Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pelaksanaan pemilu serentak 2018 diperkirakan tak berdampak besar terhadap perekonomian. Kalangan pelaku usaha mengungkapkan, pada perhelatan pesta demokrasi kali ini terjadi penurunan permintaan atribut keperluan kampanye, seperti spanduk, baliho, stiker, dan kaus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami melihat ada pergeseran metode kampanye menjadi lebih fokus di media sosial. Berapa besarnya pergeseran belum dihitung. Tapi, yang jelas, kontribusi ke perekonomian turun," ujar Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani, Selasa, 26 Juni 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penurunan permintaan alat peraga kampanye, kata Shinta, juga disebabkan adanya batasan penggunaan dana kampanye yang diterapkan bagi setiap pemerintah daerah pelaksana. Hal itu merujuk pada Pasal 7 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Dana Kampanye, yang mengatur dana yang berasal dari orang lain perseorangan nilainya paling banyak Rp 50 juta. "Kalau dulu tidak ada. Jadi kontribusinya mungkin lebih rendah dari pilpres (pemilihan presiden) 2014 yang hanya sekitar 0,1 persen," ucapnya.
Deputi Neraca dan Analisis Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) Sri Liestiowati mengatakan pergeseran pengeluaran dalam pilkada bisa dilihat dari pengeluaran lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LNP-RT). Kelompok ini juga mencakup belanja partai politik.
Lies mengatakan BPS sedang melakukan survei selama penyelenggaraan pilkada. "Selain survei LNP-RT, kami juga akan melihat data-data pengeluaran dari KPU, partai politik, dan cek apakah ada pergeseran kampanye ke media sosial," tuturnya.
Data detail mengenai hal itu, kata Lies, akan disampaikan BPS dalam rilis pertumbuhan ekonomi pada Agustus mendatang. Dia memperkirakan kontribusi ekonomi pilkada tahun ini setidaknya akan lebih baik daripada tahun lalu. Sebab, jumlah daerah yang terlibat dalam pemilihan serentak tahun ini lebih banyak, mencapai 171 daerah, dibanding pada tahun lalu yang hanya 101 daerah.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution juga menyampaikan harapan yang sama. Dia optimistis kegiatan pilkada dapat berkontribusi positif mendorong tingkat konsumsi rumah tangga. "Pilkada serentak mungkin salah satu yang terbesar. Jadi kami berharap bisa menaikkan pertumbuhan ekonomi sekitar 0,1 persen," katanya. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi di kuartal II ini diprediksi dapat menembus kisaran 5,2 persen.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual, mengatakan peluang tersebut terbuka karena pilkada melibatkan lebih dari 80 persen wilayah perekonomian Indonesia. "Bisa dibilang periode kampanyenya cukup lama dan disambung dengan pilpres 2019. Pergerakannya mulai dirasakan pada kuartal III," ujarnya.
David memperkirakan pilkada dapat menyumbang kontribusi terhadap produk domestik bruto sebesar 0,12 persen dari sektor konsumsi. "Walaupun dampak multiplier-nya tidak akan sebesar dulu ketika pemilu 2000-2010," ucapnya.
Pada periode 2000-2010, kata David, penggunaan media elektronik untuk kampanye sedikit dan lebih banyak berupa penggalangan massa. Dengan adanya pergeseran tren ini, belanja pilkada lebih banyak ke sektor telekomunikasi dan transportasi.
Adapun Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudhistira Adhinegara, memperkirakan pilkada serentak tidak mempengaruhi keputusan investor di bursa saham.
"Sentimen dari pilkada serentak diperkirakan tidak terlalu berimplikasi pada keputusan para investor," tuturnya saat dihubungi, Rabu, 27 Juni 2018. Menurut Bhima, hal tersebut karena adanya keamanan yang terjaga selama pilkada.
Baca berita tentang lain tentang pemilu serentak 2018 di Tempo.co.
CAESAR AKBAR | HENDARTYO HANGGI