Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lemparan Bola Yusril Ihza

Masuknya urusan kumpul kebo dan delik pers dalam rancangan KUHP mengundang kontroversi. Pasal karet pun masih bercokol.

5 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH kabar yang menjadi kontroversi berhari-hari bisa meletik dari mana saja, bahkan dari mimbar masjid. Pun melambungnya rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hingga menyedot perhatian khalayak akhir-akhir ini. Awalnya Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra, hanya menyelipkan soal ini dalam khotbah Jumat di kantornya, dua pekan lalu. Intinya ia mengungkapkan: dalam rancangan tersebut juga diadopsi hukum Islam lewat pasal perzinaan.

Ditangkap oleh telinga seorang jurnalis, masalah itu ditanyakan lagi usai Jumatan. Kebetulan hari itu Yusril bersedia menerima beberapa wartawan, termasuk dari Koran Tempo, di ruang kerjanya. Saat itulah sang Menteri menjelaskan cukup lama soal rancangan KUHP dan pasal-pasal baru yang dimasukkan, antara lain adanya ancaman pidana bagi yang melakukan kumpul kebo dan tukang santet. "Rancangan ini memang dibuat dari berbagai sumber, hukum Belanda, konvensi internasional, dan juga hukum adat," kata Yusril.

Sengaja atau tidak, bola telah dilempar Yusril, yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang. Dari situ lantas muncul pro dan kontra mengenai pasal-pasal yang sensitif. Belakangan juga terungkap, pasal-pasal penghinaan warisan Belanda yang kerap disebut kalangan aktivis prodemokrasi sebagai pasal karet tetap dipertahankan dalam rancangan tersebut. Lalu terendus lagi, pasal-pasal yang bisa menjerat pers justru kian bertambah jumlahnya maupun bobot ancaman hukumannya dalam Rancangan Undang-Undang tentang KUHP itu. Dari sisi ini jangan heran jika Wakil Ketua Dewan Pers, R.H. Siregar, menilai rancangan tersebut sebagai kemunduran dibandingkan dengan KUHP bikinan Belanda.

Hanya tak ada orang yang menampik pendapat bahwa kita memang memerlukan KUHP baru. Cita-cita untuk membuat karya agung, sebuah KUHP buatan negeri sendiri, sudah sejak dulu dilontarkan para ahli hukum. Bahkan tim yang bertugas merancangnya telah dibentuk sejak 21 tahun silam pada era Menteri Kehakiman Ali Said.

Selama ini hukum pidana yang berlaku sekarang adalah "saduran" dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda untuk Hindia-Belanda. Jikapun ada revisi atau tambahan di sana-sini, itu bukanlah perubahan yang besar dan mendasar, tapi sekadar tambal sulam. Padahal zaman sudah jauh menggelinding. Berbagai jenis kejahatan pun muncul, seperti pembobolan kartu kredit lewat Internet. Itu sebabnya kebutuhan KUHP baru tak bisa ditawar. "Malu kita mengaku sebagai negara hukum, KUHP-nya belum diperbarui," kata Jimly Asshiddiqie, seorang ahli hukum tata negara yang kini menjadi Ketua Komisi Konstitusi.

Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia sebetulnya sudah menyelesaikan naskah rancangan KUHP pada 1992. Setahun kemudian draf finalnya sudah selesai. Namun naskah tersebut tetap saja teronggok di Departemen Kehakiman dan tak juga disetor ke Istana Negara untuk diteruskan ke parlemen. Padahal rancangan ini sudah dibahas antardepartemen. Barulah tiga tahun silam, naskah ini sempat dilempar lagi ke publik, tapi kemudian sepi.

Kenapa sekarang tiba-tiba menggelinding lagi? Rupanya urusan sosialisasi tersangkut masalah duit. "Sosialisasi tidak dilanjutkan pada tahun 2001 dan 2002 karena tidak ada dana," kata Abdul Gani Abdullah, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan. Nah, kebetulan tahun ini ada dana dari anggaran untuk sosialisasi rancangan KUHP. Toh, menurut Abdul Gani, pihaknya tidak punya target kapan rancangan ini mesti dibawa ke Presiden lalu DPR.

Bekas Menteri Kehakiman Muladi mengusulkan agar rancangan tersebut diserahkan ke DPR hasil Pemilu 2004. "Jika diberikan sekarang, tak akan cukup waktu untuk membahasnya, karena perdebatan tentang KUHP pasti memakan waktu lama," ujar ahli hukum yang menjadi ketua tim perancang KUHP ini.

Cukup logis. Belum dilempar ke parlemen saja, sekarang polemik mulai memanas. Sebab, beberapa soal dari rancangan KUHP tersebut memang dinilai kurang pas. Tengok saja pasal yang bisa menjerat pers. Dalam KUHP lama hanya 36 pasal, tapi sekarang ditambah enam pasal lagi. Itu sebabnya Direktur Eksekutif Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Kemerdekaan Pers, Hinca Panjaitan, meminta agar pasal-pasal tersebut dikeluarkan dari rancangan KUHP. Kalaupun hendak diatur, sebaiknya dimasukkan ke dalam UU Pokok Pers.

Hanya, di mata Barda Nawawi Arif, pernyataan Hinca terlalu berlebihan. Dalam pandangan guru besar hukum pidana Universitas Diponegoro ini, yang juga salah satu penyusun naskah tersebut, wajar jika pers dibatasi. "Kalau orang lain dibatasi, mengapa pers tidak?" kata Barda. Menurut dia, tidak ada salahnya soal-soal pers ini diatur dalam KUHP (generalis) dan UU Pokok Pers (spesialis).

Abdul Gani punya pandangan lain. Katanya, pasal-pasal tersebut bisa saja ditarik dari KUHP dan dimasukkan ke dalam UU Pokok Pers. Tentu saja, undang-undang yang dikeluarkan pada 1999 ini harus direvisi dulu. "Sudah ada presedennya, yakni ketika kita mengeluarkan UU Anti-Korupsi dari KUHP," katanya.

Perubahan lain yang lebih radikal, apalagi kalau bukan soal perzinaan. Dalam KUHP yang lama, seseorang bisa dijerat hukum jika diadukan karena melakukan perzinaan dengan seseorang yang sudah terikat dalam perkawinan. Kini, delik perzinaan bisa dikenakan kepada siapa saja, baik mereka yang sudah terikat perkawinan maupun yang tidak. Jadi, pidana susila juga akan dikenakan kepada mereka yang melakukan kumpul kebo.

Pelacuran? Juga tidak ada ampun. Dalam KUHP yang kini berlaku, hanya ada dua pasal yang mengatur soal pelacuran, tapi dalam naskah rancangan KUHP tersebut ada empat pasal. Dengan pasal yang ada ini, tempat-tempat prostitusi harus ditutup. Hotel yang selama ini dikenal sebagai hotel jam-jaman juga tak bisa lagi melakukan praktek yang sama. Perusahaan pengerah tenaga kerja ke luar negeri bisa dihukum jika ternyata menipu calon tenaga kerjanya dengan mempekerjakannya di tempat pelacuran. Pendek kata, peluang bisnis pelacuran benar-benar ditutup.

Begitu rapatnya pengaturan kejahatan susila ini memunculkan protes banyak kalangan. Tangan-tangan pemerintah kini dianggap masuk terlalu dalam ke ruang-ruang privat. Padahal tak mudah mengatur masalah ini. Sebut saja yang gampang: pelacuran. Tak akan mudah bagi pemerintah menghapus kejahatan yang sudah berlangsung ribuan tahun ini. Pengacara Gayus Lumbuun, misalnya, mengatakan bahwa masalah susila tak pernah dipersoalkan karena negara memang tak berhak mengatur soal tersebut. Namun, bagi banyak kalangan, rancangan KUHP dianggap lebih baik karena membatasi praktek prostitusi.

Salah satu penyusun naskah rancangan KUHP, Andi Hamzah, menceritakan bahwa silang pendapat mengenai berbagai soal yang menyangkut kejahatan susila bukan cuma terjadi sekarang. Bahkan anggota tim penyusun pun sudah berdebat tajam ketika mereka membuat rancangan tersebut mulai dari 1982 hingga 1992.

Salah satu penyusunnya, Barda Nawawi Arief, mengatakan bahwa pasal-pasal tersebut muncul karena kenyataan hidup di masyarakat memang menghendaki hal itu. Barda, yang bersama Muladi menyiapkan pasal-pasal kesusilaan ini, memberikan contoh banyak orang tua yang marah karena anaknya hamil di luar nikah tanpa bisa menyeret pelakunya ke penjara. Masyarakat juga sering tak bisa berbuat apa-apa ketika menjumpai praktek kumpul kebo. Tidak mengagetkan jika banyak terjadi main hakim di masyarakat. Pelaku perzinaan ditelanjangi dan diarak karena mereka tahu hukum tak bisa menjangkau kejahatan seperti itu. "Selain itu, moral religius kita memang menyatakan dengan tegas bahwa seks di luar nikah merupakan perbuatan tercela," kata Barda.

Pasal itu sebetulnya sudah ditentang oleh penyusun yang lain seperti Andi Hamzah dan J.E. Sahetapy. Andi, yang juga guru besar hukum pidana Universitas Trisakti, mengatakan bahwa satu aturan tidak bisa diterapkan di semua daerah. Dia menyebut soal kumpul kebo. Di Jawa, kumpul kebo jelas dilarang. Lihat saja bagaimana kehebohan terjadi pada 1980-an ketika sebuah penelitian kecil-kecilan seorang pelajar SMU menyimpulkan bahwa kumpul kebo banyak terjadi di Yogyakarta. Meskipun penelitian tersebut dianggap tidak sahih, toh banyak pihak yang kaget. Islam juga melarang praktek hubungan seks tanpa nikah ini.

Tapi, kata Andi, praktek kumpul kebo merupakan hal biasa di Bali, Minahasa, dan Mentawai. "Bagaimana mau ditangkap kalau kepala desanya juga melakukan kumpul kebo?" katanya. Menurut dia, susah memasukkan ini ke dalam KUHP karena merupakan soal pribadi dan menyangkut perasaan susila yang berbeda-beda.

Akhirnya, kata Andi, setelah berdebat panjang, kedua belah pihak yang bersilang kata memilih kompromi. Mereka sepakat kumpul kebo merupakan tindak pidana, dengan syarat masuk dalam delik aduan. Jika ada yang mengadukan, kasus ini akan masuk dalam tindak pidana. Sedangkan pihak yang bisa mengadukan diatur tak hanya suami atau istri, tapi juga tetangga dekat, kepala adat, dan kepala desa. Kendati beres di tim penyusun, Andi tak yakin soal ini bakal lolos di DPR. "Ini bukan soal yang netral," katanya. Karena itu, dia yakin soal tindak pidana perzinaan ini bakal menghabiskan waktu banyak.

Masih banyak hal lain yang bakal mengundang perdebatan. Salah satu yang penting adalah mengenai pasal-pasal penghinaan atau yang dikenal dengan haatzaai artikelen. Di satu sisi, sudah ada kemajuan berarti dengan diubahnya pasal-pasal penghinaan dari delik formal menjadi delik material. Perubahan ini membawa akibat yang besar karena aturan yang lama lebih bersifat pencegahan. Kendati demikian, definisi kata "keonaran" tetap saja tak jelas. Ini jelas membuka peluang bagi penguasa untuk membuat interpretasi sendiri. "Membaca pasal-pasal penghinaan ini juga harus melihat konteks ketika naskah ini dibuat," kata Andi. Pada 1992 itu, Soeharto memang masih sangat kuat. Dengan kata lain, semestinya pasal-pasal ini diperbaiki lagi sesuai dengan tuntutan reformasi.

Bagaimanapun, Yusril Ihza Mahendra sudah melempar bola. Rancangan KUHP sudah ada di depan mata. Jika ingin perbaikan, silakan Anda ikut menendangnya.

M. Taufiqurohman, Ahmad Taufik, Endri, Juli Hantoro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus