Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kontrak ’Truf’ Kalla

13 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Secarik kertas dilambaikan di depan para pengurus Partai Golkar saat mereka menemui Jusuf Kalla di rumah dinasnya, dua pekan lalu. Wakil Presiden itu yang melambaikannya. Mereka tak boleh memegang, apalagi membacanya.

Itulah jawaban Kalla atas pertanyaan mereka. ”Kami bertanya, apa benar ada kontrak tertulis antara Pak Kalla dan SBY,” kata Rully Chaerul Azwar, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, menceritakan kejadian itu kepada Tempo, Kamis lalu.

Kabar tentang adanya kontrak pengikat pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sudah lama terdengar. Jusuf Kalla tak pernah sungkan bercerita mengenai soal ini sejak awal ia ada di pemerintahan, namun baru malam itu ia menunjukkannya. Dibuat sebelum deklarasi pencalonan SBY-JK pada 2004, menurut Kalla, beberapa poin telah ditambahkan dalam kontrak itu pada akhir tahun lalu, menjelang perombakan Kabinet Indonesia Bersatu. ”Tambahan kontrak dibuat setelah Pak Kalla menanyakan batas-batas kewenangannya kepada Presiden,” tutur Rully. Meski dalam Undang-Undang Dasar tugas wakil presiden telah digariskan untuk membantu presiden, Kalla agaknya ingin pembagian wewenang ini diperjelas. Alasannya, seperti yang ia kemukakan setahun lalu, walau presiden dan wakil presiden dipilih langsung satu paket, ”Saya bukan wakil presiden tanpa keringat.”

Kesepakatan dua orang ini tak jelas apa namanya. Kadang disebut perjanjian politik. Pernah pula Kalla menyebutnya ”nota kesepahaman”. Isinya pun samar-samar. Satu versi menyatakan pembagian kekuasaan secara makro: politik makro, pertahanan dan keamanan, serta luar negeri jadi urusan presiden. Sektor riil, usaha mikro, pengawasan, kesejahteraan adalah kewenangan wakil presiden. Seorang guru besar Universitas Indonesia dikabarkan sempat membuat draf awal meski, entah kenapa, draf yang penuh pertimbangan konstitusi ini batal diteken.

Versi yang lain, menurut informasi seorang yang dulu anggota tim sukses Yudhoyono, adalah draf hasil konsep kelompok Lembang Sembilan, tim sukses Jusuf Kalla. Isinya menekankan posisi Kalla dalam pemerintahan terpilih nanti: tak mau jadi sekadar acting perdana menteri, tak mau juga disepelekan sebagai ban serep, dan—ini yang penting—keputusan ekonomi harus dibuat bersama-sama.

Benarkah konsep dengan versi ini meluncur dari kubu Kalla? Aksa Mahmud, salah seorang tokoh Lembang Sembilan, membantahnya. Menurut adik ipar Kalla ini, konsep justru datang dari kubu Yudhoyono. Mereka menyodorkan dokumen dua halaman, diketik rapi. ”Bukan tulisan tangan. Memangnya teks Proklamasi?” ujarnya sambil tertawa.

Kontrak ini kemudian ditandatangani Kalla. Aksa, pemilik grup bisnis Bosowa, masih ingat ketika kontrak itu diteken. Saat itu malam hari, berlangsung di Jalan Denpasar, tempat kediaman Kalla saat masih menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Bunyi persisnya ia lupa, kurang-lebih berbunyi, ”Wakil presiden menangani masalah perekonomian dan melakukan koordinasi dengan menteri-menteri perekonomian.”

Masih ada versi lain yang, menurut Rully Chaerul Azwar, akan mendudukkan Kalla semacam kepala staf di dunia militer. ”Bisa juga disebut chief operative officer dalam perusahaan. Semua yang dilakukan tetap harus bertanggung jawab kepada presiden,” ujar Rully. Versi ini, kabarnya, dikirimkan SBY kepada Kalla pada 16 April di Hotel Dharmawangsa.

Selain ketiganya, ada pula versi yang menyebutkan dokumen itu memuat posisi Kalla sebagai pengambil keputusan atas isu-isu yang berhubungan dengan infrastruktur.

Dari empat versi cerita ini, isinya setali tiga uang: wapres bukan melulu tukang gunting pita. Kekuasaannya dalam bidang ekonomi punya sejarah tertulis. Itulah sebabnya Partai Golkar berang terhadap pembentukan unit kerja yang dianggap bertabrakan dengan wewenang Wakil Presiden.

Istana Merdeka tak mau mengakuinya. Kepada Tempo, Januari silam, SBY membantah soal keberadaan dokumen pembagian tugas itu. ”Saya juga heran, dari mana datangnya isu itu?” kata mantan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan ini. Bantahan ini terus diulang hingga pekan ini. Bahkan Heru Lelono, Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah, menegaskan, pembagian kekuasaan seperti itu menyalahi Undang-Undang Dasar.

Siapa yang benar? Hanya sepasang pemimpin ini yang tahu.

Kurie Suditomo, Budi Setyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus