Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kuartet Lotus Punya Cerita

Perempuan Punya Cerita menjadi film penutup Jakarta International Film Festival tahun ini. Empat sutradara perempuan bercerita tentang nasib perempuan.

10 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NUN jauh di seberang lautan. Sumantri menghabiskan waktunya untuk melayani kesehatan perempuan di pulau terpencil itu dan melupakan kesehatan dirinya. Perhatian Sumantri (Rieke Dyah Pitaloka) terutama dicurahkan pada tetangganya seorang remaja cacat mental, Wulan (Rachel Maryam dengan bagus). "Kamu jangan memperhatikan Wulan terus, tapi juga kesehatanmu. Kamu sudah stadium tiga," kata Rokim (Arswendy Nasution), sang suami.

Tapi Sumantri, bidan yang sedang dihujat sekampung karena melakukan aborsi (yang pasti akan meninggal jika tetap memelihara janinnya), tetap merawat gadis cacat mental kerabat dari Mak Tua dan melindungi Wulan dari gangguan sekelompok remaja pria.

Namun perlindungan itu akhirnya terkoyak. Pada sebuah malam, Wulan diculik dan diperkosa oleh para lelaki itu. Sekejap saja peristiwa itu terjadi, tapi bagi seorang perempuan mana pun kejadian pada malam jahanam itu adalah bencana yang melukai jiwanya seumur hidup.

Inilah bagian pertama dari tiga kisah perempuan lainnya yang dikemas dalam film bertajuk Perempuan Punya Cerita. Keempat film pendek ini digarap empat sutradara, masing-masing Cerita Laut (Fatimah Tobing), Cerita Yogya (Upi), Cerita Cibinong (Nia Di Nata), dan Cerita Jakarta (Lasya F. Susatyo), yang ditulis oleh Vivian Idris dan Melissa Karim.

Dengan menggunakan format film digital (maklum, bujet untuk masing-masing film hanya Rp 300 juta), mereka mengemas cerita dalam durasi sekitar 25 menit. Dalam waktu yang singkat itulah, para sutradara ini bekerja keras menyampaikan persoalan perempuan dengan berbagai masalahnya.

Film keroyokan seperti ini bukanlah yang pertama dibuat di negeri ini. Hampir sepuluh tahun silam, empat sutradara, yakni Riri Riza, Mira Lesmana, Nan T. Achnas, dan Rizal Mantovani, membuat film keroyokan dengan tajuk Kuldesak.

Atau yang paling gres, setahun silam, ketika empat sutradara perempuan, disponsori sebuah produk sabun kecantikan, menggarap empat film pendek. Kumpulan film itu juga mengambil tema perempuan. Intinya juga kekuatan dalam keayuan wajahnya. Pemainnya adalah mereka yang menjadi bintang iklan sabun terkenal itu. Kebetulan Nia Di Nata terlibat sebagai salah satu produser film pendek ini.

Tapi kini Nia Di Nata ingin berbicara dengan lantang. Dalam kelantangan suaranya, ada kepedihan. Tetapi dia memilih tidak meratap. Sebagai produser film ini, bukan saja para pemainnya yang tidak dibatasi aturan tertentu, para sutradara diperkenankan melakukan eksplorasi sebebas-bebasnya. "Tidak ada wanti-wanti apa pun, kok," kata Lasya F. Susatyo, yang menyutradarai segmen Cerita Jakarta. Intinya, menurut Lasya, kali ini film yang digarapnya lebih gelap. Mungkin, dengan kata lain, empat film ini berusaha memotret persoalan wanita lebih dalam.

Sesungguhnya tema keterpinggiran perempuan dalam film ini bukan sesuatu yang baru. Berbagai kisah yang tidak manis dalam kumpulan film ini muncul di media. Perempuan cacat mental yang diperkosa, perdagangan anak dan wanita, seks bebas di kalangan remaja, atau perempuan yang tertular HIV gara-gara kelakuan suaminya. Namun yang membedakan film ini adalah kesengajaannya untuk berbicara dengan keras dengan tekanan yang "ekstrem". "Ektsrem" dalam arti keempat sineas menggambarkan dengan terbuka, tanpa sungkan, tanpa basa-basi.

Segmen Cerita Pulau yang disodorkan Fatimah Tobing, seorang dosen antropologi di Amerika Serikat, adalah dilema aborsi. Secara medis, melakukan aborsi bisa dilakukan demi menyelamatkan hidup sang calon ibu. Namun, bagi masyarakat dan (ternyata) juga aparat hukum, adalah persoalan moral. Di lain pihak, laporan Sumantri kepada polisi tentang pemerkosaan terhadap Wulan ditanggapi dengan dingin.

Aborsi, lagi-lagi, menjadi persoalan yang melulu milik perempuan. Dalam segmen Cerita Yogya, garapan Upi ini mengurai kehidupan seks bebas di kalangan remaja. Dengan lugas Upi mengumbar, fenomena ini tidak lagi dilakukan remaja yang berasal dari keluarga berantakan, kurang kasih sayang, tapi juga dilakukan remaja dari kalangan keluarga baik-baik. Bagi mereka, seks sudah menjadi kegiatan rekreasi yang mengasyikkan.

Dialog tentang seksualitas, keperawanan, kenikmatan, dan cara untuk menggugurkan kandungan menjadi kosa kata yang meluncur di antara remaja. Mengerikan? Menjijikkan? Itulah efek yang dinanti, karena segmen ini dibuat berdasarkan penelitian para sineasnya.

Dalam segmen ini, tersebutlah Safina (Karina Larasati), yang menjadi bagian dari remaja putri yang berusaha menjaga keperawanan dengan dalih dia hanya memberikannya kepada pria terbaik. Sedangkan kawan Safina sedang gelisah karena ia hamil setelah "digarap" pacarnya, Bagas, dan ketiga kawannya. Terpaksa kawin? Yeah. Caranya, Bagas cs membuat undian di antara empat remaja jahanam itu siapa yang terpaksa mengawini dia.

Nia Di Nata, produser proyek ini, tampil dengan tema tentang trafficking alias penjualan orang. Mengambil setting cerita di daerah di Cibinong, Jawa Barat, ia berusaha menampilkan ceritanya dengan gaya lebih membumi. Dialog di antara para perempuan dibuat dalam bahasa Sunda. Nia telah bekerja keras membangun konflik di antara masyarakat kelas bawah. Segmen ini diawali dengan anak Esi (Shanty) yang masih di sekolah dasar dicabuli oleh kekasih Esi, Narto. Esi kabur ke rumah Cicih, seorang penyanyi dangdut (diperankan oleh Sarah Sechan yang meledak!), yang ingin berkarier di Jakarta. Ambisi itu menyebabkan Cicih menghalalkan segala cara. Atas bujuk rayu Kang Mansur (Otto Satrya Jauhari) yang sebetulnya lebih tertarik pada si kecil Maesaroh, Cicih menculik Maesaroh ke Jakarta, dengan harapan dia juga akan diangkat menjadi penyanyi di kota besar. Ternyata si kecil dikirim ke Taiwan untuk dijual ke tuan-tuan yang "lebih seneng sama yang masih rapet". Jeritan Esi yang kehilangan anak itu belum lagi selesai, kita kemudian masuk ke segmen penderitaan berikutnya:

Cerita Jakarta. Inilah garapan sutradara Lasya Fauzia yang menampilkan kisah perempuan yang kurang beruntung di kalangan atas. Laksmi (Susan Bachtiar), seorang perempuan dari etnis Tionghoa, ditinggal mati suaminya, Reno, seorang pecandu narkotik yang tewas di sebuah kamar mandi di tempat hiburan. Reno ternyata juga meninggalkan setumpuk utang, HIV di dalam darah istrinya, dan berbagai penderitaan lainnya. Si kecil Belinda, anak Laksmi dan Reno yang masih berusia tujuh tahun, menjadi rebutan Laksmi dan mertuanya.

Di antara perempuan yang ada di film ini, Laksmi adalah yang paling sial. Dia sebatang kara dan tak punya sanak saudara. Dia pun menggelandang dari hotel murahan hingga akhirnya menetap di sebuah kamar kos. Belum lagi kondisi tubuhnya yang terus menurun. Dia mulai diserang tuberkulosis yang kerap diderita para pengidap AIDS.

Jika terasa bahwa lelaki dalam keempat film ini jahanam dan lebih mirip binatang tanpa perasaan (kecuali satu dua sosok, seperti Rokim dalam Cerita Pulau), itu nampaknya sebuah kesengajaan. Hidup sudah terlalu gelap bagi kaum perempuan di daerah pinggiran. Tertimpa soal kelas, finansial, dan rendahnya pendidikan, ditambah lagi soal gender. Kuartet Nia, Fatima, Lasya, dan Upi memang "sengaja" membiarkan hati kita robek, tercabik, tetapi bukan kemudian meratap dengan mengenaskan. Film ini memberikan sebuah catatan penting tentang sebuah sikap: bahwa problem perempuan masih ada, masih kental, dan masih diremehkan karena persoalan dunia lainnya yang selalu dianggap sebagai prioritas. Film dengan judul berbahasa Inggris Chants of Lotus ini, menurut Nia Di Nata, mengikuti filosofi hidup bunga teratai yang tumbuh dengan keanggunan dan harga diri di tengah lumpur. Kepada Kuartet Lotus: Selamat!

Irfan Budiman, Leila S. Chudori, Anton Septian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus