Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Akal-akalan Kuningan Menampik Ombudsman

KPK menolak pemeriksaan Ombudsman dengan alasan pemecatan Endar bukan pelayanan publik. Ada opsi memanggil paksa pimpinan KPK.

31 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pimpinan dan pejabat KPK berulang kali menolak pemeriksaan Ombudsman soal pemecatan Endar Priantoro.

  • Ombudsman menyiapkan tiga opsi, satu di antaranya akan memanggil paksa pihak KPK.

  • Sikap KPK dianggap melanggar kode etik.

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi secara terang-terangan menolak pemeriksaan Ombudsman Republik Indonesia dalam kasus dugaan pelanggaran prosedur atau maladministrasi atas pencopotan Brigadir Jenderal Endar Priantoro dari jabatan Direktur Penyelidikan Komisi Antirasuah. KPK beralasan bahwa Ombudsman tidak berwenang menangani pemecatan Endar karena tak berhubungan dengan pelayanan publik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Bahasa suratnya, KPK secara kelembagaan menolak diperiksa," kata Robert Na Endi Jaweng, anggota Ombudsman, di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa, 30 Mei 2023. Endi Jaweng mengatakan, awalnya Ombudsman memanggil Ketua KPK Firli Bahuri pada 11 Mei lalu. Pemanggilan terhadap pensiunan polisi bintang tiga tersebut atas laporan Endar ke Ombudsman pada 17 April 2023. Endar mengadukan pemecatan dirinya sebagai pegawai KPK. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat pemecatan Endar diteken Sekretaris Jenderal KPK Cahya Hardianto Harefa pada 31 Maret 2023. Sebelumnya, Firli bersurat ke Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang isinya mengembalikan Endar ke kepolisian—lembaga asal Endar. Sikap Firli dan Cahya ini mengabaikan surat Listyo Sigit sebelumnya yang menyatakan bahwa Polri tetap menugasi Endar sebagai Direktur Penyelidikan KPK. Dua hari setelah pemecatan, Listyo kembali menegaskan keputusannya untuk mempertahankan Endar di KPK.

Meski KPK membantah, pemecatan itu diduga kuat berhubungan dengan sikap Endar yang berseberangan dengan Firli dalam urusan pengusutan kasus Formula E di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Firli menghendaki kegiatan di era Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta itu naik ke tahap penyidikan. Namun Endar menolaknya dengan alasan belum menemukan dua alat bukti yang cukup.

Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, memberikan keterangan di gedung Ombudsman RI, Jakarta, 30 Mei 2023. ANTARA/Asprilla Dwi Adha

Endi Jaweng melanjutkan, sepekan setelah menerima surat panggilan Ombudsman, Firli menjawab. Firli mengaku menghormati upaya hukum di Ombudsman, tapi belum bisa memenuhi permintaan tersebut karena masih mempelajarinya. Hingga kini, Ombudsman belum memeriksa Firli.

Pada hari yang sama, kata Endi Jaweng, Ombudsman memanggil Cahya Harefa. Namun, lewat surat tertanggal 20 Mei 2023, Cahya menolak pemeriksaan Ombudsman. Ia juga mempertanyakan kewenangan Ombudsman dalam menangani laporan Endar. "Padahal dalam surat kami belum ada pertanyaan, tapi KPK sudah menyimpulkan," kata Endi Jaweng.

Ombudsman kembali memanggil Cahya yang kedua kalinya pada 22 Mei lalu, tapi ia lagi-lagi menolak dengan alasan serupa. Bahkan pihak KPK berdalih bahwa penolakan pemeriksaan tersebut untuk menghindarkan Ombudsman dari penyalahgunaan wewenang. “Ini lebih luar biasa lagi. Ada lembaga menguliahi kami yang sudah bertahun-tahun bekerja dengan ketentuan yang ada," ujar Endi Jaweng.

Mantan Ketua Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) ini mengatakan Ombudsman sudah mempelajari laporan Endar sebelum memanggil Firli dan Cahya. Kesimpulan mereka, obyek laporan Endar masuk dalam kewenangan dan pengawasan Ombudsman sesuai dengan Undang-Undang Ombudsman RI, khususnya urusan pelayanan administrasi di bidang pekerjaan. Dari situ, Ombudsman mulai memeriksa pelapor, pihak kepolisian, hingga memanggil pimpinan KPK. Namun langkah Ombudsman terganjal penolakan Kuningan—julukan KPK yang mengacu pada lokasi kantor mereka.

Endi Jaweng menyebutkan Ombudsman menyiapkan tiga opsi atas penolakan tersebut. Pertama, Ombudsman cukup mendapat jawaban tertulis dari KPK jika tidak dapat hadir. Kedua, Ombudsman menempatkan KPK sebagai pihak yang tak menggunakan haknya. Lalu Ombudsman melanjutkan investigasi laporan Endar hingga menerbitkan rekomendasi. Ketiga, Ombudsman memanggil paksa pihak KPK dengan bantuan kepolisian.

"Opsi ini diambil ketika kami menilai ketidakhadiran itu karena unsur kesengajaan. Apalagi secara terang benderang menyampaikan argumentasi yang mempertanyakan kewenangan Ombudsman," kata Endi Jaweng. Ombudsman akan membahas ketiga opsi tersebut sebelum memutuskan langkah selanjutnya.

Penyangkalan terhadap Ombudsman ini merupakan pengulangan sikap komisi antirasuah. Pada 2021, KPK tak bersedia menjalankan rekomendasi Ombudsman mengenai pemecatan 75 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Saat itu, Ombudsman meminta KPK segera mengalihkan status 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK tersebut menjadi aparatur sipil negara (ASN). Ombudsman juga menilai pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN lewat TWK itu menyalahi prosedur. 

Cahya Harefa membenarkan bahwa KPK memang tak memenuhi pemanggilan Ombudsman soal pemecatan Endar. Alasannya, pemecatan Endar bukan urusan pelayanan publik, melainkan bagian dari manajemen sumber daya manusia di KPK.

“Permintaan klarifikasi oleh Ombudsman kepada KPK tidak bisa dipenuhi karena substansi yang hendak diklarifikasi tidak termasuk dalam ranah pelayanan publik yang merupakan kewenangan Ombudsman," kata Cahya lewat keterangan tertulis, kemarin. Dia mengatakan penyelesaian pencopotan Endar harus berpedoman pada UU Administrasi Pemerintahan, yaitu dengan jalan menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). 

Kuasa hukum Endar, Rachmat Mulyana, menilai sikap KPK tersebut memamerkan arogansi kelembagaan. "Mereka tidak melaksanakan prinsip bernegara sebagai lembaga pemerintahan yang baik," kata Rachmat.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansah, berpendapat bahwa langkah Ombudsman dengan memanggil KPK sudah tepat. Sebab, obyek pengaduan Endar ke Ombudsman masuk bagian dari penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu di bidang hukum sesuai dengan jabatan Endar. “Karena itu, Ombudsman berwenang memeriksa KPK. Kalau KPK menolak, jadi aneh dan melanggar undang-undang," kata Trubus. Ia pun menyarankan Ombudsman memanggil paksa pimpinan KPK maupun pejabat KPK lainnya.

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch, Lalola Easter, menguatkan pendapat Trubus itu. Lalola mengatakan Ombudsman berwenang memeriksa KPK sesuai dengan amanat UU Ombudsman. Dengan demikian, pihak KPK tidak semestinya mempertanyakan kewenangan Ombudsman untuk menghadiri pemeriksaan tersebut. “Jika berkeberatan dengan substansi pelaporan, KPK bisa menyampaikannya saat pemeriksaan,” kata Lalola. "Penolakan KPK ini justru memperkuat adanya tindakan maladministrasi."

M. Praswad Nugraha, Ketua IM57+ Institute—organisasi antikorupsi yang didirikan para eks pegawai KPK—sependapat dengan Lalola. Praswad mengatakan sikap KPK yang tidak menghormati hukum tersebut sangat berbahaya karena bisa dicontoh lembaga lain saat dipanggil oleh Ombudsman.

Penolakan pemeriksaan tersebut, kata dia, sangat paradoks dengan tugas KPK sebagai pemberantas korupsi, yang juga memeriksa saksi-saksi. "Sikap itu sudah melanggar sumpah jabatan untuk taat pada hukum dan undang-undang. Untuk itu, Dewan Pengawas harus segera memanggil pimpinan KPK," kata Praswad. 

Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur. Dok. TEMPO/Rizki Putra

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur ikut meminta Dewan Pengawas turun tangan dalam kasus ini. Ia menilai penolakan tersebut menunjukkan sikap pimpinan dan pejabat KPK yang tidak melaksanakan serta menghormati hukum dan justru melecehkannya. "KPK punya kode etik. Pimpinan KPK memiliki kewajiban melaksanakan hukum dan menghormati hukum," ujar Isnur. 

Isnur menganggap penolakan pemeriksaan ini bukan bentuk ketidaktahuan KPK, melainkan kesengajaan menolak memenuhi pemeriksaan lembaga yang berwenang. Dia menilai kejadian ini membuktikan inkonsistensi KPK, yang sebelumnya memenuhi pemeriksaan Ombudsman saat memecat para pegawainya lewat tes wawasan kebangsaan. “Obyek pelaporan saat itu sama dengan laporan Endar saat ini, yaitu urusan ketenagakerjaan,” kata Isnur.

Program Manager Departemen Tata Kelola Demokrasi Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, mengatakan sikap KPK tersebut justru memperkuat dugaan maladministrasi atas pemecatan Endar. Ia berpendapat, Ombudsman dapat melanjutkan laporan Endar tanpa perlu menunggu kesediaan KPK untuk diperiksa. Kemudian Ombudsman menerbitkan rekomendasi berupa tindakan korektif kepada KPK. "Tindakan korektif itu wajib dijalankan dalam rentang waktu 30 hari," kata Alvin. 

HENDRIK YAPUTRA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus