Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Konten musik gratis di YouTube Sounds From The Corner ikut dibajak.
Semua pemasukan dari adsense di konten itu masuk ke pemusik dan pemegang hak cipta.
Edukasi tentang kesadaran akan antipembajakan kepada masyarakat masih rendah.
Bos perusahaan pengembang video game Valve Corporation, Gabe Logan Newell, pernah berkomentar tentang fenomena pembajakan dalam industri hiburan. Menurut dia, salah satu penyebab masih maraknya pembajakan sebuah produk atau karya bukan disebabkan oleh masalah harga yang tak terjangkau konsumen, melainkan lebih karena kurangnya layanan dan akses ke produk orisinal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ucapan Gabe itu menegaskan anggapan umum yang menyatakan bahwa kehadiran aneka wahana penyedia konten siaran video atau audio (streaming) di Internet bakal menekan praktik pembajakan produk dan karya para seniman. Penjualan musik dan film bajakan melalui cakram CD, kaset, atau VCD bisa jadi berkurang drastis karena kebanyakan pengguna telepon seluler pintar lebih memilih menikmati musik atau film lewat aplikasi resmi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun laporan federasi industri rekaman suara (Federation of the Phonographic Industry/IFPI) pada 2018 menyatakan sebaliknya. Menurut laporan itu, di tengah masifnya kehadiran wahana siaran konten audio dan video, pembajakan masih terus terjadi. Sebanyak 38 persen konsumen musik di seluruh dunia masih memperoleh dan menikmati karya musik melalui cara ilegal.
Di era Internet dan kemudahan mengakses konten, bentuk pembajakan tak banyak berubah: menyalin konten audio maupun video dari suatu sumber ke media lain. Sementara dulu modus populer pembajakan musik atau film dilakukan lewat merekam ulang siaran radio, televisi, atau siaran bioskop, kini modusnya dengan "mengambil paksa" konten dari aneka wahana penyedia konten streaming tersebut.
Menurut laporan IFPI, cara itu menjadi modus terpopuler (dilakukan 32 persen konsumen global). Diikuti dengan mengunduh materi melalui situs jaringan berbagi (peer to peer), yang dilakukan 23 persen konsumen. Modus terakhir yang kini populer adalah mengunduh lewat mesin pencarian (dilakukan 17 persen konsumen).”
Di Indonesia, modus semacam itu juga masih marak terjadi. Salah satu yang "rutin" menjadi korban adalah kanal YouTube Sounds From The Corner (SFTC). Dibentuk sekitar 8 tahun lalu, SFTC menyediakan konten video penampilan para musikus Tanah Air. Konten-konten di kanal ini dikemas secara apik dengan kualitas video dan audio setara dengan film.
SFTC didirikan oleh Dimas Wisnuwardono dan Teguh Wicaksono sebagai proyek pendokumentasian penampilan musikus Indonesia. Hingga kini, mereka sudah punya lebih dari 300 video rekaman penampilan musikus yang dibuat khusus atau dokumentasi pada acara konser. Ada juga ratusan konten lain yang ada kaitannya dengan musik, seperti wawancara dengan tokoh-tokoh di industri musik Tanah Air.
Salah satu pendiri Sounds From The Corner, Teguh Wicaksono. Dok. Pribadi
Beberapa nama musikus "aliran umum", seperti Raisa, Sheila on 7, dan Noah, sampai grup musik independen semacam The Panturas, Komunal, dan Soloensis pernah "tampil" di SFTC. Tidak adanya batasan aliran musik di kanal ini membuat SFTC menjadi salah satu akun YouTube bertema musik yang populer di Indonesia. Ditambah lagi, kualitas video yang tajam dan suara jernih membuat jumlah pengikut kanal ini terus bertambah. Saat ini jumlah subscriber mereka sudah mencapai 639 ribu akun.
“Misi utama kami memang pengarsipan musik. Walau kontennya digarap serius, kami tak mengambil keuntungan finansial. Royalti yang dihasilkan dari siaran masuk langsung ke musikus atau pemilik hak cipta yang karyanya dimainkan,” kata Teguh Wicaksono kepada Tempo, Jumat lalu. Algoritma YouTube sejak beberapa tahun terakhir memang memungkinkan setiap konten karya musik yang ditampilkan oleh si musikus sendiri atau musikus lain, jika dimonetisasi, penghasilannya akan tetap masuk kepada musikus atau pemilik hak ciptanya.
Maka penayangan konten di SFTC pun menjadi sumber pemasukan lain bagi para musikus yang pernah dibuatkan kontennya. “Pada masa pandemi, ini lumayan banget. Musikus tetap dapat pemasukan walau kecil. Konsumen juga tetap bisa menonton pertunjukan musik.” Tapi manfaat royalti dari adsense itu baru bisa didapat musikus jika mereka sendiri terdaftar sebagai pemegang hak cipta dan memiliki arsip karya di YouTube.
Namun, walau konten-konten di SFTC bisa diakses siapa saja dengan mudah dan hanya bermodal kuota Internet, rupanya pembajakan pun menimpa mereka. Di mesin pencarian Google, banyak situs yang menyediakan tautan unduhan file audio (.mp3) yang diambil dari konten SFTC. Di YouTube sendiri, pencaplokan video oleh kanal lain atau penjiplakan konten beberapa kali ditemukan. Biasanya kanal lain memotong konten di SFTC yang panjang menjadi klip-klip pendek sesuai dengan durasi lagu.
Awalnya, Teguh dan kru SFTC lain serta para musikus yang pernah terlibat dan karyanya dibajak kerap menegur kanal atau situs yang mengambil konten mereka. Tapi belakangan Teguh ogah ambil pusing. “Gue enggak mau baper (bawa perasaan) sama hal-hal semacam itu. Karena kalau diladeni, malah capek sendiri,” ujarnya. “Menurut gue, karya lo dibajak sudah jadi risiko tinggal di Indonesia,” Teguh berseloroh.
Alih-alih menegur, para kru SFTC biasanya meninggalkan komentar lucu di kanal-kanal yang tak malu-malu mengunggah ulang konten SFTC. “Paling gue komentarin, keren banget nih videonya. Ha-ha-ha.” Di sisi lain, Teguh senang karena keberadaan kanal mereka kini membuat banyak kreator yang menghadirkan konsep konten serupa. “Meski gue tahu beberapa kreator menjiplak konsep SFTC, gue ikhlas karena mereka jadi ikut menggalakkan ini (pendokumentasian musik Indonesia).”
Keresahan justru datang dari para musikus karena pembajakan itu membuat potensi pemasukan dari royalti atau adsense (penghasilan iklan) di YouTube hilang. Biasanya kanal-kanal pembajak itu tak "membuka" diri untuk iklan, sehingga konten yang diputar tersebut tak menghasilkan pendapatan bagi pemilik hak ciptanya. “Teman-teman musikus yang rutin lapor kalo nemu ada konten SFTC yang dibajak.”
Teguh berpendapat bahwa edukasi mengenai kesadaran tentang antipembajakan kepada masyarakat masih rendah. Teguh beberapa kali membuat program edukasi itu. Misalnya lewat festival Archipelago Fest yang ia kerjakan bersama event organizer Studio Rama, beberapa kali ia mengadakan diskusi terkait dengan royalti, hak cipta, pajak musik, dan isu pembajakan. Tapi demografi acara itu, ujarnya, lebih menyasar kalangan profesional dan mereka yang terlibat di industri musik. “Konsumen juga perlu diedukasi, tapi itu tugas pihak lain.”
PRAGA UTAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo