Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pengungsi Mulai Terserang Penyakit

Satu per satu korban gempa Cianjur yang tinggal di tenda darurat mulai tersarang penyakit. Penularan sulit dihindari karena mereka tidur berdesakan.

26 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Setelah gempa bumi mengguncang Cianjur, Jawa Barat, Senin, 21 November lalu, Siti Nurhayanti dan keluarganya memilih tinggal di kandang kambing. Meski tidak nyaman, mereka merasa aman. Sebab, gempa susulan masih sering terjadi. Mereka khawatir akan keselamatan jika memaksakan diri tinggal di rumah. "Kami merasa aman saja di sini daripada tinggal di tenda pengungsian," kata Siti saat ditemui Tempo, kemarin, 25 November. "Kalau cuma bau (kandang kambing), kami sudah biasa."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keluarga Siti tinggal di Desa Ciputri, Kecamatan Cugenang. Mereka menolak tidur di tempat pengungsian karena kondisinya terlalu sesak. Sedangkan di kandang kambing, mereka relatif lebih leluasa dan dekat dengan rumah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baru semalam tidur di kandang kambing, Zalisiah Nurbani, anak Siti, terserang demam. Tubuh bocah berusia 7 tahun itu tidak sekuat orang tuanya untuk menahan hawa dingin di luar rumah. "Pengungsi lain yang tinggal di tenda darurat juga sama, banyak yang terserang penyakit," kata Siti. Ia berharap guncangan lindu tidak terjadi lagi sehingga mereka bisa memperbaiki dan kembali ke rumah.

Aceng Sukron, pengungsi di Desa Ciputri yang tinggal di tenda darurat, membenarkan ucapan Siti tersebut. Menurut dia, banyak pengungsi yang terserang batuk dan pilek, termasuk dirinya. Penyakit ini menular dengan cepat karena mereka tinggal di tenda yang sama. "Saya juga mulai gatal-gatal karena jarang mandi," kata Aceng. Ia sebenarnya tidak malas mandi, tapi air bersih untuk mandi memang tidak ada.

Dia sudah memeriksakan diri ke Puskesmas Cugenang untuk mengobati penyakitnya. Dokter mengatakan Aceng terserang batuk karena faktor cuaca. Namun, untuk penyakit gatal, ia disebut memang kurang merawat diri. "Gimana mau merawat diri, air saja susah," ujar Aceng. "Saya berharap bencana ini segera selesai dan kami bisa kembali hidup normal."

Berdasarkan pengamatan Tempo di Desa Ciputri, sebagian besar anak di tenda pengungsian terserang demam. Mereka tidur hanya beralaskan karung. Beberapa orang lanjut usia juga terpaksa dibaringkan terpisah karena sakit.

Kondisi serupa terlihat di Desa Jambudipa, Kecamatan Warungkondang. Bahkan seorang pengungsi bernama Aan Hasanah, 45 tahun, kemarin mengembuskan napas terakhir. Penyakitnya kambuh setelah dia beberapa hari tinggal di tenda pengungsian. Enan, 65 tahun, kakak Aan, mengatakan adiknya memiliki riwayat penyakit diabetes. "Dalam tiga hari terakhir, kondisi adik saya terus drop," ujar Enan.

Warga korban gempa berteduh di dalam tenda, yang didirikan di depan rumah mereka, saat hujan di Desa Sarabad, Cugenang, Cianjur, Jawa Barat, 23 November 2022. TEMPO/Amston Probel

Pendiri Sekolah Relawan, Bayu Gawtama, mengatakan, dua hari setelah gempa, memang semakin banyak pengungsi yang sakit. Sebagian besar dari mereka mengalami demam, batuk, pilek, gatal-gatal, dan diare. "Bisa disebabkan oleh faktor makanan yang kurang baik, sanitasi yang buruk, dan cuaca sekarang bertambah dingin karena sering hujan," ujarnya.

Menurut Bayu, tenaga medis dan pasokan obat-obatan mesti ditambah. Sebab, para pengungsi bakal lama tinggal di tempat penampungan. Meski nanti sudah tidak ada lindu, mereka tidak bisa langsung pulang karena rumah mereka telah hancur. "Jadi, harus ada antisipasi," kata Bayu. "Apalagi banyak tenda pengungsian yang sebenarnya tidak layak."

Pelaksana tugas Kepala Pusat Krisis Kementerian Kesehatan, Sumarjaya, mengatakan pihaknya telah memetakan masalah kesehatan yang dialami para pengungsi. Selain penyakit fisik, kondisi psikologis mereka perlu diperhatikan. "Kami telah memetakan risiko itu," ucapnya. "Kami mempunyai kluster kesehatan yang siap membantu."

Hingga kemarin tercatat 1.039 relawan kesehatan telah diterjunkan untuk menangani para pengungsi di 134 lokasi. Mereka terdiri atas 167 dokter umum, 21 spesialis bedah, 24 spesialis ortopedi, 345 perawatan, hingga psikolog.

Relawan tenaga kesehatan juga dikirim ke 15 puskesmas untuk membantu pengobatan warga. Sejauh ini, Kementerian Kesehatan mencatat sejumlah penyakit yang banyak menyerang pengungsi adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), gastritis, hipertensi, diare, dan diabetes melitus. "Paling banyak laporan penyakit yang diderita pengungsi adalah ISPA," ujar Sumarjaya.

Pemerintah memperkirakan jumlah pengungsi yang sakit terus bertambah. Kementerian Kesehatan tengah menyiapkan penambahan dokter umum, perawat, dokter anak, tenaga sanitarian, dan psikolog. Tenaga sanitarian dibutuhkan untuk melakukan asesmen kesehatan lingkungan. Mereka akan disebar ke posko-posko pengungsian.

Buruknya sanitasi di pengungsian bisa berpotensi menimbulkan penyakit pada para pengungsi. "Tapi saat ini yang lebih mendesak perlu ditambahkan adalah dokter spesialis anak. Sebab, banyak anak yang rentan sakit selama tinggal di pengungsian."

Hingga kemarin, relawan kesehatan dari sejumlah daerah masih terus berdatangan. Mereka diminta mendaftar di posko utama tanggap darurat yang berada di pendopo kantor Bupati Cianjur. Pendataan itu bertujuan memudahkan pengaturan dan penyebaran tenaga kesehatan. "Agar bisa disebar sehingga tidak menumpuk di satu titik saja," ucap Sumarjaya.

Penempatan relawan kesehatan di lokasi pengungsian bakal dikawal kepolisian. Sebab, masyarakat kerap tidak memahami kunjungan relawan kesehatan ke lokasi pengungsian tersebut. "Karena ada relawan kesehatan yang disuruh membersihkan rumah. Itu kan tidak tepat dengan tujuan kedatangan kami," ujarnya. "Bahkan ada yang dicegat di tengah jalan."

Relawan memeriksa kesehatan warga korban gempa di Desa Gasol, Cugenang, Cianjur, Jawa Barat, 25 November 2022. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat, Hermawan Saputra, mengatakan risiko kesehatan memang menghantui pengungsi yang tinggal di tempat penampungan sementara. Untuk mencegah mereka terserang berbagai penyakit, hal yang harus diperhatikan adalah sanitasi, akses air bersih, serta sarana pembuangan jamban pada fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK) yang bersih dan terjangkau. "Kalau itu terpenuhi, bisa mencegah potensi keterpaparan dari risiko penyakit menular," kata Hermawan. "Karena potensi penyebaran penyakit di pengungsian banyak sekali."

Selain itu, para pengungsi mesti memahami bahwa pandemi Covid-19 belum berakhir. Mereka bisa tertular virus Covid-19 jika tidak menjaga higienitas lingkungan dan protokol kesehatan. Untuk higienitas, kata dia, relawan mesti memastikan bahwa suplai makanan harus dari sumber yang steril serta berbahan baik dan bergizi. "Juga disertai dengan suplemen atau multivitamin karena menyangkut kondisi lapangan," ucap Hermawan.

Ia mengingatkan relawan memperhatikan kesehatan ibu dan anak yang juga menjadi pengungsi. Pendampingan bagi mereka diperlukan dengan memeriksa status kesehatan secara berkala, seperti tekanan darah, kadar gula darah, dan kondisi janin bagi ibu yang sedang hamil. "Makanan mereka harus bergizi untuk mencegah anak yang dilahirkan mengalami stunting," kata Hermawan. "Mereka butuh makanan tambahan."

Epidemiolog dari Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman, mengatakan, untuk penanganan risiko kesehatan yang berpotensi terjadi, pemerintah mesti secepatnya memperbaiki infrastruktur dan layanan dasar untuk pengungsi, seperti puskesmas, rumah sakit, dan ketersediaan tenaga kesehatan. Pemerintah juga bisa membuat rumah sakit darurat di area lapang untuk mengantisipasi lonjakan jumlah pengungsi yang sakit.

"Yang dirawat di rumah sakit juga mesti dipikirkan karena kondisi masih gempa. Jadi, yang di dalam mesti diwaspadai dengan pembuatan rumah sakit darurat itu."

Dicky mengatakan telah meninjau langsung lokasi gempa dan pengungsian di Cianjur. Menurut dia, kondisi tempat tinggal pengungsi sangat rentan menimbulkan penyakit karena sanitasinya buruk. Apalagi mereka tinggal di tenda yang tidak layak dalam kondisi cuaca yang hampir saban hari diguyur hujan. "Di dalam tenda dengan kondisi hujan seperti sekarang ini membuat mereka lebih rentan terserang penyakit. Apalagi sumber air bersih, makan, MCK tidak memadai," ucapnya. "Dari pantauan saya, di Cugenang air juga masih sulit."

IMAM HAMDI | M.A. MURTADHO (BOGOR) | DEDEN ABDUL AZIS (CIANJUR) | HELMALIA PUTRI | ADYA NURUL
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus