anak Singapura mengambil tempat kami biasa bermain," kata Eko menjelaskan mengapa mereka saling lempar pada sore itu.

Riuh perang tanah liat itu berlangsung hampir satu jam. Kedua kelompok sudah kelelahan, tapi tidak ada yang bersedia mengalah. Tak hilang akal, Prabowo lantas melontarkan tantangan baru: duel satu lawan satu.

Setiap kelompok boleh menunjuk satu anak yang dianggap paling kuat, untuk berkelahi. Karena dianggap paling tua dan bisa bertinju, Eko disuruh Prabowo mewakili mereka. "Saya menang," kata Eko sambil tersenyum. Putra tertua Mayor Penerbang Petit Muharto Kartodirdjo itu memang sudah belajar tinju sejak kecil.

Ayah Prabowo dan Eko-Sumitro dan Petit-adalah pentolan gerakan pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta). Mereka terusir ke Singapura setelah perlawanan kelompok itu digilas tentara pro-Jakarta. Keduanya terus bergerilya, meninggalkan istri dan anak mereka di negeri seberang.

Prabowo dan saudara-saudaranya menjadi anak eksil sejak belia. Untunglah mereka tak sendiri. Kala itu, ada belasan keluarga pemberontak PRRI/Permesta di Singapura, termasuk keluarga diplomat Des Alwi dan ekonom Tan Goan Po alias Paul Mawira. Semua tinggal berdekatan di kawasan Bukit Timah. Sekolah mereka juga sama: di Dean's School, Orange Grove Road. "Kami semua tinggal bersama ibu karena bapak kami jarang pulang," ujar Eko.

Untuk mengobati rasa rindu kepada Tanah Air, hampir setiap akhir pekan, semua keluarga pelarian PRRI/Permesta di Singapura berkumpul di rumah keluarga Sumitro. Di sana, para ibu akan bercengkerama sambil menjaga anak-anak mereka bermain.

Eko masih ingat betul, Prabowo selalu minta jadi ketua atau komandan dalam setiap permainan. "Kalau main perang dan jadi tentara, dia hanya mau jadi komandan. Kalau kami pura-pura main di kerajaan, dia maunya jadi raja," kata Eko sambil tersenyum.

Pada 1959, demi keamanan mereka, keluarga pelarian PRRI/Permesta harus kembali berpencar. Keluarga Petit Muharto pindah ke Penang, Malaysia. Adapun keluarga Sumitro, Mawira, dan Alwi mengungsi ke Hong Kong.

Di sana, mereka bergabung dengan keluarga Kolonel Jacob Frederick Warouw. Jacob adalah Wakil Perdana Menteri PRRI/Permesta yang sebelumnya menjabat atase militer di Kedutaan Besar Indonesia di Beijing, Cina.

Keempat keluarga ini memilih tinggal di flat-flat kecil dekat Macdonald Road, tak jauh dari kawasan Hong Kong Side. "Kami tinggal di flat yang berbeda, tapi berdekatan. Bisa saling kunjung tiap hari," kata Ronny Warouw, 67 tahun, putra sulung Jacob, mengingat kenangan masa kecilnya.

Ronny lebih tua empat tahun dibanding Prabowo. Karena itu, ia lebih sering berperan sebagai abang pelindung untuk kawan mudanya. Hubungan keduanya makin dekat karena mereka punya minat yang sama: militer. Sejak kecil, Ronny memang sudah akrab dengan dunia serdadu.

"Saya dididik secara kemiliteran oleh Bapak," ujar Ronny. Koleksi senjata api lengkap milik keluarga Jacob Warouw membuat Ronny punya kesempatan belajar menarik picu senapan sejak berusia 8 tahun.

Ronny masih ingat betul bagaimana Prabowo kecil sering datang ke rumah keluarga Warouw sekadar untuk mengagumi satu demi satu koleksi senjata Jacob. Namun Ronny tidak pernah mengizinkan Prabowo meminjam, apalagi menggunakan semua senjata mematikan itu. Sebagai gantinya, Ronny meminjamkan pistol mainan dan panah dari plastik. "Kami lantas main koboi di bukit belakang flat," ujarnya. Kala itu, perbukitan di belakang flat mereka masih rimbun dengan pepohonan.

Saat bermain bersama, Prabowo paling senang menjadi koboi, lengkap dengan pistol mainan di pinggang. Tidak jarang Pinky Warouw, adik Ronny, diajak ikut serta. "Ronny selalu meminta saya jadi budak dan bawa perbekalan," Pinky, 63 tahun, mengenang sambil tersenyum.

Di Hong Kong, hobi Prabowo bermain perang-perangan dan pura-pura jadi tentara makin menjadi. Ia sering mengajak teman-temannya berbaris seperti serdadu, mengelilingi halaman rumah. Tentu saja dia yang menjadi komandannya.

"Sejak kecil Prabowo ingin jadi tentara," kata Ronny. "Dia amat mengagumi kedua pamannya, Subianto Djojohadikusumo dan Sujono Djojohadikusumo." Kedua adik Sumitro itu gugur dalam pertempuran melawan Jepang di Desa Lengkong Wetan, Tangerang, pada Perang Kemerdekaan, 1946.

Kisah kepahlawanan Subianto dan Sujono kerap diceritakan orang tua Prabowo kepada anak-anak mereka. Cerita-cerita itu punya andil besar membentuk watak Prabowo sekarang. "Kami pernah bertanya kepada Prabowo, apa cita-citanya, dan ia langsung menjawab ingin jadi presiden," ujar Kun Mawira, kini 63 tahun, anak Paul Mawira, ketika ditemui Tempo di rumahnya di Bintaro, Jakarta Selatan, dua pekan lalu.

l l l

SETAHUN kemudian, pada 1960, keluarga Prabowo pindah lagi. Kali ini mereka mengungsi ke Kuala Lumpur, Malaysia. Di sana, Sumitro mendapat order membuka pabrik perakitan alat elektronik merek Premiere dari Prancis.

Seiring dengan membaiknya ekonomi keluarganya, Prabowo jadi bisa melanjutkan sekolah ke Victoria Institution, salah satu sekolah swasta paling terkenal di Kuala Lumpur. Sekitar dua tahun di sana, mereka hijrah ke Eropa.

Di Benua Biru, Prabowo melanjutkan pendidikan di sebuah sekolah internasional di Zurich, Swiss. Menurut Tanya Alwi, putri Des Alwi, prestasi Prabowo di sana cukup menonjol. Prabowo bahkan pernah dipercaya menyusun rancangan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Student Senate-semacam organisasi kesiswaan di sekolah itu.

Setelah dua tahun di Swiss, keluarga Prabowo pindah ke London, Inggris. Di sinilah Prabowo menamatkan sekolah menengah atasnya. Dia lulus dari sebuah sekolah bernama American School di London pada pertengahan 1967.

Bertahun-tahun tinggal di luar negeri tak membuat Prabowo kehilangan kemampuan berbahasa Indonesia. "Di rumah keluarganya menggunakan bahasa Indonesia," ujar Tanya, 53 tahun.

Karena sang ayah sibuk menghimpun dukungan keuangan untuk PRRI/Permesta dari seluruh dunia, Prabowo akhirnya lebih sering menghabiskan waktu bersama ibunya.

Meski sehari-hari terkesan kaku, keluarga Sumitro sebenarnya amat hangat. Sumitro juga aktif membudayakan diskusi yang sehat di meja makan. Anak-anak bisa bertanya apa saja kepada orang tuanya.

Tamat sekolah di Inggris, Prabowo muda pulang ke Indonesia. Di Jakarta, ia mengumpulkan kawan-kawan lamanya kala jadi pelarian di luar negeri, termasuk Ronny Warouw. Untuk lebih mengenal kondisi negerinya, Prabowo mengajak Ronny berkeliling Pulau Jawa.

Dengan bahasa Indonesia campur Inggris, dia ngobrol dengan semua kalangan, mencari tahu apa yang terjadi di balik senyum mereka. Diilhami perjalanan itu, Prabowo lalu membentuk Korps Lembaga Pembangunan, bekerja sama dengan para aktivis mahasiswa 1966. Ini adalah kelompok relawan sosial yang terjun ke desa-desa membantu warga.

Pada 1970, Prabowo mendadak putar haluan. Mengendarai mobil VW Kodok merah milik Ronny Warouw, Prabowo mendaftar ke Akademi Militer Nasional di Magelang, Jawa Tengah. Kala itulah mimpi masa kecil komandan cilik di Dalkeith Road ini mulai jadi kenyataan: menjadi tentara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus