Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Pengusutan terhadap kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat perlahan menuju titik terang. Kemarin, tim khusus Markas Besar Kepolisian RI menyatakan telah menemukan alat penyimpan data alias dekoder CCTV di lingkungan rumah Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, tempat Brigadir Yosua meninggal pada Jumat, 8 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Polri, Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo, menyatakan laboratorium forensik sedang menguji dekoder CCTV yang sebelumnya dipasang di RT 05 RW 01 Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, tersebut. “CCTV ini sedang didalami oleh tim khusus yang nanti akan dibuka apabila seluruh rangkaian proses penyidikan sudah selesai,” kata Dedi, Kamis, 21 Juli 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dedi enggan memaparkan detail dekoder CCTV yang dimaksud. Dia juga menolak menjelaskan apakah tim khusus juga memeriksa ulang CCTV di rumah Ferdy Sambo, yang sebelumnya disebut tidak berfungsi sejak dua pekan sebelum insiden tembak-menembak antara Brigadir Yosua dan Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu (Bharada E).
Direktur Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Brigadir Jenderal Andi Rian Djajadi, mengatakan tim khusus mendapat rekaman kamera pengawas itu dari beberapa sumber yang tak dapat disebutkan asalnya. “Hal ini karena ada beberapa hal yang harus disinkronkan, yakni kalibrasi waktu,” kata Andi.
Kalibrasi yang ia maksud adalah pencocokan rekaman di beberapa titik lokasi CCTV terpasang untuk dirangkai menjadi satu rangkaian peristiwa. Dia mencontohkan, ada rekaman CCTV di satu titik dengan jumlah tiga kamera, dengan keterangan waktu yang berbeda-beda. Perbedaan ini yang harus disinkronkan sebagai bagian dari proses verifikasi barang bukti.
Sebelumnya, masalah kamera pengawas di sekitar tempat kejadian perkara ini menjadi salah satu hal yang membuat kematian Brigadir Yosua dianggap penuh kejanggalan. Polisi sempat mengumumkan tak mengantongi rekaman gambar dengan dalih CCTV di rumah Ferdy Sambo rusak. Belakangan terungkap, beberapa orang yang diduga polisi juga mengganti dekoder CCTV di kompleks rumah Ferdy pada Sabtu, 9 Juli 2022, atau sehari setelah insiden.
Kasus ini juga dinilai ganjil lantaran polisi juga sempat dengan cepatnya menyimpulkan peristiwa yang melatarbelakangi kematian Yosua. Ketika kasus ini diumumkan pertama kali pada tiga hari setelah insiden, Senin, 11 Juli lalu, polisi menyatakan adu tembak dipicu oleh tindakan Brigadir Yosua yang hendak melecehkan Putri Candrawathi, istri Ferdy Sambo.
CCTV di dalam kediaman Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo, TKP kasus polisi tembak polisi yang menewaskan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J di rumah dinas Ferdy Sambo di kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta, 15 Juli 2022. TEMPO/Subekti.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, berharap tim khusus Mabes Polri melakukan berbagai rangkaian pemeriksaan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pengujian perlu dilakukan terhadap tempat kejadian perkara, proyektil peluru dan senjata, serta bukti-bukti lain yang berhubungan dengan kematian Yosua. “Termasuk menguji kenapa penanganan begitu cepat, bahkan melarang keluarga membuka peti jenazah,” kata Fickar.
Menurut Fickar, autopsi terhadap jenazah Brigadir Yosua dan pemeriksaan saksi diperlukan untuk mengetahui cara dan penyebab kematian pria berusia 28 tahun tersebut. Semua rangkaian ini merupakan proses penyidikan yang diatur dalam Peraturan Kepala Polri Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana.
Kuasa hukum keluarga Brigadir Yosua, Kamaruddin Simanjuntak, mengatakan, sejak awal timnya telah memprotes kejanggalan pengambilan dekoder CCTV yang tak terang pelakunya. “Tapi sampai hari ini, rekaman CCTV tersebut belum diperlihatkan kepada kami,” kata Kamaruddin.
Kamaruddin berharap tim khusus pun menyita rekaman CCTV di rumah Ferdy Sambo, juga rekaman kamera pengawas lain di setiap rumah di sekitar tempat kejadian perkara. Langkah ini, kata dia, amat penting untuk memperkaya barang bukti dan menerangkan insiden kematian Yosua. Dia hakulyakin rekaman CCTV bisa memberikan petunjuk adanya dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua.
Kamaruddin Simanjuntak memperlihatkan foto Brigadir Yoshua Hutabarat saat membuat pelaporan di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, 18 Juli 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Choirul Anam, mengatakan lembaganya juga turut menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang mengakibatkan kematian Brigadir Yosua. Kini Komnas HAM tengah mempelajari karakter luka yang ada pada jenazah korban. “Apakah ini akibat senjata api atau senjata tajam. Apakah ini terjadi penyiksaan atau tidak,” tutur Choirul.
Dia berharap analisis tersebut bakal rampung dalam sepekan ke depan, termasuk detail kronologi waktu kematian Yosua. Komnas HAM berniat menyusun rangkaian peristiwa sejak Brigadir Yosua dikabarkan dalam perjalanan dari Magelang ke Jakarta pada pukul 10.00 WIB hingga disebut meninggal pada pukul 17.00, Jumat, 8 Juli 2022. Choirul juga bakal menyandingkan kronologi tersebut dengan berbagai bukti yang ditemukan tim Komnas HAM.
Kemarin, Presiden Joko Widodo juga turut mengomentari perkembangan penanganan kasus ini. Dia menilai penemuan rekaman CCTV itu merupakan bagian dari upaya mengusut tuntas skandal kematian Brigadir Yosua.
Jokowi menyatakan telah memerintahkan supaya kasus ini dibuka secara transparan. Pengusutan juga diharapkan dapat diselesaikan secara tuntas untuk mengungkap dugaan pembunuhan terhadap Brigadir Yosua. “Saya sudah sampaikan, usut tuntas. Buka apa adanya, jangan ada yang ditutup-tutupi. Transparan!” kata Jokowi kepada wartawan di Nusa Tenggara Timur, Kamis, 21 Juli 2022.
Bagi Jokowi, pengungkapan kematian Brigadir Yosua merupakan cara untuk menjaga kepercayaan publik kepada Kepolisian RI dalam menangani perkara tindak pidana. Jika kasus diungkap secara transparan, kata dia, masyarakat tidak akan ragu terhadap integritas dan kinerja kepolisian. Jika tidak, kepercayaan publik terhadap Polri pasti menurun.
AVIT HIDAYAT | M. JULNIS FIRMANSYAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo