Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Konservatisme dalam Banyak Segi

19 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Main Api Konservatisme

Hasil riset tim Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Jakarta terhadap 500 guru agama Islam di lima provinsi pada akhir tahun lalu mencengangkan dan mencemaskan. Lebih dari 80 persen responden menolak pemimpin nonmuslim dan pendirian rumah ibadah agama lain di wilayah mereka.

Responden juga menolak guru yang beragama lain mengajar di sekolah umum. "Kalau ada orang yang lebih pintar tapi agamanya bukan Islam, mereka tidak setuju," kata Direktur Advokasi dan Manajemen Pengetahuan PPIM UIN Dadi Darmadi dalam diskusi di kantor Tempo, akhir Maret lalu.

Rupanya, bukan hanya PPIM yang menelisik gejala intoleransi di ranah pendidikan. Pusat Studi Agama dan Demokrasi Paramadina, Wahid Institute, bahkan Kementerian Agama membuat penelitian untuk mengetahui seberapa jauh intoleransi menjangkiti masyarakat Indonesia. Terutama setelah maraknya serangan terhadap penganut Ahmadiyah dan Syiah, penolakan muslim atas pendirian gereja, serta sweeping oleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan pembela agama.

Pemilihan kepala daerah Jakarta menguatkan dugaan itu. Penolakan terhadap gubernur bukan Islam menjadi bola liar setelah menemukan pemantiknya: pidato Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang menyitir Surat Al-Maidah 51 tentang pemimpin nonmuslim. Basuki alias Ahok mengkritik orang yang memakai ayat itu untuk mengkampanyekan kepada umat Islam agar tak memilihnya karena ia Tionghoa dan Kristen.

Pidato tersebut memicu demonstrasi besar umat Islam berkali-kali menolak Ahok menjadi gubernur. Mereka berhasil. Tak hanya tersingkir karena kalah dalam perolehan suara, Ahok mengakhiri jabatannya memimpin Jakarta di balik jeruji penjara. Hakim setuju pada dalil pelapor bahwa ia menodai agama Islam dengan menyitir Al-Quran dalam pidatonya.

Dunia mengecam hukuman itu. Benedict Rogers, Kepala Tim Organisasi Pembela Hak Asasi Manusia Christian Solidarity Worldwide Wilayah Asia Timur, dalam tulisannya di The Diplomat edisi akhir Mei lalu, menyebut Indonesia tak bisa lagi jadi panutan dalam soal toleransi. Indonesia, menurut Rogers, tengah bermain api ketika mengabaikan gerakan-gerakan yang merusak toleransi itu.

Kecemasan tersebut beralasan jika melihat riset Kementerian Agama dan Wahid Foundation terhadap 1.600 pengurus kerohanian Islam (rohis) tingkat sekolah menengah atas saat mereka mengikuti kemah kerohanian di Cibubur pada Mei tahun lalu. Sebanyak 75 persen siswa SMA mendukung kekhilafahan--pemerintahan lintas negara yang dipimpin seorang khalifah muslim--sepertiganya memahami jihad sebagai mengangkat senjata melawan orang kafir. Bahkan lebih dari 60 persen peserta kemah siap berperang di kawasan konflik seperti Palestina dan Suriah.

Unang Rahmat, Kepala Subdirektorat Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Menengah Atas Kementerian Agama, menduga pandangan pengurus rohis itu terbentuk akibat sekolah tak mengawasi kegiatan mereka karena guru sibuk mengejar jam mengajar untuk mendapat sertifikasi yang diwajibkan pemerintah. Para pengurus rohis itu mendatangkan pembimbing dari luar yang mula-mula menganjurkan ajaran Islam yang murni sebelum mengajarkan paham radikalisme.

Dari kejadian-kejadian itu, muncul pertanyaan lain atas hasil penelitian tersebut: apa yang menjadi akar intoleransi? Apakah konservatisme satu-satunya pintu menjadi radikal? Kami coba menjawabnya dengan menelusuri kembali riset-riset itu kepada narasumber utamanya. Selama tiga bulan, tim yang dipimpin Gabriel Wahyu Titiyoga, penulis di Desk Sains dan Teknologi, berdiskusi dengan banyak pakar dari pelbagai bidang untuk mengetahui sejarah dan peta bumi gerakan intoleran yang kian mencuat justru setelah Indonesia memeluk demokrasi sepenuhnya.

Martin van Bruinessen, antropolog Belanda dari Utrecht University, mencoba menjawabnya ketika menyunting buku Contemporary Development in Indonesian Islam: Explaining the Conservatism Turn (2013). Bruinessen mengatakan bahwa intoleransi mencuat setelah gerakan konservatisme marak pascareformasi 1998. Ciri gerakan ini adalah menolak tafsir ulang atas ajaran Islam secara liberal dan progresif serta cenderung mempertahankan tafsir dan sistem sosial yang baku.

Bruinessen menilai konservatisme mencuat akibat memudarnya pengaruh kelompok progresif karena masuk ke politik praktis ketimbang bergelut di organisasi kemasyarakatan. Juga karena kuatnya pengaruh Timur Tengah dan alumnus perguruan tingginya dalam menyebarkan pemahaman keislaman yang harfiah.

Buku Bruinessen kami pakai sebagai pijakan merumuskan pengertian konservatisme, juga rumusan para ahli melalui diskusi-diskusi. Selain dengan Dadi Darmadi dan Didin Syafruddin dari PPIM, tim bertemu dengan Inaya Rakhmani dari Universitas Indonesia dan Lies Marcoes Natsir dari Rumah Kita Bersama. Keduanya banyak melakukan penelitian tentang budaya populer di televisi. Menurut temuan mereka, para produser kian bersemangat memproduksi sinetron yang berbasis pada cerita-cerita dalam agama Islam.

Dan agaknya penonton menyukainya. Gaya jilbab para artis sinetron itu menjadi kiblat baru model kerudung yang berkembang dan berganti secara periodik, yang menciptakan pangsa baru dalam ekonomi. Desainer dan pedagang jilbab di Thamrin City, Jakarta Pusat, bisa meraup untung Rp 400 juta sebulan dengan kejelian mengamati model kerudung baru lewat sinetron.

Sementara toleransi, menurut Dadi Darmadi, masih artifisial karena tak sepenuhnya menjadi keyakinan banyak orang Indonesia, religiositas yang menjadi pangkalnya juga tak kuat-kuat amat. Maraknya wisata halal dan perumahan syariah tak sepenuhnya berdasarkan pada kesadaran beragama secara ideologis. Jika bukan kelatahan, faktor pemicunya adalah celah bisnis karena naiknya pangsa pasar di sektor ini.

Karena itu, Zainal Abidin Bagir dari Universitas Gadjah Mada tak terlalu cemas terhadap maraknya konservatisme kendati intoleransi juga menguat. Menurut dia, agak sulit mengukur bangkitnya konservatisme hanya karena banyaknya perempuan berkerudung serta maraknya pengajian, dan aturan-aturan syariat. "Mungkin ada hubungannya, tapi jelas tak sama," katanya.

Zainal menuturkan, yang terjadi di Indonesia sekarang adalah upaya masyarakat Indonesia lebih saleh. Sebagai ekspresi keberagamaan, menurut dia, fenomena itu tak perlu dikhawatirkan sepanjang tak dipakai secara politik. Misalnya, keyakinan agama seorang kepala daerah tak boleh mendorongnya membuat aturan syariah mewajibkan memakai jilbab.

Hipotesis-hipotesis itu menjadi bekal kami turun ke lapangan mereportase bangkitnya konservatisme yang dipotret dari banyak segi: fashion, gaya hidup, pariwisata, dan pendidikan. Ada yang sesuai, tak sedikit yang bertolak belakang. Edisi ini tentu tak sempurna karena luasnya cakupan yang harus dibahas, tapi setidaknya bisa jadi panduan memandang konservatisme dan mencegah berkembangnya intoleransi. Selamat membaca!


Tim Liputan Khusus Konservatisme

Penanggung Jawab: Bagja Hidayat

Kepala Proyek: Gabriel Wahyu Titiyoga

Penulis: Ahmad Nurhasim, Ayu Prima Sandi, Gabriel Wahyu Titiyoga, Gadi Makitan, Linda Trianita, Mahardika Satria Hadi, Moyang Kasih Dewimerdeka, Mustafa Silalahi, Prihandoko, Stefanus Teguh Edi Pramono, Syailendra Persada, Wayan Agus Purnomo

Penyunting: Bagja Hidayat, Firman Atmakusuma, Idrus F. Shahab, Leila S. Chudori, Jajang Jamaluddin, Nurdin Kalim, Setri Yasra, Sapto Yunus, Wahyu Dhyatmika, Yandhrie Arvian, Yos Rizal Suriaji

Penyumbang Bahan: Abdul Latif Apriaman (Lombok), Aghniadi dan Dini Pramita (Jakarta), Ahmad Rafiq (Solo), Aminuddin A.S. dan Iqbal T. Lazuardi (Bandung), Andri El Faruqi (Padang), Artika Rachmi Farmita (Surabaya), Imam Hamdi (Depok), Muhammad Kurnianto (Tangerang Selatan), Pito Agustin Rudiana dan Shinta Maharani (Yogyakarta), Sidik Permana (Bogor), Sigit Zulmunir (Garut)

Foto: Ijar Karim, Ratih Purnama Ningsih, Jati Mahatmaji

Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Iyan Bastian

Desain: Djunaedi, Eko Punto Pambudi, Kendra Paramita, Nyimas Amira Fadila, Rudy Asrori, Tri Watno Widodo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus