Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Lantaran Beda Jenis Kelamin

Upaya melahirkan BP Migas sudah dimulai Pada 1995. Fungsi pencari laba menjadi pilihan.

18 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KUNTORO Mangkusubroto bertahan dari desakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Menteri Pertambangan dan Energi di kabinet Presiden B.J. Habibie ini memilih membatalkan usul undang-undang ketimbang harus menyerah pada permintaan politikus Senayan. Saat itu 1999. Indonesia baru memasuki era reformasi.

Sang Presiden mendukung. "Pemerintah tidak jadi mengajukan Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas ke DPR," kata Kardaya Warnika kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Kuntoro, menurut dia, menolak keinginan DPR agar pemilihan pimpinan BP Migas melibatkan parlemen. Ia berkeras, badan yang akan mengambil sebagian kewenangan Pertamina dalam mengawasi kontrak kerja sama minyak dan gas dengan swasta itu tak terkooptasi kepentingan politik.

Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) 2005-2008 ini menceritakan upaya pemerintah saat itu mengajukan rancangan undang-undang yang antara lain mengatur ihwal BP Migas. Kardaya tahu betul liku-liku pembahasan karena posisinya sebagai ketua tim perumus rancangan undang-undang dan Kepala Departemen Tekno-Ekonomi Direktorat Jenderal Migas Departemen Pertambangan dan Energi pada 1994-1999.

Rancangan itu penyempurnaan dari draf awal yang pernah "diaborsi" pemerintah pada 1995. "Direktur Utama Pertamina Faisal Abda’oe menolak draf itu, dan Pak Harto ikutan menolak," ucapnya. Faisal tak setuju karena badan baru akan mengatur penjualan bahan bakar minyak yang waktu itu ditangani perusahaannya. Terobosan baru rancangan itu adalah memisahkan kegiatan hulu dan hilir.

Mentahnya usul Rancangan Undang-Undang Migas pada era Kuntoro membuat Pertamina tetap berfungsi dominan. Perusahaan minyak pelat merah itu menjadi regulator dan kontraktor sekaligus pengawas pengelolaan minyak dan gas alias mengurusi kegiatan dari hulu sampai hilir.

Pembahasan dengan DPR baru mulus pada 2001, pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri. "Tapi DPR jadinya terlibat dalam pemilihan pimpinan BP Migas," ujar Kardaya. Kala itu pria asal Cirebon ini masih ketua tim perumus dan staf ahli bidang ekonomi dan keuangan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

Dalam pembahasan di DPR disepakati sejumlah rambu: BP Migas tak di bawah pemerintah dan Pertamina, serta bukan lembaga yang mencari keuntungan. Bayang-bayang pemerintah dihindari karena kental kesan tak profesional. Sedangkan Pertamina dipandang penuh beban berat dan sulit dikontrol. Apalagi pada saat itu produksi minyak Pertamina sedang anjlok. "Nanti Pertamina malah jadi mandor dan lupa eksplorasi," Kardaya menambahkan.

Di tengah pencarian bentuk lembaga baru itu, muncul usul dari akademikus Universitas Indonesia berupa badan hukum milik negara. Badan ini bersifat nirlaba dan bertanggung jawab kepada presiden. "BHMN justru lebih dekat ke negara ketimbang BUMN," kata Kardaya. Terbitlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 tentang BP Migas.

Belakangan "jenis kelamin" BP Migas itu menuai persoalan. Selasa siang pekan lalu, Mahkamah Konstitusi membubarkan BP Migas, yang dianggap melanggar konstitusi. BHMN divonis tak bisa melaksanakan fungsi penguasaan sumber daya alam demi kemakmuran rakyat sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945.

BP Migas dinilai meneken kontrak eksplorasi dengan swasta tanpa bisa mengambil keuntungan finansial. Justru swasta yang bergelimang uang dari kekayaan alam Indonesia. "Founding father Moh. Hatta menyatakan BUMN bisa melaksanakan fungsi itu," kata pengamat hukum minyak dan gas, Ryad Chairil, Rabu pekan lalu.

Pada 2001, menurut Ryad, sudah muncul debat kencang tentang BP Migas. Ia mengusulkan fungsi itu ditangani Pertamina setelah dilakukan pembenahan internal dan menyerahkan fungsi regulator kepada pemerintah. Tapi akhirnya yang dipilih adalah BHMN. Dalam prakteknya, BP Migas menangani kegiatan hulu tapi isi kontrak dengan swasta meliputi hulu sampai hilir. "Ini penyebab kebocoran uang negara," katanya.

Jobpie Sugiharto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus