Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Ekonom dari Center of Reform on Economics Indonesia, Piter Abdullah Redjalam, mengatakan penutupan ratusan bank perkreditan rakyat (BPR) akibat tak mampu memenuhi ketentuan modal inti minimum akan mengganggu program inklusi keuangan, yang menjadi salah satu program Presiden Joko Widodo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, selama ini pemerintah dan otoritas keuangan tidak cukup adil memperlakukan BPR, yang sesungguhnya berpotensi mendorong inklusi keuangan. "Harus diakui bahwa BPR seperti anak tiri dalam sistem perbankan kita. Selain ruang geraknya dibatasi, BPR harus berhadapan dengan bank umum bermodal besar kategori BUKU IV," kata dia kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Piter merujuk pada penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) oleh bank-bank besar yang menyaingi bisnis kredit BPR. Menurut dia, KUR dengan bunga rendah, di bawah rata-rata bunga kredit BPR, lebih diminati masyarakat. "Wajar kalau BPR umumnya tidak bisa berkembang karena tidak mampu bersaing. Dengan kondisi seperti itu, tidak mudah bagi investor menambah modal," ujar dia.
Piter pun mengatakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pemerintah harus mengantisipasi memburuknya kondisi BPR. Ke depan, dia berharap BPR mendapatkan perhatian lebih disertai insentif, sehingga dapat bersaing dan tumbuh sehat. "Sehingga bisa membantu program pemerintah di pedesaan, termasuk inklusi keuangan."
Saat ini, ratusan BPR terancam tutup buku lantaran tak bisa memenuhi ketentuan modal inti minimum Rp 6 miliar, yang dipersyaratkan OJK. Berdasarkan catatan OJK, hingga Januari lalu, ada 722 BPR yang belum memenuhi syarat tersebut. Dari jumlah tersebut, sepertiga di antaranya atau 240 unit sudah dianggap mampu menambah modal. Sepertiga lainnya masih berupaya menambah ekuitas, baik dari pemilik lama maupun investor baru.
Adapun sepertiga sisanya sudah lempar handuk. "Di antara mereka ada yang hendak mengajukan merger dengan bank lain, dan sebagian siap melikuidasi diri (self liquidation)," kata Direktur Penelitian dan Pengaturan BPR OJK, Ayahandayani.
Sekretaris Perusahaan Lembaga Penjamin Simpanan, Samsu Adi Nugroho, menuturkan bahwa BPR memegang peranan besar dalam inklusi keuangan. "Mereka punya nasabah fanatik karena bisa menjangkau segmen yang tak terjangkau oleh bank umum," ujarnya.
Samsu pun berharap BPR dapat terus berkembang dan mampu meningkatkan kinerja ataupun permodalan. Berdasarkan pantauan LPS, kondisi permodalan BPR sangat beragam. Penghimpunan dana pihak ketiga BPR, kata Samsu, masih positif dan bisa tumbuh di atas rata-rata bank umum. "Tumbuh 11 persen tahun lalu, di atas bank umum yang berkisar 6-7 persen," ujar dia. Samsu pun menyoroti BPR yang tutup karena bermacam alasan. "Memang ada yang karena persaingan bisnis, kredit macet, dan ada juga karena mismanajemen. Tahun ini bisa relatif lebih sehat karena pengawasan OJK lebih ketat."
Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia, Joko Suyanto, mengatakan industrinya tetap bisa eksis. "Separuh dari BPR yang belum memenuhi ketentuan modal inti bisa memenuhinya tahun ini," ujar dia. Agar bisa bersaing, Joko mengatakan, manajemen BPR menyiapkan transformasi digital. "Misalnya, kami membangun platform bersama untuk analisis kredit atau credit scoring dan bekerja sama dengan aparat dinas kependudukan dan pencatatan sipil untuk memperbaiki basis data."
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo