Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dewan Perwakilan Rakyat mengebut revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi hanya untuk mengubah aturan usia dan masa jabatan hakim.
Pembahasan revisi UU MK baru dimulai pekan lalu.
Revisi ini mengabaikan hal yang lebih substansial seperti penambahan kewenangan dan pengawasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewan Perwakilan Rakyat mengebut pembahasan revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Pembahasan berlangsung tertutup dalam waktu tak lebih dari tujuh hari kerja. Alih-alih mendapat apresiasi, pembahasan superkilat itu malah memantik kecurigaan. Apalagi DPR hanya mengubah batasan usia dan masa jabatan hakim konstitusi, tidak menyentuh hal substansial seperti pengawasan hakim dan manajemen perkara di MK. Maya Ayu Puspitasari dari Tempo mewawancarai ahli hukum tata negara Bivitri Susanti untuk membedah kontroversi seputar revisi undang-undang tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengapa revisi Undang-Undang MK dipersoalkan?
Pertama, tidak ada urgensi. Tidak ada urgensi dalam arti, ada atau tidak ada revisi itu, MK bisa tetap jalan relatif baik. Kalau mau direvisi bukan itu, kalau itu kan cuma revisi masa jabatan.
Aspek apa yang seharusnya ada dalam revisi UU MK?
Kalaupun mau direvisi, harusnya yang lebih urgen. Dari analisis yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi, pada laporan tahunan 2019 yang dirilis beberapa bulan lalu, MK butuh perbaikan soal kode etik hakim yang tidak memadai dan manajemen perkara. Kalau, misalnya, intensi dari perubahan UU itu perbaikan personel hakim, paling tidak itu yang disasar, bukan seberapa lama masa jabatan. Di kalangan ahli hukum tata negara, revisi UU MK sudah lama dibahas. Tapi yang didiskusikan bukan berapa tahun masa jabatan, melainkan lebih pada urusan transparansi dan pertanggungjawaban etik, misalnya.
Menurut Anda, apa kepentingan politik di balik revisi Undang-Undang MK?
Kita tidak bisa mungkiri tugas MK itu untuk mengoreksi hal-hal yang dihasilkan DPR. Cukup banyak putusan MK itu yang secara langsung berpengaruh pada para politikus. Misalnya, revisi UU KPK yang lagi diuji sekarang di MK. Atau, sekarang ada politikus yang meminta MK menganulir kewajiban mengundurkan bagi anggota DPR yang mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah. Jadi, kepentingan yang dipertaruhkan ke MK itu kepentingan politik langsung.
Apakah Anda melihat ada kesepakatan khusus atau kompromi antara DPR dan MK dalam revisi undang-undang kali ini?
Enggak salah kalau publik mempertanyakan ada enggak tawar-menawar antara MK dan DPR. Sebab, bila dilihat dari hasil revisinya, ada hakim-hakim yang diuntungkan, ada pula yang dirugikan. Tapi hakim yang diuntungkan lebih banyak. Karena ada penambahan masa jabatan hingga 15 tahun, mereka tidak bisa diganggu gugat. Kalau dulu kan paling tidak hakim konstitusi bisa dipilih ulang setelah lima tahun, sehingga performanya bisa lebih baik. Kalau sekarang kan tidak. Jadinya, ya sudah, begitu saja, 15 tahun. Makanya timbul pertanyaan, apakah ini kemauan para hakim yang mungkin dipertukarkan dengan putusan uji materi atas undang-undang yang sedang dibahas di DPR?
Apakah ada indikasi bahwa revisi undang-undang oleh DPR akan dipertukarkan dengan putusan uji materi di MK?
Saya enggak punya bukti apakah benar dipertukarkan atau tidak. Tentu susah dibuktikan. Tapi enggak salah kalau dipertanyakan, karena urgensi revisi sama sekali enggak ada kalau yang berubah hanya masa jabatan hakim hingga 15 tahun itu.
Apa masalahnya dengan perpanjangan masa jabatan hakim hingga 15 tahun?
Sebenarnya, masa jabatan hakim 15 tahun atau bahkan 20 tahun bisa saja kita terima asalkan disertai mekanisme pengawasan dan evaluasi yang ketat. Ini kan enggak ada. Cuma jumlah tahunnya yang bertambah, sedangkan sistem pengawasannya tidak diperkuat.
Dalam merevisi undang-undang ini, DPR merujuk pada hasil kajian MK?
Inisiatifnya DPR. Apakah MK ikut menggodok? Iya. Mereka diundang dan ada utusan dari MK yang ikut membahas. Jadi memang MK diuntungkan juga, sih. Justru MK di sini enggak dirugikan, tapi publik yang dirugikan karena memiliki hakim-hakim yang tidak memiliki sistem pengawasan yang baik, tapi memiliki jangka waktu menjabat yang lama.
Apa konsekuensi revisi ini bagi hukum tata negara dan pemenuhan hak konstitusional warga negara?
MK dalam tata negara dan demokrasi itu elemen penting karena dia itu cara kita untuk mengecek dan mengawasi kinerja DPR dan pemerintah. Dengan adanya UU ini, hakim-hakim di MK akan menduduki masa jabatan yang lama tapi tanpa pengawasan, sehingga kekhawatiran saya adalah lembaga ini akan berkurang kredibilitasnya. Padahal MK penjaga demokrasi kita. Selain itu, akan mengurangi kredibilitasnya sebagai penegak hukum. Ada kecenderungan putusannya tidak akan tajam untuk mengoreksi kesalahan yang mungkin dilakukan DPR dan pemerintah dalam membentuk undang-undang.
Secara umum, bagaimana Anda menilai kredibilitas putusan MK selama ini?
Secara umum cukup kredibel karena mereka wajib menuliskan argumentasi pertimbangan hukum. Kalaupun ada yang diperdebatkan, jelas mana yang bisa kita perdebatkan. Sejauh ini banyak putusan yang baik. Yang tidak baik bisa dikritik. Masalahnya, ke depan, saya khawatir yang tidak baik akan lebih banyak.
Setelah revisi ini, undang-undang apa saja yang berpotensi digugat ke MK?
Menurut saya cukup banyak sih, karena yang bisa mengajukan kan siapa saja. Undang-Undang Cipta Kerja kalau lolos pasti akan diajukan uji materi karena penolakannya yang sangat luas. Lalu UU Minerba juga bermasalah. Para politikus juga kalau berkepentingan bisa mengajukan uji materi. Jadi, banyak putusan MK yang punya dampak langsung pada aktor politik, sehingga mereka mencoba menjinakkan MK agar lebih friendly dengan DPR.
Apa yang bisa dilakukan untuk membatalkan revisi UU MK?
Sebenarnya bisa menggunakan legislative review, meminta DPR untuk mengubah, atau judicial review. Tapi saat ini sama-sama sulit karena judicial review pun yang menguji juga MK. Jadi ada konflik kepentingan. Karena itu, harus ada gerakan untuk mendorong DPR dan Presiden untuk mengubah lagi UU MK. Itu butuh gerakan yang luar biasa besar. Tidak cukup dua bulan. Mungkin perlu lima atau tujuh tahun lagi untuk mengubah undang-undang itu.
Mungkinkah mendorong Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang?
Di atas kertas bisa. Tapi kan perpu ada syarat-syaratnya. Seperti kalau urgensinya tinggi, tapi tidak ada yang mengatur. Saya bayangkan ada di posisi Presiden. Dia tidak punya kepentingan sama sekali karena yang dipersoalkan hanya masa jabatan hakim. Jadi buat Presiden enggak ada keuntungan politik untuk mengeluarkan perpu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo