Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Liris, Apa Adanya, Kontemplatif

Lewat album Dunia Batas, Payung Teduh hadir dengan musik yang tenang dan meneduhkan. Sederhana dalam instrumen, tak terjebak dalam romantisisme yang klise.

6 Januari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Datang dari mimpi semalam
Bulan bundar bermandikan sejuta cahaya
Di langit yang merah
Ranum seperti anggur
Wajahmu membuai mimpiku

Sang pujaan tak juga datang
Angin berhembus bercabang
Rinduku berbuah lara

Dalam balutan musik bernuansa keroncong lawas, tembang Angin Pujaan Hujan mengalir tenang. Alunan gitar akustik yang ditingkahi permainan guitalele (instrumen gitar-ukulele) serta kontrabas kian menambah kental warna keroncong lagu yang disuguhkan kuartet akustik Payung Teduh tersebut.

Angin Pujaan Hujan, seperti penggalan lirik di atas, berkisah tentang kerinduan seseorang yang teramat dalam akan seseorang. Lewat liriknya yang indah, tembang ini berhasil melukiskan kerinduan dengan memikat. Inilah lagu yang telah menyedot perhatian khalayak musik Indonesia ketika pertama kali dimunculkan Payung Teduh—yang diawaki Mohammad Istiqamah Djamad (gitar, vokal), Comi Aziz Kariko (kontrabas), Ivan Penwyn (guitalele, backing vocal), dan Alejandro Saksakame (drum, cajon).

Lagu itu juga menjadi nomor hit dari album kedua mereka, Dunia Batas. Album yang dirilis di bawah bendera Ivy League Music itu berisi delapan tembang, yang semuanya mengalir dalam tempo pelan, tenang, dan meneduhkan. Lirik-lirik yang disuguhkan dalam album itu terasa indah, mengingatkan kita akan lirik puitis gaya musik pop era awal pasca-kemerdekaan Indonesia. Sebuah pakem yang sebetulnya usang, tapi tetap memikat karena digunakan dan diekspresikan secara tepat.

Yang tak kalah menarik, lirik tembang dalam album itu seluruhnya menggunakan bahasa Indonesia. Payung Teduh seolah-olah tak tergoda menggunakan lirik bahasa Inggris, seperti yang ditempuh sejumlah grup musik kita belakangan ini. "Bagi kami, lirik bahasa Indonesia itu sangat melodius," kata Is, panggilan akrab Mohammad Istiqamah Djamad.

Lewat Dunia Batas, Payung Teduh menyuarakan kerinduan akan suatu kesederhanaan dalam hidup. Boleh dibilang, di tengah hiruk-pikuk begitu banyaknya band Indonesia saat ini, sungguh langka kita temukan grup musik yang dapat memadukan lirik romantis-kontemplatif, penulisan lagu yang indah dan jujur, serta penyampaian vokal yang matang tanpa beban.

Ketiga hal itu mengingatkan kita akan masa keemasan musik populer Indonesia, masa-masa ketika Bing Slamet pernah berjaya. Inilah beberapa poin yang menjadi pertimbangan Tempo memilih Dunia Batas sebagai album terbaik pada 2012 dan menobatkan Payung Teduh sebagai tokoh seni bidang musik.

Sebelum akhirnya merilis album Dunia Batas, sebetulnya Payung Teduh telah berjalan jauh. Cikal-bakal kuartet ini terbentuk dari dua orang sahabat, Is dan Comi, yang kerap bernyanyi mengiringi musik untuk penampilan Teater Pagupon, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Sepanjang 2004-2007, selain bertanggung jawab terhadap musik teater, mereka sering tampil di sejumlah tempat di kampus itu, dari sekadar muncul di kantin, tepi danau dan tempat kongko, hingga fakultas-fakultas. Saat itu mereka menamakan diri dengan duo "Is-Comi".

Pada awal 2008, mereka kemudian membentuk Payung Teduh, sebelum akhirnya merekrut Alejandro Saksakame atau akrab dipanggil Cito dan Ivan. Nama Payung Teduh sendiri diberikan oleh seorang teman mereka, yang setia menonton setiap penampilan mereka di kampus. "Mungkin dia menganggap musik yang kami bawakan bisa meneduhkan," Is, 28 tahun, menjelaskan.

Is dan kawan-kawan tak menampik nama yang diberikan itu. Menurut Is, mereka tak pernah memikirkan nama grup dan genre musik yang mereka usung. "Payung Teduh memang ingin hadir sebagai oasis meneduhkan bagi seseorang yang tengah berjalan di gurun, berhenti sejenak untuk sekadar menghirup udara," ujarnya.

Tentang lirik-lirik mereka yang terasa indah, menurut Is, itu tak lepas dari lingkungan yang mempengaruhi proses kreatif mereka: teater dan sastra. Maka banyak lirik lagu yang dipengaruhi kedua lingkungan tersebut. Contohnya lagu Angin Pujaan Hujan. Lirik tembang itu diambil dari penggalan dialog naskah drama berjudul Hujan, Senja, dan Kursi Taman karya Is yang dibuat untuk teater SMA 28 Jakarta.

Lalu tembang Berdua Saja, yang menjadi pembuka album Dunia Batas. Lagu yang mengalir pelan dengan intro gitar yang terdengar liris itu terinspirasi puisi Sapardi Djoko Damono bertajuk Di Restoran. Akan halnya lagu Menuju Senja diambil dari naskah drama Bandung Biru. Dalam naskah itu dikisahkan percintaan terlarang antara mojang Priangan dan pemuda Belanda yang berjual­an roti. "Mungkin hanya lagu Untuk Perempuan yang Sedang di Pelukan dan Biarkan yang bukan dari naskah drama," kata Is, sang vokalis, yang banyak menulis lirik dan lagu Payung Teduh.

Adapun musik mereka yang sederhana, hanya terdiri atas gitar kopong, guitalele, kontrabas, dan perkusi, bukan disengaja, apalagi direncanakan. Menurut mereka, instrumen-instrumen itu saja yang memang mereka kuasai. "Intinya, kami bermusik secara jujur, apa adanya," ujar Is. "Nah, dengan instrumen yang kami bisa itu, kami berusaha maksimal dalam bermusik."

Dengan berbekal itulah mereka kemudian melangkah. Pada Desember 2010, mereka merilis album debut yang direkam secara live. Album bertajuk sama dengan nama band mereka (self-titled) itu berisi antara lain lagu Resah, Tidurlah, dan Angin Pujaan Hujan. Hanya, album perdana mereka yang beredar secara terbatas di kalangan kampus itu boleh dibilang belum rapi, lebih mirip album demo.

Hingga akhirnya mereka bertemu dengan Ramondo Gascaro, mantan personel band Sore, yang memproduseri album Dunia Batas. Album kedua Payung Teduh itu berisi remake empat lagu dari album pertama, termasuk Angin Pujaan Hujan, dan empat tembang baru. Saat dirilis pada April 2012, album itu mendapat sambutan dari penikmat dan kritikus musik Tanah Air.

Pengamat musik David Tarigan mengatakan Ramondo berhasil memberikan roh pada materi lagu-lagu dari album pertama mereka yang di-remake, sehingga bisa diterima pendengar di luar kampus yang lebih luas. "Ramondo menabrakkan ekspresi khas musik tongkrongan romantis kampus dengan sensibilitas indie-rock ala Little Joy, band Amerika-Brasil. Dan hasilnya sungguh dahsyat," kata David.

Kekuatan lainnya, menurut David, musik mereka terasa sekali Indonesianya, dari penggunaan guitalele, yang kerap menyerupai cak, hingga groove ritmenya yang terkadang "berutang" pada musik nasional seperti keroncong. "Sejauh ini mungkin baru Payung Teduh yang dapat membuat remaja hipster menganggap keren musik keroncong."

Pengamat musik Denny Sakrie menambahkan, romantisisme masa lalu yang ditawarkan Payung Teduh lewat album Dunia Batas terasa menyentak di tengah begitu banyak kreativitas pemusik muda sekarang yang sangat well-trained, memiliki visi musik yang advance. "Payung Teduh memiliki kekuatan lain yang kerap diabaikan para kreator musik pop kita: rasa Indonesia," ujar Denny.


Nomine Album Terbaik 2012 Pilihan Tempo

Tahun 2012 melahirkan puluhan hingga lebih dari seratus album Indonesia dalam pelbagai genre, dari pop, rock, jazz, hingga reggae. Kami kemudian menyaringnya untuk dinobatkan sebagai album terbaik pilihan Tempo. Selain Dunia Batas (Payung Teduh), berikut ini nominenya

KOMUNAL

  • Gemuruh Musik Pertiwi
  • Progresiv Barbar Musik & Omuniuum

    LIGRO

  • Dictionary 2
  • MoonJune Records

    THE UPSTAIRS

  • Katalika
  • Magnet Music & Organic Records

    PURE SATURDAY

  • Grey
  • Labyrinth Records

    DUBYOUTH

  • Dubyouth
  • Demajors

    SERINGAI

  • Taring
  • High Octane Production

    RAS MUHAMAD & DADDY T

  • Berjaya
  • Jahstar & Demajors

    MARCEL THEE

  • With Strong Hound Three
  • Paviliun Records

    THE TRIANGLE

  • The Triangle
  • Lucky Me Music
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus