Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Niat Hizbut Tahrir Indonesia mengundang sejumlah tokoh dalam Konferensi Khilafah Internasional di Stadion Utama Bung Karno, Ahad dua pekan lalu, tak terlalu sukses. Dari begitu banyak tokoh yang diundang, hanya hadir Ketua Muhammadiyah Dien Syamsuddin, Abdullah Gymnastiar, dan Fuad Bawazier. Nama lain seperti Amien Rais, K.H. Zainuddin M.Z., dan Adyaksa Dault abstain tanpa alasan jelas.
Dua pembicara lain dalam acara itu, yaitu Imran Wahid dari Inggris dan Ismail al-Wahwah dari Australia, mendapat hambatan untuk datang. Imran dicegah masuk dan langsung dideportasi di Bandara Soekarno-Hatta. ”Kami tak tahu alasan pemerintah melakukan deportasi,” ujar Muhammad Ismail Yusanto, juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia. Sedangkan Al-Wahwah dilarang datang oleh pemerintahnya.
Kendati begitu, acara bertema Saatnya Khilafah Memimpin Dunia itu mampu menyedot puluhan ribu aktivis Hizbut Tahrir dari seluruh Indonesia. Organisasi ini, menurut Ismail, menolak demokrasi karena berprinsip kedaulatan di tangan rakyat. ”Kami percaya kedaulatan milik Allah,” katanya. Ismail mengakui organisasinya merupakan partai politik. ”Tapi kami belum akan ikut pemilu. Mungkin suatu saat nanti, tidak dalam waktu dekat.”
Syafruddin dan Laksamana Bersaksi
Pengusutan dugaan korupsi penjualan tanker raksasa berlanjut, Selasa pekan lalu. Kali ini giliran bekas anggota Dewan Komisaris Pertamina Syafruddin Temenggung dan mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi bersaksi.
Kasus tanker raksasa ini bermula ketika Pertamina, yang saat itu dipimpin Baihaki Hakim, membeli dua unit tanker dari Hyundai Heavy Industries di Ulsan, Korea Selatan, pada 2002. Dengan alasan kesulitan likuiditas, direksi baru Pertamina melepas dua kapal itu ke Frontline Ltd., dengan harga US$ 184 juta atau Rp 1,7 triliun, pada April 2004 tanpa izin Menteri Keuangan.
Setahun kemudian Komisi Pengawasan Persaingan Usaha menyimpulkan penjualan itu merugikan negara Rp 241 miliar, karena kedua kapal dijual dengan harga terlalu rendah daripada harga pasar saat itu, US$ 102-110 juta atau Rp 990 miliar per unit.
Namun Laksamana membantah ada kerugian negara dalam penjualan tanker tersebut. Pembelian itu, menurut dia, tidak memakai uang dari APBN. ”Lagi pula, uang yang dibayarkan Pertamina hanya uang muka,” katanya. Hingga pekan lalu kejaksaan belum menentukan tersangka kasus ini.
Pembaca Teks Proklamasi Diprotes
Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-62 di Istana Merdeka berlangsung khidmat, pekan lalu. Namun pembacaan teks proklamasi oleh Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginandjar Kartasasmita mengundang kritik dari beberapa anggota DPR.
”Joke-nya, itu (teks proklamasi) seharusnya dibaca atas nama seluruh rakyat, bukan atas nama seluruh daerah,” ujar Ferry Mursyidan Baldan, wakil rakyat dari Partai Golkar, di halaman Istana Merdeka, seusai upacara. Ia heran dengan penetapan Ginandjar sebagai pembaca teks proklamasi. Selama ini teks proklamasi dibaca oleh Ketua DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat menurut amendemen UUD 45. ”Ini bukan kesempatan yang harus dipergilirkan. Ini bukan shift-shift-an,” ujar Ferry, yang juga Ketua Komisi Pemerintahan DPR.
Sebaliknya, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid tak mempermasalahkan. ”Monggo, bagi kami tidak masalah,” ujarnya. Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera ini cuma berpesan agar pembacaan teks proklamasi tidak menyulut kontroversi. Misalnya menyebut tahun 1945, bukan 1905. ”Nanti membuat rakyat bingung,” katanya. Kelak, menurut dia, pembaca teks proklamasi bisa saja digilirkan kepada para menteri koordinator. ”Terserah panitia.”
Pada saat berlangsung konsultasi antara Presiden Yudhoyono dan pimpinan MPR/ DPR, Maret lalu, perubahan pembaca teks proklamasi dalam upacara peringatan kemerdekaan di Istana Merdeka tahun 2006 pernah dipermasalahkan. Saat itu teks proklamasi dibacakan oleh Agung Laksono, Ketua DPR. Padahal selama ini sudah menjadi konvensi ketatanegaraan, teks tersebut dibaca oleh Ketua MPR sebagai lembaga tertinggi pemegang kedaulatan rakyat.
Penunjukan Ginandjar sebagai pembaca teks kemerdekaan juga menimbulkan tanda tanya. Ia dinilai aktif memelopori amende-men UUD 45 menuju sistem bikameral murni, seperti sistem federal. Sejumlah kalangan menyayangkan penunjukan Ginandjar dalam upacara kenegaraan tersebut, terkait dengan jejaknya sebagai orang ”lama” dan pernah terjerat masalah hukum. ”Tidak pantas. Dia kan reformis kesiangan,” ujar seorang sumber Tempo.
Marinir Pembunuh Tewas Ditembak
Berakhir sudah pelarian Syam Ahmad Sanusi. Bekas anggota marinir ini tewas tertembak dalam penggerebekan di Kampung Cibeunying, Kelurahan Cilaja, Pandeglang, Banten, Jumat pekan lalu. Letnan Syam Ahmad bersama Kopral Suud Rusli dan Gunawan Santosa divonis mati karena membunuh Direktur Utama PT Asaba Boedyharto Angsono dan pengawalnya Edy Siyep. Syam sempat ditahan di Pangkalan TNI AL Jakarta, tapi melarikan diri pada Mei 2005.
Polisi mengendus persembunyian Syam sebulan lalu. Pria 40 tahun ini diketahui ngumpet di sebuah gubuk berukuran 2x3 meter. Polres Pandeglang langsung mengontak Polda Metro Jaya dan Komandan Polisi Militer Pangkalan Angkatan Laut III Jakarta. Aparat gabungan lantas melakukan penggerebekan.
Penyergapan tak berjalan mulus karena Syam melawan. Dalam posisi terkepung, ia melepaskan tembakan tatkala diminta menyerah. Tim gabungan balas menembak. Syam akhirnya dapat dilumpuhkan setelah timah panas menembus tubuhnya. ”Tiga marinir menjadi korban tembakannya,” kata Kepala Dinas Penerangan Korps Marinir Jakarta, Letnan Kolonel Novarin Gunawan.
Anwar Ibrahim di Tempo
MANTAN Wakil Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dan istrinya, Wan Azizah Wan Ismail, yang juga Presiden Partai Keadilan Rakyat, mengunjungi kantor redaksi majalah Tempo, Sabtu malam pekan lalu. Mereka datang sehabis menghadiri resepsi pernikahan anak mantan Menteri Koperasi Adi Sasono di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur.
Dalam diskusi selama 90 menit itu, Anwar berbicara mengenai pemilihan umum di Malaysia yang diperkirakan akan berlangsung sebelum April 2008. Pada saat itu, ia belum melampaui periode diskualifikasi sebagai calon anggota parlemen atau perdana menteri, yang dulu ditetapkan Pengadilan Federal Malaysia untuk dirinya. ”Kalaupun saya tidak bisa maju, saya akan membantu calon lain yang akan bertanding,” ujar Anwar. Ia juga menjelaskan kondisi politik kontemporer di Malaysia dan dugaan kasus-kasus korupsi yang terjadi pada masa pemerintahan Perdana Menteri Abdullah Badawi saat ini. Selain itu, Anwar menerangkan hubungan dirinya dengan mantan perdana menteri Mahathir Mohamad serta situasi politik regional Asia Tenggara.
Kepala BPN Ditangkap KPK
Maksud hati hendak memeras, Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) Surabaya A.M. Khudori malah ditangkap petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan polisi di Hotel Somerset, Surabaya, Senin pekan lalu. Dari tangannya, disita uang Rp 20 juta sebagai barang bukti pemerasan terhadap seorang pembuat sertifikat tanah.
Penangkapan, menurut juru bicara KPK Johan Budi S.P., bermula dari laporan salah satu warga Keputih Tambak Timur, Surabaya, yang mengaku dimintai uang Rp 675 juta untuk mengurus sertifikat tanah 45 ribu meter persegi. Khudori minta uang muka Rp 20 juta. ”Dia mengintimidasi. Kalau tidak bayar, sertifikat tanah tidak akan jadi,” kata Johan.
Si pemohon kemudian melapor ke KPK, yang lantas mengirim empat penyidiknya ke Surabaya. Bersama polisi dari Polda Jawa Timur, mereka menuju Hotel Somerset Surabaya. Begitu uang diberikan, KPK langsung melakukan penangkapan. Khudori dijebloskan ke tahanan. ”Bukti awal yang kami miliki sudah cukup untuk menahannya,” kata Kepala Satuan Tindak Pidana Korupsi Polda Jawa Timur, Ajun Komisaris Besar Setija Junianta.
Tommy Diperiksa Kejaksaan
Tommy akhirnya datang memenuhi panggilan Kejaksaan Agung, Jumat pekan lalu. Dia diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyalahgunaan Rp 175 miliar dana kredit likuiditas Bank Indonesia di Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Sebelumnya, putra bungsu bekas presiden Soeharto ini mangkir dengan alasan sakit.
Penyidik kejaksaan mencecar Tommy dengan 39 pertanyaan tentang keberadaan BPPC, mekanisme pembelian dan pendistribusian cengkeh. Tommy mengakui pinjaman KLBI dan pinjaman komersial kepada Bank Indonesia melalui Bank Bumi Daya Rp 759 Miliar. Dari jumlah itu Rp 569 miliar adalah dana pinjaman KLBI dan sisanya kredit komersial.
Menurut dia, KLBI sudah diselesaikan lewat Bank Bumi Daya pada September 1993. Bahkan pengurus BPPC sudah mengantongi surat keterangan lunas dari Bank Indonesia. Kredit komersialnya juga sudah diselesaikan BPPC pada Juli 1995. Jaksa Agung Hendarman Supandji mempersilakan Tommy menunjukkan semua dokumen, termasuk surat lunas itu. ”Tetapi apakah benar lunasnya itu memang dia yang melunasi?”
Mulyana Kusumah Bebas
MULYANA Wira Kusumah, 59 tahun, mantan anggota Komisi Pemilihan Umum, meninggalkan Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat, Sabtu pagi pekan lalu. Terpidana kasus penyuapan auditor Badan Pemeriksa Keuangan dan korupsi pengadaan kotak suara ini memperoleh pembebasan bersyarat dari pemerintah setelah menjalani dua pertiga dari 46 bulan masa hukumannya. Ia juga memperoleh remisi 3 bulan 5 hari pada Hari Kemerdekaan tahun ini. ”Karena saat ini saya masih resmi anggota KPU, saya akan kembali ke kantor,” ujarnya.
Mulyana bebas pukul 5 pagi, empat jam lebih awal dari jadwal seharusnya. Ia dijemput keenam anaknya, pengacara, dan koleganya. Istrinya, Wiwie Sriwiarsih, tak tampak hadir. ”Mama menunggu di rumah,” kata Gina Santiyana, putri sulung Mulyana. Pukul 9 pagi, ia kembali ke Rumah Tahanan Salemba bersama dua anaknya untuk memberikan keterangan kepada wartawan yang sudah menunggunya sedari pagi.
Mengenakan kemeja merah bata berbalut jaket kulit hitam dan celana korduroi, rambut Mulyana tampak lebih panjang dibanding saat ia masuk bui. Ia masih tetap merokok meski kesehatannya memburuk karena asma. Mengenai anggota KPU lain yang masih ditahan di Rumah Tahanan Salemba, ia mengharapkan mereka segera bebas melalui remisi atau grasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo