Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bersama warga di sekitar PLTU, Lasma Natalia menggugat pengadilan.
Lasma Natalia pernah memenangi kasus gugatan warga Mekarsari.
Ia pernah menangis di pengadilan.
SEJAUH mata memandang, Lasma Natalia Hillo Panjaitan melihat dedaunan tak lagi hijau. Di Desa Mekarsari, Kecamatan Patrol, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, debu menyelimuti pepohonan dan tanah. Inilah pengalaman pertama Lasma saat pertama bertandang ke wilayah itu lima tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Advokat publik Lembaga Bantuan Hukum Bandung itu memperhatikan sepatu, tas, dan tangannya juga berubah kelabu. “Duduk sebentar di luar, pulang-pulang bisa debuan,” kata Lasma saat ditemui di Bandung, Sabtu, 18 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat mengajak Lasma ke Desa Mekarsari untuk mengadvokasi penduduk. Mereka berencana menuntut pembatalan pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Indramayu II yang berkapasitas 2 x 1.000 megawatt. Pada 2015, Presiden Joko Widodo mencanangkan pembangunan pembangkit listrik sebesar 35 ribu megawatt di berbagai penjuru Tanah Air. PLTU Indramayu II merupakan bagian dari rencana tersebut.
Warga Desa Mekarsari menolak pembangunan itu karena sudah merasakan dampak dari PLTU Indramayu I di Desa Sumuradem, tetangga mereka, yang beroperasi sejak 2011. Penduduk mengeluhkan polusi pembakaran batu bara dari PLTU berkapasitas 3 x 330 megawatt itu masuk hingga ke rumah mereka. Lahan garapan pun menipis akibat tergusur proyek tersebut. “Pertanian juga merosot jauh akibat polusi. Pohon kelapa habis,” ujar Rodi, warga Mekarsari.
Bermodalkan pengalaman mengadvokasi kasus lingkungan dan agrarian di daerah lain, Lasma memutuskan membantu warga Mekarsari. Pada 2015, ia mendampingi mereka menggugat penggunaan lahan untuk proyek tersebut. Bersama penduduk desa, ia menyewa angkutan umum menuju Pengadilan Negeri Indramayu.
Dalam perjalanan selama dua jam itu, ia mendengar cerita seorang perempuan yang terpaksa melepas tanahnya yang berada di wilayah rancangan proyek PLTU Indramayu II. Padahal tanah itu dibelinya dari hasil menabung saat menjadi buruh migran, dengan harapan bisa memberi penghasilan untuk dia dan keluarganya. Mencoba melawan sendirian, perempuan itu akhirnya menyerah.
Namun gugatan pengalihan lahan kandas. Tak patah semangat, Lasma dan koleganya di LBH Bandung dan Walhi mengumpulkan informasi soal perizinan lingkungan serta analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) proyek. “Setelah kami periksa, ternyata ada kesalahan prosedural di amdal,” kata lulusan Universitas Padjadjaran tersebut. Lasma mengakui tak memiliki ilmu lingkungan. Namun dia dan penduduk desa mempelajari metode dan proses pembuatan amdal tersebut.
Menggunakan nama Jaringan Tanpa Asap Batu Bara Indramayu (Jatayu), Lasma dan penduduk Mekarsari menggugat amdal itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung. Pada 6 Desember 2017, majelis hakim memutuskan pembangunan PLTU Indramayu II cacat prosedur dan substansi. Hakim menilai terjadi kesalahan penerbitan izin lingkungan yang tak didahului surat keputusan kelayakan lingkungan hidup. Izin itu pun diterbitkan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat yang terkena dampak.
Warga Desa Mekarsari bergembira menyambut putusan tersebut. Pada 14 Desember 2017, mereka memasang bendera Merah Putih dan spanduk penolakan PLTU. Namun tiga hari kemudian, pada tengah malam, polisi bersenjata laras panjang mendatangi desa itu dan menangkap tiga orang dengan tuduhan memasang bendera secara terbalik. “Tuduhan kepada mereka tak masuk akal,” ucap Lasma.
Ia pun ikut mendampingi tiga penduduk itu di persidangan. Lasma mengajukan saksi yang melihat ketiga terdakwa memasang bendera dengan benar. Namun jaksa dan hakim malah mencecar sang saksi. Mereka bahkan menyampaikan ada ancaman pidana jika memberikan keterangan palsu. “Aku merasa, kok, saksi digituin, sih. Dia jujur tapi dicecar terus,” katanya. Saat itulah Lasma menangis melihat ketidakadilan tersebut.
Ketidakadilan juga dirasakan warga Mekarsari manakala Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jawa Barat menerima banding yang diajukan PT PLN (Persero) pada April 2018. Mahkamah Agung belakangan juga menguatkan putusan tersebut. Desember tahun itu, tiga warga Mekarsari divonis lima dan enam bulan penjara.
•••
TAK hanya mendampingi warga Mekarsari, Lasma dan teman-temannya juga mendampingi penduduk Desa Kanci Kulon, Cirebon, Jawa Barat. Mereka menuntut pembatalan proyek PLTU Cirebon II. Kondisi mereka mirip dengan warga Mekarsari. Sebelum pembangunan PLTU Cirebon II, warga Kanci Kulon ikut menerima dampak dari aktivitas PLTU Cirebon I. Pendapatan masyarakat menurun karena mereka kesulitan menangkap udang rebon. Petani pun kesulitan menghasilkan garam berkualitas.
Namun, di pengadilan, gugatan Lasma cs kandas. Tapi ia tak surut berjuang. Bersama Walhi, Lasma rutin berkunjung ke Desa Mekarsari dan Kunci Kulon setiap bulan. Selama kunjungan, mereka tetap mendidik dan mendampingi perlawanan masyarakat terhadap pembangunan PLTU.
Unjuk rasa warga Desa Mekarsari, Indramayu, di depan kantor Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat, Bandung, 3 April 2018. TEMPO/Prima Mulia
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Meiki W. Paendong mengatakan peran Lasma sangat penting. Ia terlibat langsung menyusun gugatan dan selalu mengikuti persidangan. Upaya ini berhasil menjaga asa perjuangan masyarakat. “Ia berhubungan langsung dengan warga, memberikan pengarahan menjelang sidang, serta memberikan edukasi hukum,” ujar Meiki.
Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat Wahyudin Iwang mengatakan tak mudah menjaga semangat masyarakat untuk terus melawan kehadiran PLTU. Kadang kala, kata Iwang, semangat itu mudah menurun seiring dengan kekalahan di pengadilan. Begitu pula rentetan kriminalisasi kerap mengendurkan perlawanan.
Menurut Iwan, Lasma dan para pendamping desa yang terkena dampak kerap menggelar diskusi untuk menjaga semangat. Lasma, Iwan melanjutkan, juga memberikan pendidikan untuk para perempuan di Desa Mekarsari dan Kanci Kulon. Ketua Jatayu yang juga warga Mekarsari, Rodi, mengatakan pendampingan oleh Lasma dan timnya membantu penduduk memahami berbagai masalah lingkungan. Termasuk memahami persoalan hukum yang timbul akibat masalah lingkungan.
Wabah pandemi corona tengah mempersempit perjuangan Jatayu bersama Walhi dan LBH Bandung. Namun Jatayu tetap rutin menggelar doa bersama dan diskusi setiap malam Jumat. Lasma dan teman-temannya sesekali ikut berdiskusi meski hanya lewat telepon. Sebab, kata Rodi, perjuangan masih panjang.
Rodi bersyukur Lasma dan timnya tak henti mendampingi warga Mekarsari dalam lima tahun belakangan. Meski mereka kalah dan menjadi korban, semangat itu tak pernah pupus. “Setidaknya pernah ada kemenangan kecil yang memperlambat pembangunan PLTU,” ujar Rodi.
Lasma Natalia Hillo Panjaitan
Tempat dan tanggal lahir: Bukittinggi, Sumatera Barat, 24 Desember 1990
Pendidikan:
- S-1 Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
- S-2 Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (masih berlangsung)
Pekerjaan: pengacara publik di Lembaga Bantuan Hukum Bandung
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo