Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semuanya bermula pada tiga dekade lalu di Hapcheon, sebuah wilayah di Provinsi Gyeogsangnam. Di sana, hiduplah Lee Hoo-su, petani tembakau yang telah penat dililit kemiskinan. Bersama istri dan kedua anaknya, Lee hidup amat berkekurangan. ”Sungguh sulit menghidupi keluarga di masa itu. Pendapatan saya amat kecil,” kata Lee kepada Tempo akhir Juni lalu.
Impitan ekonomi membuat dia banting setir. Lee memboyong keluarganya meninggalkan kampung halaman menuju Pulau Geoje pada Januari 1981. Sebagian besar generasi muda Korea di zaman itu tersihir oleh industrialisasi. Begitu pula Lee. Di Geoje—184 kilometer dari Hapcheon—menghamparlah dua pabrikan kapal dunia, Samsung Heavy Industries dan Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering (DSME). Di situ, Lee mencoba peruntungannya.
Nasibnya mujur. Dia diterima sebagai tukang las di DSME—bekas anak perusahaan Daewoo Group. Pendapatannya saat itu 3 juta won atau sekitar Rp 30 juta per tahun. Belakangan, ketika industri kapal Korea berkibar dengan merajai pasar dunia, pria itu bak mendapat durian runtuh. Fasilitas dan gajinya turut melejit. Kehidupan ekonominya stabil.
Bahkan badai ekonomi yang mengempaskan Korea sepuluh tahun lalu tidak mengempiskan isi dompetnya. ”Saya sadar ada krisis ekonomi,” katanya, ”tapi saya tidak merasakan apa-apa.” Saat itu, gaji Lee sudah bertengger di angka 30 juta won per tahun. Dia tidak pernah mengalami penundaan gaji walau seluruh semenanjung tengah babak-belur dihajar krisis.
Lee hanyalah satu contoh betapa ekonomi Geoje tetap menjulang di tengah masa ”pailit nasional”. Menurut Chu Jeong-hwa, Manajer Kamar Dagang dan Industri Korea, hampir seluruh masyarakat Geoje menerima berkah dari kehadiran industri kapal. Ini tecermin dari total pekerja Samsung Heavy Industries dan DSME yang berjumlah 50 ribu. Gaji mereka bergerak antara 4 juta dan 6 juta won per bulan. Bila jumlah pekerja ditotal dengan semua anggota keluarganya, masyarakat yang bergantung pada industri kapal mencapai 153 ribu penduduk. ”Itu sama dengan 76,8 persen total populasi Geoje,” katanya.
Jumlah itu belum termasuk 30 ribu penduduk yang bekerja di jasa perbaikan, pelayanan kesehatan, kebersihan, dan penyedia makanan yang berhubungan dengan industri kapal. Alhasil, 90 persen penduduk Geoje bergantung, baik langsung maupun tidak langsung, pada industri kapal. Itu sebabnya Kim Jong-guk, Manajer Shipyard Support Division di Geoje City Hall, mengatakan 90 persen kegiatan ekonomi di Geoje digerakkan oleh bisnis yang dijalankan Samsung Heavy Industries dan DSME.
Sepuluh tahun sudah lewat sejak krisis ekonomi melanda Korea. Lee kini sudah 56 tahun. Kehidupannya makin mapan. Bertugas di bagian pengadaan bahan baku kapal, dia mengantongi gaji 60 juta won per tahun. Dia menghabiskan sekitar 18 juta won untuk biaya hidup setahun. Sebagian besar gaji dia curahkan untuk asuransi dan tabungan hari tua. ”Saya tidak pernah berpikir bagaimana harus mengejar kesejahteraan,” katanya.
Bersama Jeong Bong-nam, istrinya, ia menempati rumah sederhana yang dilengkapi taman kecil di kawasan Yeonchoo, Geoje. Sesekali ia berkeliling dengan mobil Daewoo Leganza tahun 2000 miliknya. ”Saya bahagia di sini,” ujar Lee.
Kebahagiaan pria itu bertambah lengkap karena semua anggota keluarganya bekerja di industri yang sama. Istrinya ada di bagian kebersihan DSME. Putranya, Lee Jung-chul, 31 tahun, adalah deputi manajer di bagian pembuatan kontrak dengan subkontraktor. Anak bungsunya, Lee Myeong-cheol, 29 tahun, bertugas merawat mesin-mesin. ”Industri ini memberikan kesempatan buat kami untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan yang lebih baik,” kata Jung, alumnus Universitas Ajou, Suwon, jurusan ekonomi dan bisnis.
Mari kita lihat keluarga lain yang turut mengecap berkah dari industri kapal Geoje. Jung Young-hee hidup makmur pada usia 35 tahun berkat gaji suaminya di Samsung Heavy Industries. Tiga belas tahun bekerja sebagai final test driver kapal, Jung Byeong-su, suami Young, menerima gaji 56 juta won per tahun. ”Itu gaji kelas menengah,” ujar Nyonya Jung sambil tersenyum kepada Tempo. Dari penghasilan itu, keluarganya bisa membeli mobil Hyundai Santa Fee seharga 30 juta won. Sisanya sebagian besar ditabung untuk dana pendidikan dua anaknya.
SEJARAH industri kapal di Pulau Geoje dimulai pada 1973. Bermula dari Teluk Okpo, tempat pabrikan DSME berada, industri itu tambah menyedot perhatian setelah Samsung Heavy Industries (SHI) berdiri di Kota Gehyeon. Kehadiran dua perusahaan itu membuat penduduk luar Geoje berbondong-bondong mengadu nasib di pulau terbesar kedua di Korea itu.
Pulau yang pernah dipakai Jenderal Douglas MacArthur pada 1950-1953 sebagai kamp tahanan perang itu pun mulai berubah. Jumlah penduduknya terus bertambah, dari 112 ribu jiwa pada 1970 menjadi 204 ribu pada 2006. Jumlah mobil, yang semula hanya 65 unit, kini telah mencapai 67 ribu unit. Nelayan dan petani, yang semula mendominasi Geoje, sekarang hanya tersisa lima persen dari total populasi.
Wajah pulau itu pun berubah drastis. Lahan-lahan pertanian beralih menjadi blok-blok apartemen, pertokoan, dan fasilitas olahraga. Pabrik DSME menempati area seluas 4,2 juta meter persegi (setara dengan 600 lapangan sepak bola). Adapun SHI menempati area seluas 3,4 juta meter persegi.
Meski luas pabriknya lebih kecil, SHI, yang sebelumnya menjadi perusahaan kapal nomor tiga di dunia—dari sisi penjualan dan laba—berhasil menyalip DSME. Dua tahun sebelumnya, DSME masih memimpin. Singgasana perusahaan kapal masih digenggam Hyundai Heavy Industries, yang berpusat di Ulsan, dengan luas area pabrik 7,2 juta meter persegi.
Gabungan DSME dan SHI, menurut Kim Jong-guk, mampu memproduksi 110-120 kapal ukuran besar setiap tahun. Angka itu setara dengan 40 persen ekspor kapal Korea. Ekspor kapal itu sedikitnya mengalirkan fulus US$ 10 miliar ke Pulau Geoje per tahun. Prestasi lainnya, SHI dan DSME tahun lalu mengantongi kontrak pembuatan kapal dengan nilai US$ 23 miliar (Rp 207 triliun).
Geliat industri kapal itu menggenjot pertumbuhan ekonomi Geoje, yang rata-rata menembus 7 persen (mengalahkan pertumbuhan ekonomi Korea, yang hanya 4,8 persen). Sedangkan produk domestik bruto Geoje tahun lalu melewati US$ 5,7 miliar, dengan pendapatan per kapita US$ 28 ribu. Tahun ini pendapatan per kapitanya ditaksir melewati US$ 31 ribu—hampir 20 kali pendapatan per kapita penduduk Indonesia. Perolehan itu juga menyalip pendapatan per kapita penduduk seluruh Korea, yang besarnya US$ 25 ribu.
Dengan semua pencapaian tadi, hampir seluruh masyarakat Geoje adem-ayem saat krisis ekonomi 1997 menerjang. Tatkala nilai tukar won tergerus dolar, Geoje justru menambang dolar berkat ekspor kapal, yang 94 persen bahan bakunya komponen lokal. ”Industri kapal menyelamatkan kami,” kata June Je-jong, anggota staf di Shipyard Support Division Geoje City Hall. Gara-gara industri kapal, pendapatan per kapita masyarakat Geoje pada 1998 menembus US$ 18 ribu. Penghasilan ini membuat kenaikan harga bahan pokok tak ada artinya.
Kalaupun ada yang merasa terkena krisis, hanya segelintir nelayan dan petani. Itu pun tidak membuat mereka pontang-panting. ”Saat itu kami bisa hidup dari ikan hasil tangkapan dan bercocok tanam,” kata seorang nelayan di Teluk Jangseungpo.
Alhasil, krisis ekonomi besar yang merontokkan Asia pada 1997 seolah tak mampir ke Pulau Geoje.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo