Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Koreksi Indeks Saham karena Terorisme Dinilai Wajar

Frekuensi perdagangan berjalan normal.

15 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia, Tito Sulistio, optimistis pasar modal mampu bertahan terhadap guncangan serangan terorisme yang terjadi di Jawa Timur. Koreksi indeks harga saham gabungan (IHSG) dianggap masih normal. "Saat bom Thamrin dua tahun lalu, hari pertama juga turun," ujarnya kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tito menyatakan, tiap kali terjadi serangan terorisme, seperti ledakan bom, indeks kerap mengalami koreksi. Menurut dia, hal yang perlu diperhatikan adalah likuiditas pasar atau frekuensi perdagangan. "Frekuensi perdagangan BEI di kisaran 300 ribu transaksi saat ini terbilang bagus. Kepercayaan investor hilang bila likuiditas anjlok," ucapnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasca-ledakan bom di Surabaya, Jawa Timur, IHSG kemarin ditutup melemah 9,68 poin atau 0,16 persen menjadi 5.947,16, dengan frekuensi perdagangan menyentuh 333.405 transaksi. Saat terjadi teror bom di kawasan Sarinah, Jalan Thamrin, Jakarta, 14 Januari 2016, IHSG pun melemah 24 poin (0,53 persen) menjadi 4.513,18. "Koreksi terbesar IHSG itu waktu Bom Bali I, yaitu sebesar 10 persen," kata Tito.

Ihwal keamanan data perdagangan, Tito mengatakan, otoritas bursa telah mengantisipasi dengan menjaga sistem perdagangan dan pusat data. Bursa sudah memindahkan sistem perdagangan ke lokasi rahasia dan meningkatkan pengamanannya. Adapun pengamanan gedung, dia menyerahkan kepada manajemen pengelola gedung.

Pada perdagangan kemarin, PT Surya Pertiwi Tbk mencatatkan saham perdana di lantai bursa. Direktur Surya Pertiwi, Irene Hamidjaja, mengatakan teror tidak berdampak pada kinerja perusahaan. Harga saham saat pencatatan justru naik sebesar 10,34 persen atau 120 poin ke level Rp 1.280. "Buktinya, pergerakan saham kami tak terpengaruh," kata Irene.

Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), Akbar Djohan, mengatakan gejolak terorisme berpeluang berdampak terhadap distribusi barang. Kendati belum bisa menghitung kerugian dari sisi ekonomi, kata dia, dampak yang dapat dirasakan langsung adalah tertundanya pengiriman barang. "Tapi dampak tidak lama (penundaannya)," ujarnya kemarin.

Menurut Akbar, dampak biasanya berupa keterlambatan distribusi bahan-bahan kimia dan turunannya. Meski begitu, dia meyakinkan bahwa pengimpor dan penerima barang sudah langsung saling memahami. Dia menambahkan, anggota ALFI juga meningkatkan pengawasan distribusi barang setelah serangkaian bom di Surabaya. "Kami jadi hati-hati kalau terima order."

Ketua Dewan Pengurus ALFI Jawa Timur, Hengky Pratoko, mengatakan belum ada dampak dari aksi bom terhadap distribusi barang dari dan menuju pelabuhan atau pusat logistik di Surabaya. Menurut dia, aktivitas distribusi logistik masih berjalan normal.

Meski demikian, dia khawatir akan dampak psikologis pada pelaku pasar atas informasi menyesatkan yang menyebar melalui aplikasi WhatsApp.Hengky berharap informasi seperti itu tidak dipercaya karena bila terjadi (pasar sepi) akan membuat arus barang terganggu. ADITYA BUDIMAN


Tidak Signifikan

Pasca-bom Surabaya, Ahad lalu, indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) turun, tapi cuma 9,68 poin. Direktur Utama PT BEI, Tito Sulistio, menyatakan pengaruh terorisme pada pergerakan IHSG memang tidak signifikan. Faktor yang paling berpengaruh terhadap pasar modal Indonesia, menurut dia, adalah kebijakan pemerintah. Antara lain tingkat suku bunga; nilai kurs rupiah; kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, terutama penerimaan pajak; dan subsidi. "Selalu itu yang ditanyakan investor," kata dia.
>> 13 Mei 2018 Bom meledak di tiga tempat di Surabaya, Jawa Timur. IHSG dari 5.956,84 menjadi 5.947,16.
>> 25 Mei 2017 Bom meledak di Kampung Melayu, Jakarta. IHSG menguat dari 5.703 menjadi 5.713.
>> 14 Januari 2016 Bom meledak di kawasan Sarinah, Jakarta. IHSG terkoreksi dari 4.537,18 menjadi 4.513,18.
>> 17 Juli 2009 Bom meledak di Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton, Jakarta. IHSG melemah dari 2.117,95 menjadi 2.106,35.
>> 1 Oktober 2005 Bom kembali menghantam Bali. IHSG turun dari 1.079,28 menjadi 1.054,75.
>> 5 Agustus 2003 Bom meledak di Hotel JW Marriot, Jakarta. IHSG turun dari 503,420 menjadi 488,529.
>> 12 Oktober 2002 Bom menghantam Bali. IHSG turun dari 376,466 menjadi 337,475.
>> 13 September 2000 Bom menghancurkan gedung Bursa Efek Indonesia. IHSG turun dari 451,045 ke posisi 442,091.

SUMBER: RISET TEMPO | ADITYA BUDIMAN

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus