Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Belajar Ekowisata Papua dari Komunitas Malak Kalawilis Pasa Papua

Malagufuk menjadi kawasan ekowisata percontohan bagi wilayah lain di Papua Barat. Warganya kembali mengelola tanah leluhur.

2 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Warga Kampung Malagufuk pernah meninggalkan tanah adat leluhur mereka karena konflik horizontal yang memicu mobilisasi ke Hutan Klaso.

  • Konflik itu membuat mereka memahami cara mengelola tanah di sekitar mereka.

  • Tiga komunitas marga Kalami termasuk kelompok masyarakat yang memasuki dan mengelola Hutan Klaso. Mereka membangun perekonomian dengan memanfaatkan alam sekitar.

HARI menjelang senja ketika saya dan komunitas Gelek Malak Kalawilis Pasa tiba di mulut jembatan menuju Hutan Klaso di Ecovillage Malagufuk, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya. Beberapa lelaki dewasa muda sudah menanti kami di sana. Jembatan berbahan kayu merbau yang kami tapaki itu panjangnya 3,305 meter. Jembatan berujung pada gerbang utama Kampung Malagufuk. Luas kampung ini 2.717,90 hektare.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setiba di kampung, kami disambut Amos Kalami, yang mengatur sistem pemerintahan di kampung ini. Pria itu juga seorang guru. Dengan senang hati ia menerima kedatangan anggota marga atau Gelek Malak Kalawilis Pasa yang hendak melakukan studi banding tentang pengelolaan ekowisata. Warga setempat biasa menempuh Kalawilis Pasa-Malagufuk satu hari satu malam dengan berjalan menembus hutan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sudah sepuluh tahun Malagufuk menjadi kawasan ekowisata percontohan bagi wilayah lain. Pada 2014, para penduduk asli Malagufuk yang merantau ke daerah lain memutuskan kembali ke kampung halaman. Baru tujuh tahun kemudian wilayah itu disahkan sebagai kampung ekowisata.

Amos Kalami di Desa Malagufuk, Sorong, Papua Barat Daya, 25 Maret 2024. Ulet Ifansasti

Bagi Amos dan semua warga Kampung Malagufuk, pengakuan dari pemerintah itu menjadi dasar hukum yang kuat untuk memilih cara mengembangkan, melindungi, dan menghidupi tanah adat mereka sendiri. Sambil menghidangkan kopi, Amos bercerita panjang tentang perjalanan Malagufuk meraih pengakuan itu.

•••

PADA 1998, Amos Kalami memberanikan diri menggalang kekuatan bersama anggota marga lain mengusir penyurvei perusahaan sawit di Kampung Malaumkarta Lama—jalan utama kabupaten, di tepi laut. Sebagai kepala kampung, ia menyatakan belum mengizinkan penyurvei masuk kampung. Ia bersama warga kampung berani bertaruh nyawa untuk mengamankan hutan.

“Saya ingat betul, di awal 1990-an, banyak sekali burung cenderawasih melintas di jalur Saluk, Maladofok, Kampung Kalaili, Sayosa, dan Malagufuk ini. Sayangnya, ada warga kami sendiri, (almarhum) Yohanes Magablo, yang gemar berburu. Saya menentang perilaku ini,” tutur Amos. Ia mengatakan bersyukur putra Yohanes Magablo, (almarhum) Kostan Magablo, menjadi salah satu orang yang ikut menentukan arah perkembangan kampung.

Pada 2002, komunitas Gelek Kalami Malagufuk berkumpul, berdoa, dan membuat kebun di Hutan Klaso sebagai bagian dari program gereja Malaumkarta. Pada waktu itu belum ada rencana pendirian kampung di sana. Beberapa tahun setelahnya, sebuah konflik horizontal antar-generasi muda terjadi di Malaumkarta. Insiden ini memantik keputusan final Amos pindah ke kebun di Hutan Klaso.

Bagi Amos, terjadinya konflik itu seperti takdir yang disiapkan semesta baginya. Ia memenuhi panggilan pulang untuk melindungi tanah adat Kalami Malagufuk. Saat itu banyak anggota Gelek Kalami yang mendukungnya memfinalkan rencana pembangunan kampung di hutan. Salah satunya Kostan Magablo.

Pemandangan ecovillage Malagufuk di hutan hujan dataran rendah Malagufuk di Sorong, Papua Barat Daya, 27 Maret 2024. Ulet Ifansasti

Rencana kepindahan ini terlaksana pada 2014. Ada tiga komunitas marga Kalami, yakni Gelek Kalami Malagufuk, Gelek Kalami Kalagalas, dan Gelek Kalami Malasili, serta satu komunitas Gelek Magablo yang waktu itu pindah tinggal ke Hutan Klaso. “Saya ingat betul, waktu itu 18 November 2014, kami masuk hutan untuk mengembangkan kebun. Keesokan harinya, 19 November, tahu-tahu saja sudah ada turis berkunjung ke Malagufuk untuk mengamati burung,” kata Amos.

“Keputusan memilih mengembangkan potensi ekowisata pengamatan burung datang dari anak-anak muda kami. Saya rasa pengalaman terekspos dalam pergaulan dengan kawan-kawan lembaga swadaya masyarakat membuat mereka memiliki visi ke sana. Ditambah, ketika mereka masih kecil dulu, tatkala berburu binatang hutan dari Malaumkarta ke Malagufuk, mereka sering melihat cenderawasih melintasi hutan kami.”

Pada 2014, komunitas Gelek Kalami Malagufuk membangun rumah-rumah semipermanen beratap terpal. Dalam kondisi seadanya, wisatawan asing ikut menikmati makanan papeda, mengamati lau-lau dari dekat, dan tidur di rumah warga. Mereka menyukai semua pengalaman itu. Hal ini meyakinkan Amos bahwa cara itu bisa ia lakukan sambil tetap menjaga tanah adat. “Lebih senang lagi ketika mereka pulang, kami diberi daun merah dan daun biru,” ucapnya. Yang ia maksud adalah uang. Kami pun tergelak bersama-sama.

Memasuki 2018, kebutuhan perbaikan jalan masuk ke kampung membuat warga terbentur dilema. Pembangunan bisa menjadi bumerang. Adanya akses jalan berpotensi membuat hutan habis. Pada waktu itu Bupati Sorong Johny Kamuru dan Dinas Pariwisata Sorong menanggapi keresahan ini. Mereka meninjau Kampung Malagufuk dan berkeputusan membangunkan jembatan berbahan kayu merbau. Semua material kayu diambil dari luar daerah, seperti Tambrauw dan Sayosa.

Dukungan ini diberikan karena Kampung Malagufuk dinilai mampu membuktikan bahwa kegiatan ekowisata di Hutan Klaso dapat terus menarik kunjungan wisatawan, terutama dari mancanegara. Bahkan di masa pandemi Covid-19 pun tamu tetap datang.

•••

PADA Agustus 2021, Kampung Malagufuk diresmikan sebagai kampung ekowisata. Pengelolaan ekowisata Malagufuk mengupayakan regenerasi pemandu pengamatan burung di kampung. Mekanismenya: satu orang yang sudah memahami cara memandu tamu dan jenis burung serta tumbuhan dipasangkan dengan satu orang lain yang baru belajar. Seiring dengan waktu, yang belakangan belajar ini akan terampil secara alami. Biasanya pada usia belasan tahun atau di tingkat sekolah menengah pertama para calon pemandu ini mulai ikut serta.

Kaum muda pengelola ekowisata Malagufuk mafhum kegiatan yang mereka tawarkan masuk kategori wisata minat khusus. Lazimnya, tamu mereka adalah fotografer lingkungan hidup, khususnya satwa burung dan fauna hutan hujan, peneliti, juga wisatawan yang mampir sebelum dan/atau sesudah berkegiatan menyelam di Raja Ampat, Papua Barat.

Ada 12 warga Malagufuk yang aktif menjadi pemandu pengamatan burung. Usia mereka di bawah 30 tahun. Adapun tenaga warga yang berumur di atas 30 tahun diarahkan ke bagian pengangkutan barang ketika tamu tiba dan pulang. Hal ini dilakukan demi mencegah risiko bahaya yang bisa muncul jika mengikutkan mereka dalam eksplorasi di hutan.

Agustus-Desember adalah masa tersibuk kampung ekowisata ini. Periode itu pun bertepatan dengan musim kawin burung-burung pada Oktober-Desember. Meskipun minat pengunjung makin tinggi, pengelola ekowisata Malagufuk memberlakukan kuota maksimal jumlah tamu, yakni 20 di waktu bersamaan. Dengan begitu, pengamatan burung tetap bisa dilakukan dengan nyaman.

Pos pengamatan burung di hutan hujan dataran rendah Malagufuk di Sorong, Papua Barat Daya, 26 Maret 2024. Ulet Ifansasti

“Kami mengatur sedemikian rupa agar satu grup dengan grup lain ada dalam jarak yang aman dan nyaman. Tidak mungkin ada lebih dari satu grup di spot yang sama. Karena itu, kami sudah mulai mencari spot tambahan untuk pengamatan burung. Dengan begitu, satu jenis burung yang sama bisa dilihat di dua tempat,” ujar Opyor Kalami, putra tertua Amos Kalami.

Opyor dan Jhekson Magablo, warga setempat, mengajak kami ke pos pemantauan burung setinggi sekitar 4 meter yang baru dibangun. Letaknya sekitar 1 kilometer dari area penginapan. Bangunan pos ini dibuat dari kayu merbau dengan kombinasi kayu merah sebagai material tangga. Kayu merah lazim digunakan sebagai kayu bakar. Kayu merah dipilih menjadi material tangga karena ia diniatkan tetap bisa tumbuh setelah dipasang. Saat kami menaiki tangga, tampak tunas-tunas dahan baru tumbuh di kayu yang kami pegang.

Pembangunan pos tinggi ini belum sepenuhnya selesai. Mereka masih akan menambahkan tulang-tulang penguat, melebarkan landasan, serta memasang atap dari terpal yang nantinya ditutup dedaunan. Pos ini diupayakan cukup tersembunyi dari burung-burung yang akan diamati pengunjung. Pepohonan di lokasi ini diidentifikasi sebagai tempat singgah king bird-of-paradise.

Secara keseluruhan, akan ada tiga pos tinggi semacam ini. Warga Gelek Kalami Malagufuk membangunnya secara swadaya. Dananya berasal dari pendapatan ekowisata. Sebagai bagian dari generasi muda yang aktif mengelola dan menjaga tanah serta hutan adat, Opyor menyampaikan harapannya: “Hutan harus terus dijaga, bahkan setelah generasi saya mati. Generasi-generasi setelah saya harus tetap menjaga hutan sebaik-baiknya.”

Opyor Kalami adalah lulusan Program Studi Teknik Pertambangan Universitas Sains dan Teknologi Jayapura. Dia mengenang, semasa kuliah, ia mengincar sebuah gunung di Malagufuk sebagai target penambangan. Namun pengalaman kembali ke hutan dan mengelola kampung ekowisata mengubah pikiran serta meruntuhkan targetnya. “Prinsip hidup saya: kau jaga hutan, kau jaga alam, maka alam akan jaga kamu nanti. Dengan berpegang teguh pada prinsip ini, saya yakin kita bisa berkembang dan berdiri sendiri dengan keyakinan kita, tanpa banyak dipengaruhi orang luar.”

•••

SEIRING dengan waktu, kampung dan populasi Malagufuk terus berkembang. Saat ini ada 14 keluarga yang tinggal di Malagufuk dengan total penduduk 79 jiwa. Mereka menempati 10 rumah. Untuk membuat rumah di kampung, warga Malagufuk memanfaatkan pohon-pohon tumbang di hutan mereka. Itu pun hanya pohon dari area tertentu yang boleh diambil. Di sana ada hutan adat Kalami Malagufuk yang sepenuhnya dilindungi, tidak boleh diakses, bahkan oleh gelek mereka sendiri. Amos Kalami berani mengatakan Hutan Klaso masih berupa hutan primer.

Pertambahan jumlah penduduk kampung memang tidak bisa dihindari. Gelek Kalami Malagufuk berancang-ancang, jikapun nantinya ada pengembangan kawasan hunian, fokus pembangunan akan diarahkan ke barat karena di timur berbatasan dengan area gelek lain.

“Sebetulnya anggota gelek kami masih banyak. Sebagian tinggal di kota. Namun, berdasarkan musyawarah adat, mereka yang sudah (tinggal) di kota tidak disarankan pulang ke kampung,” kata Opyor Kalami. Keputusan musyawarah adat ini dinilai efektif menjaga keseimbangan antara ketersediaan sumber daya alam dan kebutuhan menjalani kehidupan secara layak serta bermartabat.

Di Malagufuk, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, warga berburu secara komunal. Hasilnya dikonsumsi bersama-sama. Jadwal berburu diatur sedemikian rupa sehingga agenda memandu tamu pengamatan burung tetap berjalan lancar.

Keluarga Amos Kalami berkumpul di dapur ketika membuat sagu di Malagufuk, Sorong, Papua Barat Daya, 24 Maret 2024. Ulet Ifansasti

Bahan pangan sayur-sayuran disediakan per keluarga. Setiap rumah mengelola kebun untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga tersebut. Namun kebun individual ini tetap memungkinkan dibuka bagi tetangga yang membutuhkan.

•••

UNTUK menguatkan komitmen bersama menjaga kelestarian sumber-sumber kehidupan, Kampung Malagufuk bekerja sama dengan gereja mengaktifkan tradisi egek. Egek adalah laku konservasi budaya suku Moi berupa larangan memanfaatkan sumber daya alam di suatu kawasan dalam kurun waktu tertentu bagi warga adat. Jikapun sumber daya itu bisa dimanfaatkan, mereka menentukan dengan ketat wilayah-wilayah yang dapat diakses.

Sejauh ini, keputusan musyawarah adat Malagufuk secara permanen menerapkan egek terhadap sumber daya alam di darat atau hutan. Warga hanya boleh berburu babi hutan dan rusa. “Sumber pangan di laut lebih longgar untuk dikonsumsi karena dirasa jumlahnya masih berlimpah dibanding sumber pangan di darat. Harus kami akui kenyataan bahwa sekarang semua kampung makin mendekat (ke hutan). Jika tidak dibatasi secara permanen, makin banyak yang akan mengambil sumber daya hutan. Kalau sudah begitu, potensi habisnya (sumber daya hutan) akan tinggi,” tutur Opyor Kalami.

Pada tahun ini, warga Kampung Malagufuk bersiap menyongsong penyelenggaraan Festival Sasi, yang dikenal juga sebagai Festival Egek. Ini akan menjadi tahun kedua penyelenggaraannya. Tahun lalu, festival berjalan sukses dan meriah. Hendak mengulang keberhasilan itu, mereka akan kembali menggelar festival ini di Malaumkarta pada 29 Agustus-2 September 2024. Dalam festival seni dan budaya ini, Kampung Malagufuk akan mementaskan tari-tarian dan lagu serta menggelar pameran produk anyam-anyaman.

Komunitas marga dan musyawarah adat menyepakati penyiapan sumber daya laut secara maksimal untuk Festival Sasi. “Aturan adat menerapkan pembatasan jenis hewan laut yang bisa ditangkap, misalnya lobster, teripang, bialola (sejenis kerang). Selepas sasi dibuka, jenis-jenis hewan laut itu boleh ditangkap. Namun bukan untuk dikonsumsi sendiri, melainkan dijual demi keperluan bersama di kampung. Tahun ini, Malagufuk berencana merenovasi gereja. Maka pendapatan dari penjualan hasil alam (darat dan laut) akan dipergunakan untuk pembangunan gereja,” ucap Opyor.

Menurut aturan adat Moi, sasi atau egek dibuka jika ada keperluan saja. Yang dimaksud membuka sasi adalah menarik perjanjian sakral dengan leluhur dan perjanjian dengan Tuhan. Setelah hal ini dilakukan, barulah sumber daya alam bisa diambil. Jika musyawarah adat memutuskan tidak ada keperluan, sasi akan tetap ditutup. Dengan demikian, larangan penangkapan dan perburuan berlaku hingga waktu tak terbatas.

Opyor menegaskan, “Dalam pandangan saya, Festival Egek sengaja digelar agar orang-orang datang untuk mendengar prinsip konservasi tradisional yang kami anut. Kadang ada orang yang memang belum tahu. Tapi ada juga yang masa bodoh. Jika mereka datang, semua bisa sama-sama menikmati. Harapan saya, dari festival ini orang bisa melihat apa yang baik, apa yang tidak baik. Biarkan itu menjadi hal yang tiap orang pikirkan sendiri-sendiri.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Aisyah Hilal berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sebuah Kisah dari Malagufuk"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus