Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jejak Arsen dari Pejaten
Sepuluh tahun setelah Munir dibunuh, jejak-jejak keterlibatan badan intelijen semakin kuat. Kesaksian mantan pejabat lembaga itu menyebutkan adanya pembahasan rencana menghabisi sang aktivis. Sejumlah saksi kunci meninggal tak wajar.
KOLONEL Budi Santoso tak berpenampilan layaknya perwira militer. Janggutnya dibiarkan memanjang. Kepalanya selalu dirundukkan ketika berbicara. Matanya juga jauh dari gahar. Alumnus Akademi Militer 1973 ini lebih mirip pemuka agama.
Pada 2007, ketika pembunuhan Munir 7 September 2004 dibuka lagi melalui sidang peninjauan kembali terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto, ia sedang bertugas sebagai agen madya Badan Intelijen Negara di Pakistan. Tugasnya mengawasi keluar-masuk mahasiswa Indonesia ke negara itu.
"Jika menemukan mahasiswa Indonesia yang dicurigai terlibat gerakan radikal, ia melapor ke kantor Jakarta," kata seorang saksi yang mengetahui aktivitasnya kepada Tempo, pekan lalu.
Budi, kini 65 tahun, pada waktu itu telah dimintai keterangan oleh penyidik kepolisian di Jakarta untuk menjerat Pollycarpus. Ketika kemudian Muchdi Purwoprandjono, Deputi Penggalangan BIN, dijadikan tersangka, ia pun menjawab semua pertanyaan penyidik di bawah sumpah. Setelah itu, ia kembali ke tempat tugasnya di Pakistan.
Dengan alasan keamanan, Budi menolak hadir dalam persidangan Muchdi. Ketika pemeriksaan saksi-saksi, 9 September 2008, pengacara terdakwa tiba-tiba menyatakan telah menerima surat berkop Kedutaan Besar RI di Pakistan. Isinya, Budi Santoso disebutkan mencabut semua keterangan dalam berita acara pemeriksaan. Majelis hakim juga menyatakan menerima surat serupa.
Surat itu memutus hubungan Pollycarpus–ketika itu telah divonis 20 tahun penjara—dengan Muchdi. Dalam dakwaannya, jaksa menuduh Muchdilah yang memerintahkan Pollycarpus membunuh Munir. Budi Santoso, yang pada September 2004 menduduki jabatan Direktur Perencanaan dan Pengendalian Operasi bawahan Muchdi, merupakan penghubung kedua orang itu karena berkali-kali menyaksikan pertemuan mereka.
Ketika "surat pencabutan keterangan" ini ramai diberitakan media, Budi Santoso panik. Menurut sejumlah saksi, ia menghubungi penyidik kepolisian, yang dipimpin Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri dan Brigadir Jenderal Mathius Salempang. Ia membantah telah mencabut keterangannya. "Surat itu sengaja dibuat untuk memancing saya pulang ke Indonesia," katanya. "Begitu pulang, naluri intelijen mengatakan: saya dibunuh."
BUDI Santoso meminta bertemu dengan polisi untuk memberikan kesaksian bagi terdakwa Muchdi di tempat yang menurut dia aman. Mereka bertemu di Kuala Lumpur pada Mei 2008. Kebetulan rumah dinas Duta Besar RI untuk Malaysia kosong karena Da'i Bachtiar, yang baru dipilih Dewan Perwakilan Rakyat, belum menempatinya. Enam perwira polisi, termasuk Mathius, berangkat menemui Budi.
Kesaksiannya direkam polisi pada 7 Mei 2008, pukul 17.16 waktu setempat. Tempo menyaksikan rekaman itu pekan lalu. Di situ Budi berbicara patah-patah. Sesekali ia menyeka mata, mengusap janggut panjangnya yang memutih, memejamkan mata, juga menarik napas panjang. Ia blak-blakan menceritakan operasi intelijen pelenyapan Munir, empat tahun sebelumnya.
"Apakah Pollycarpus melaporkan kepada Anda setelah bertugas ke Singapura pada 7 September 2004?" penyidik bertanya.
"Dia menelepon saya pagi dan mengatakan 'mendapat ikan besar di Singapura'. Saya tanya apakah sudah melapor ke Pak Muchdi. Dia menjawab sudah," Budi menjawab.
"Apakah selain melapor lewat telepon, Pollycarpus menemui Anda untuk melaporkan hal yang sama?"
"Beberapa hari kemudian dia datang ke kantor saya di BIN dan mengatakan 'Munir sudah saya habisi dengan racun'. Saya tanya, di mana. Dia menjawab, 'Di pesawat'."
Budi Santoso menyeka matanya yang basah. Kepada penyidik, ia mengatakan merasa prihatin terhadap kabar yang dibawa pilot Airbus A-330 Garuda Indonesia itu. "Saya membatin mengapa ada orang bisa seenteng itu membunuh orang lain," katanya.
Pengakuan Budi Santoso tentang perencanaan pembunuhan Munir semakin mencengangkan. Menurut dia, dalam satu pertemuan informal, Kepala Badan Intelijen Negara Abdullah Makhmud Hendropriyono menanyakan alasan kepergian Munir ke luar negeri. Ia dicurigai memiliki data untuk "menjual negara" dan karena itu perlu dicegah. Tempo memperoleh informasi yang sama dari dua sumber lain.
Muchdilah yang diduga menerjemahkan kekhawatiran Kepala BIN dengan menghabisi Munir. Hendropriyono tertawa ketika dimintai konfirmasi soal ini. "Mungkin Budi Santoso sendiri yang memimpin rapatnya," ujarnya.
Menurut Hendro, BIN tak mungkin merencanakan operasi melenyapkan seseorang yang dianggap musuh negara dalam rapat. Operasi intelijen, kata dia, dilakukan tanpa perintah tertulis dan tidak dibahas dengan deputinya.
Kepada Tempo yang menemuinya pada Sabtu dua pekan lalu, Muchdi menyangkal keterlibatannya dalam pembunuhan Munir, hubungannya dengan Pollycarpus, dan kesaksian Budi Santoso. "Sudah saya jelaskan di pengadilan," katanya. "Tanya saja ke pengadilan."
Budi mengatakan mengenal Polly pada awal Juni 2004. Pilot senior Garuda Indonesia itu datang menemuinya di ruang kerja, lantai dua kantor Badan Intelijen Negara, di Pejaten, Jakarta Selatan. Tamunya itu mengenalkan diri sebagai agen jejaring Muchdi Purwoprandjono. Pollycarpus membawa surat rekomendasi penugasannya sebagai anggota keamanan internal pesawat Garuda, yang menurut dia dibuat di ruang kerja Muchdi.
Polly, menurut Budi, memintanya mengoreksi isi surat. "Apa ini?" tanyanya. "Saya mendapat tugas menghabisi Munir," jawab Polly. Setelah melihatnya sebentar, Budi mengembalikan surat yang dibawa Polly ke ruang kerja Muchdi. Setelah pertemuan pertama itu, Polly sering menghubungi Budi di nomor meja kantornya atau meneleponnya melalui nomor seluler. Setiap kali bertandang ke BIN, ia selalu mampir ke ruangan Budi. "Setiap datang, ia bilang selesai mengobrol dengan Muchdi di ruang kerjanya," katanya.
Dua pekan setelah perkenalan, Budi dipanggil ke ruang Muchdi dan diminta menandatangani surat permintaan uang operasional. Di sana, kata dia, sudah ada Pollycarpus. Budi meneken surat permintaan dana operasi kepada Direktur Keuangan BIN Rp 10 juta. Dana tersebut, menurut Budi, diambil dari pos dana taktis bulanan Deputi Penggalangan. "Setiap bulan saya membuat laporan pengeluaran dana operasional," ujarnya.
Tiba di hari pembunuhan. Pollycarpus menelepon Budi Santoso pada 6 September 2004 pukul 18.25. Ia melapor akan terbang ke Singapura pukul 21.00. "Di pesawat, saya akan bersama Munir," kata Budi menirukan Polly.
Menurut sejumlah sumber, jadwal Pollycarpus sungguh aneh. Ia terbang ke Singapura pada 6 September 2004 pagi, masuk hotel untuk awak Garuda siang harinya, dan telah tiba kembali di Jakarta pada pukul 17.00. Lalu ia segera bersiap-siap terbang kembali untuk tujuan yang sama pada pukul 23.00.
Pollycarpus rupanya mengejar jadwal GA-974 rute Jakarta-Amsterdam. Di pesawat itu, setelah enam kali mengubah jadwal keberangkatan, Munir berencana terbang menuju Belanda untuk melanjutkan studi hukum di Universiteit Utrecht. Ia mendapat beasiswa dari Interchurch Organization for Development Cooperation.
Menurut penyidikan kepolisian, Pollycarpus meracun Munir dengan arsenik ketika menyuguhi korban minum di The Coffee Bean and Tea Leaf saat selama satu jam lebih pesawat transit di Bandar Udara Changi, Singapura. Ia kemudian baru check in ke hotel untuk kru, dan esok paginya kembali ke Jakarta.
Dalam rekaman, penyidik bertanya kepada Budi Santoso, "Mengapa Pollycarpus merasa perlu melaporkan bersama Munir di pesawat?" Budi menjawab, "Karena ia mendapat tugas untuk menghabisinya."
"Tugas dari siapa?" Budi menjawab, "Pollycarpus bilang dari Muchdi."
Menurut Budi Santoso, kematian Munir dibicarakan Muchdi tiga hari setelahnya. Dalam pertemuan yang dihadiri semua anggota staf Deputi Penggalangan, sambil makan siang bersama seusai salat Jumat, menurut dia, Muchdi mengatakan: "Ada kabar nasional: Munir telah meninggal."
KETERANGAN Budi Santoso memperkuat jeratan bagi Muchdi, yang kemudian ditetapkan menjadi tersangka. Penyidik telah memegang data hubungan telepon Pollycarpus dengan Muchdi sebelum dan sesudah pembunuhan. Sebulan lebih setelah pemeriksaan Budi di Kuala Lumpur, polisi menangkap tersangka di tempat tinggalnya, Apartemen Sahid, Jalan Jenderal Sudirman, pada 18 Juni 2008.
Penangkapan dilakukan anggota Brigade Mobil Kepolisian, dipimpin Brigadir Jenderal Mathius Salempang. Mereka melakukannya dengan penuh persiapan. Sepekan sebelumnya, polisi menyewa satu kamar di lantai dua, tiga lantai di bawah suite yang ditinggali Muchdi. Tujuannya mengamati target, termasuk jadwal berangkat dan pulang, serta jumlah pengawal tersangka. "Tiap hari ia dikawal lima orang," kata seorang penyidik.
Kepolisian ekstrawaspada. Maklum, Muchdi adalah pensiunan perwira tinggi Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat. Posisinya di BIN juga menjadi bahan pertimbangan. Apalagi para penyidik mengetahui sejumlah penumpang Garuda yang dicurigai terkait dengan operasi pembunuhan Munir tewas tak wajar.
Penyidik juga waspada mengingat pengalaman mereka di Bandara Soekarno-Hatta. Ketika mereka merekonstruksi perjalanan Munir pada suatu malam, beberapa orang mengikuti mereka. Penyidik pun menjalankan teori intelijen "bakarlah kalau ketahuan": mengkonfrontasi para penguntit mereka. Dari situ ketahuan, penguntit adalah agen BIN yang biasa mangkal di "Kamar 18" Bandara Soekarno-Hatta.
Penangkapan Muchdi dilakukan di tempat parkir bawah tanah apartemen. Puluhan petugas bersenjata laras panjang, menggunakan tiga mobil, mengikuti operasi. Ketika melihat tersangka keluar dari lift pada pukul 17.00, Mathius Salempang berjalan sendiri menghampirinya, membawa surat penangkapan. Petugas lain membidikkan senjata ke arah pengawal Muchdi, mengantisipasi segala kemungkinan.
Menurut seorang perwira yang ketika itu nyaris tak berani berkedip, Mathius menunjukkan surat penahanan di map yang ditentengnya. Muchdi melihat surat itu, lalu berbicara kepada Mathius. Tiba-tiba seorang pengawal, yang diidentifikasi sebagai kolonel Kopassus, mencengkeram tangan Mathius.
"Komandan, perintah, Komandan…!" seorang anggota Brimob menghubungi pemimpin pengamanan dari alat komunikasi. "Tahan, tahan!" sang perwira menjawab.
Di luar dugaan, Muchdi menyingkirkan tangan pengawalnya dari tangan Mathius. Ia mengatakan akan mengikuti perintah Mathius. "Muchdi setuju diperiksa dengan satu syarat: tak diketahui wartawan," kata perwira itu. Semua senjata diturunkan, tapi tetap dalam kondisi terkokang. Iring-iringan mobil ini lalu membawa Muchdi ke Markas Besar Kepolisian RI.
Para pengacara Muchdi membantah kabar bahwa kliennya dijemput petugas di Sahid. "Pak Muchdi secara sukarela datang sendiri," kata Zaenal Maarif, seorang penasihat hukumnya.
Begitu tiba di Markas Besar Kepolisian, Muchdi diperiksa hingga dinihari dan langsung ditahan. Ia ditanya seputar hubungannya dengan Pollycarpus. Pengakuan Polly kepada Budi yang telah melapor "operasi ikan besar" ke Muchdi terkonfirmasi dengan catatan teleponnya yang telah dicetak polisi. Pada pukul 10.40, tujuh menit sebelum menghubungi Budi, nomor rumah Polly terekam mengontak nomor seluler milik Muchdi.
Selain ke nomor seluler, Polly terekam kerap menelepon Budi dan Muchdi ke nomor kantor BIN. Dalam pelacakan polisi, nomor Pollycarpus yang dipakai menelepon ke banyak nomor itu juga dipakainya menelepon Munir empat hari sebelum keberangkatan. Suciwati, istri Munir, yang menerima panggilan itu, mengabarkan bahwa suaminya berangkat pada 6 September 2004 malam. "Saya menyesal mengapa memberitahukan keberangkatan almarhum," kata Suciwati, dua pekan lalu.
UNTUK membuktikan nomor-nomor yang dikontak Pollycarpus adalah nomor kantor BIN, penyidik meminta PT Telkom mencetak lalu lintas percakapan dan bukti pembayaran oleh lembaga telik sandi itu. Tercetak di sana nomor-nomor yang dihubungi Polly dan terkonfirmasi sebagai kantor BIN.
"Kami hanya punya dua nomor, di deputi dan tata usaha," kata As'ad Said Ali, Wakil Kepala BIN saat pembunuhan Munir, kepada Tempo, Oktober lalu.
Bukti pembayaran Rp 6,9 juta per bulan oleh BIN mengkonfirmasi hanya dua nomor yang terdaftar, yakni 79179100 dan 79179699. Polly tercatat kerap menghubungi nomor 79179374. Menurut pelacakan tim pencari fakta ke Telkom, diperoleh keterangan bahwa dua nomor induk itu beranak-pinak. Jumlahnya mencapai 599 nomor—jumlah nomor secara urut di antara dua nomor induk itu.
Dalam persidangan, Muchdi mengatakan teleponnya dipakai orang lain. Pada waktu teleponnya berkomunikasi dengan Pollycarpus, dia mengatakan berada di Malaysia. Ia lalu menunjukkan cap di paspornya. Namun, seorang penyidik menuturkan, cap di paspor bisa diperoleh tanpa pemiliknya pergi ke Malaysia. "Kami, yang level rendah, pernah mencoba dan berhasil memperolehnya," ujarnya, "apalagi seorang petinggi badan intelijen."
Polly menyangkal memiliki nomor seluler 08159202267 yang datanya disedot polisi. Ia hanya mengakui nomor rumahnya di Pamulang, Tangerang Selatan. Nomor ini berkali-kali menghubungi Budi dan Muchdi. Kepada Tempo yang menemuinya di penjara Sukamiskin, Bandung, dua hari sebelum bebas bersyarat, ia tak menyangkal atau membenarkan kesaksian Budi, termasuk tuduhan ia agen intelijen. "Tanya ke BIN saja," katanya.
Selain soal telepon, polisi menanyakan surat Badan Intelijen Negara yang ditujukan ke Direktur Utama Garuda Indonesia Indra Setiawan pada Juli 2004. Surat tersebut tak lain kertas yang dibawa Polly untuk diperiksa Budi pada Juni 2004. Ketika dikirim ke Indra, surat itu diberi nomor R-451/VII/2004.
Dalam kesaksiannya kepada polisi, Indra mengakui kebenaran surat tersebut, yang dipakai sebagai rujukan untuk membuat surat penugasan Pollycarpus nomor GARUDA/DZ-2270/04 pada 11 Agustus 2004. Sayangnya, Indra tak bisa menunjukkan surat itu ke penyidik karena mobilnya dibobol maling saat parkir di Hotel Grand Sahid Jaya sebelum menyerahkannya ke polisi. Tas berisi dua surat itu diambil pencuri.
Mendapat bukti teramat penting tentang hubungan BIN, Pollycarpus, dan Garuda, penyidik membongkar komputer Muchdi di BIN. Menurut seorang penyidik, file surat tersebut sudah dihapus dari komputer kerja Muchdi. Penyidik meminta beberapa ahli teknologi informasi, termasuk ahli teknologi di BIN yang diminta membuat berita acara kesaksian pembongkaran, melacak sejumlah file yang dihilangkan itu.
Dengan sebuah peranti lunak, file hilang itu bisa dikembalikan dan disedot. Isinya persis seperti surat rekomendasi yang diterima Indra. "Itu surat yang saya pakai sebagai rujukan surat penugasan bagi Pollycarpus," katanya.
Dalam wawancara pada akhir Oktober lalu, As'ad Said Ali mengaku baru melihat surat yang disodorkan Tempo. "Saya tak pernah menandatangani surat ini," ujarnya. "Formatnya tak seperti umumnya surat dari BIN." Menurut dia, surat itu tak mencantumkan dasar dan rujukan penugasan Pollycarpus. Sebagai wakil kepala, kata As'ad, ia meneken semua surat yang dibuat kantornya.
Karena surat penugasan untuk Pollycarpus menjadi masalah dan bukti pembunuhan Munir yang menyeret namanya, Indra Setiawan meminta anak buahnya itu mempertemukannya dengan As'ad, yang belum pernah ia kenal. Dalam sebuah percakapan telepon yang disadap polisi, Pollycarpus menyanggupi permintaan itu dan Indra bertemu dengan As'ad di kantor BIN di Pejaten, Jakarta Selatan, sekitar November 2005.
Kepada As'ad, seperti ia tuturkan ulang kepada polisi, Indra mengeluhkan pemberitaan kasus pembunuhan Munir karena memojokkan Garuda. "Munir kami perlakukan dengan baik, mengapa Garuda diseret-seret?" katanya. "Tenang, Pak Indra, nanti juga selesai," As'ad menjawab, seperti ditirukan Indra.
As'ad menyangkal mengenal Pollycarpus. Menurut dia, Pollycarpus bukan agen organik ataupun anorganik BIN. Ia menyebutkan Polly hanya orang yang mengaku agen, lalu mengarang cerita telah menerima surat rekomendasi agar ditugasi dalam pengamanan internal. Ia mengatakan, "Agen yang benar itu tak pernah mengaku."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo