Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemberian uang ke sejumlah lembaga pemerintah lazim dilakukan para koruptor.
Setidaknya sudah ada 13 tersangka kasus korupsi BTS 4G Kementerian Kominfo.
Komisi Kejaksaan perlu turun tangan memantau pengusutan kasus BTS.
JAKARTA – Sejumlah ahli hukum pidana dan pegiat antikorupsi menilai pengucuran fulus kepada sejumlah lembaga pemerintah seakan-akan menjadi lazim dilakukan para koruptor. Sebab, praktik korupsi saat ini tidak hanya dilakukan oleh salah satu kalangan atau lembaga semata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hajar, jawaban kompak dari para tersangka ataupun terdakwa ihwal pengucuran uang ke lembaga pemerintah jelas untuk meredam pengusutan kasus korupsi sehingga tidak perlu penyelidikan lebih lanjut. “Ini menjadi suatu kelaziman apabila koruptor ingin selamat,” ujar Fickar saat dihubungi pada Ahad, 29 Oktober 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengusutan kasus korupsi proyek menara pemancar sinyal atau base transceiver station (BTS) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) belakangan merembet ke dugaan tindak pidana lain. Sejumlah terdakwa yang diadili dalam sidang kasus korupsi proyek menara “bernyanyi” dengan mengungkapkan adanya upaya meredam kasus tersebut. Dengan begitu, selain pokok perkara, yakni proyek menara BTS, diduga ada upaya memberikan gratifikasi atau suap untuk meredam pokok kasus tersebut.
Baca:
- Jaksa Kejar Dugaan Penerimaan Duit di BPK
- Dua Bingkisan untuk Dito
- Dua Kabar Dana Penanganan Korupsi BTS
Menurut Fickar, korupsi proyek menara BTS 4G Kementerian Kominfo melibatkan banyak pihak. Bahkan para tersangka dan terdakwa yang terseret perkara ini memahami betul kelindan antarlembaga, seperti Badan Pemeriksa Keuangan, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Kejaksaan Agung selaku aparat penegak hukum. “Artinya, kejahatan ini dilakukan sistematis dan terukur risikonya,” ujarnya.
Total setidaknya sudah ada 13 tersangka yang terlibat dalam pusaran korupsi BTS 4G Kementerian Kominfo. Kasus ini terbagi menjadi beberapa kluster. Tersangka pokok perkara proyek menara itu adalah terdakwa Anang Achmad Latif, mantan Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) yang dituntut 18 tahun penjara; Yohan Suryanto, tenaga ahli dari Human Development Universitas Indonesia, dituntut 6 tahun penjara; dan mantan Menteri Kominfo, Johnny G. Plate, dituntut 15 tahun penjara.
Tiga terdakwa lain adalah Irwan Hermawan, mantan Komisaris PT Solitechmedia Sinergy; Galumbang Menak Simanjuntak, mantan Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia Tbk; dan Mukti Ali, Director of Integrated Account Department PT Huawei Tech Investment. Sidang tuntutan terhadap ketiganya akan digelar pada Senin depan.
Masih dalam penyidikan perkara pokok dugaan korupsi BTS 4G, Kejaksaan menetapkan enam tersangka lain. Berkas penyidikan dua tersangka telah dinyatakan lengkap kendati belum dilimpahkan ke pengadilan, yaitu Windi Purnama, orang kepercayaan Irwan Hermawan; dan Muhammad Yusrizki, Direktur Utama PT Basis Utama Prima.
Adapun empat tersangka lain masih menjalani penyidikan. Mereka adalah Direktur Utama PT Sansaine Exindo Jemmy Sutjiawan, Tenaga Ahli Kementerian Komunikasi Walbertus Natalius Wisang, Kepala Divisi Lastmile dan Backhaul Bakti Muhammad Feriandi Mirza, serta Pejabat Pembuat Komitmen Bakti Elvano Hatorangan.
Kluster lain dari kasus proyek BTS 4G adalah dugaan gratifikasi untuk meredam kasus. Kasus teranyar, Kejaksaan menetapkan dua tersangka, yaitu Naek Parulian Washington Hutahaean alias Edward Hutahaean dan Sadikin Rusli.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Tibiko Zabar Pradano, mengatakan terungkapnya aliran dana korupsi BTS 4G ke sejumlah lembaga di persidangan menunjukkan adanya upaya mempengaruhi penanganan perkara. Tibiko menyebutkan adanya aliran dana ke Komisi I DPR.
“Mereka tahu Komisi I DPR memiliki kaitan erat dan peran strategis dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai mitra kerjanya,” kata Tibiko. Begitu pula dengan BPK selaku auditor negara. “Para tersangka dan terdakwa memahami kewenangan masing-masing lembaga dan mencoba mempengaruhi penanganan dengan cara menyuap.”
Achsanul Qosasi di Gedung Nusantara II, kompleks MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, 2015. Dok. TEMPO/STR/Dhemas Reviyanto Atmodjo
Nama Anggota III BPK Achsanul Qosasi terkuak dalam persidangan pada Senin pekan lalu, 23 Oktober 2023. Jaksa penuntut umum mencecar terdakwa Irwan Hermawan dan Galumbang Menak Simanjuntak tentang sosok berinisial AQ yang sempat disebutkan terdakwa Anang Achmad Latif di grup percakapan mereka. Singkat cerita, setelah dicecar jaksa dengan pertanyaan, Galumbang menyebutkan AQ adalah Achsanul Qosasi.
Irwan, dalam keterangannya kepada penyidik, menyebutkan nama Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotedjo, yang diduga menerima uang korupsi proyek menara BTS 4G senilai Rp 27 miliar. Keterangan Irwan itu diperkuat oleh Resi Yuki Bramani, anggota staf Galumbang Menak Simanjuntak di PT Mora Telematika Indonesia. Ketika memberikan keterangan dalam persidangan pada Senin, 9 Oktober lalu, Resi mengaku dua kali mengantarkan bingkisan ke rumah Dito di Jalan Denpasar Nomor 34, Jakarta Selatan, pada kurun waktu November-Desember 2022.
Meski begitu, sejak awal Dito menampik tudingan tersebut. Saat memberikan keterangan dalam persidangan pada Rabu, 11 Oktober lalu, Dito menyatakan tidak mengenal Irwan Hermawan ataupun Anang Achmad Latif. Dia mengaku hanya mengenal Galumbang sebagai kolega bisnis.
Selain itu, ada nama Nistra Yohan, bekas staf ahli anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Sugiono. Kepada penyidik, orang kepercayaan Irwan, Windi Purnama, mengaku dua kali menyerahkan dana senilai Rp 70 miliar kepada Nistra. Uang itu untuk diberikan kepada Komisi I DPR. Kepada Tempo pada 25 Juni lalu, Sugiono mengatakan Nistra sudah tidak lagi menjadi asistennya sejak awal tahun ini. Sugiono juga membantah tudingan yang menyebutkan ia menerima uang yang diberikan para tersangka.
Komisi Kejaksaan Perlu Turun Tangan
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan Kejaksaan mesti bergerak cepat mengusut aliran dana ke sejumlah nama dan lembaga. “Bisa dibilang ini kejahatan yang terorganisasi,” kata Julius. Kejaksaan bisa segera memeriksa ulang Nistra Yohan dan pihak-pihak yang disebutkan namanya dalam persidangan.
Tibiko Zabar berharap Komisi Kejaksaan juga turun tangan mengawasi penanganan perkara korupsi BTS 4G. Menurut Tibiko, “nyanyian” tersangka atau terdakwa yang menyatakan ihwal adanya orang di Kejaksaan yang berpengaruh dalam meredam perkara mesti diusut. “Itu bakal menjadi pintu masuk bagi Komisi Kejaksaan dalam memantau kasus ini agar tidak ada gangguan atau upaya menghalangi penyidikan,” ujar Tibiko.
Adapun dalam keterangan Irwan dan Windi, sejumlah nama ditengarai menerima uang pengamanan perkara rasuah ini. Mereka adalah Naek Parulian Washington Hutahaean alias Edward Hutahaean, Dito Ariotedjo, Nistra Yohan, Windu Aji Sutanto, dan seseorang bernama Setyo. Jumat lalu, penyidik menahan dan menetapkan Edward Hutahaean sebagai tersangka. Edward diduga menerima uang Rp 15 miliar melalui anak buah Galumbang Menak Simanjuntak. Uang itu disebut-sebut untuk keperluan penegak hukum yang diduga berasal dari Kejaksaan Agung.
Adapun Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana tidak berkomentar banyak ihwal perkembangan pengusutan perkara sehubungan dengan nama Dito, Nistra, dan orang di Kejaksaan yang diduga memiliki pengaruh kuat dalam meredam perkara ini. Dia menegaskan, penyidik terus berupaya meminta keterangan Nistra. Sebab, Nistra sampai saat ini tidak pernah memenuhi panggilan Kejaksaan.
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak belum menjawab pesan pertanyaan Tempo ihwal bagaimana langkah institusinya mengawal pengusutan perkara korupsi pengadaan menara BTS 4G ini.
ANDI ADAM FATURAHMAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo