Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kebutuhan peti mati di sejumlah kota di Indonesia meningkat sejak sebulan terakhir.
Produksi tidak dapat digenjot karena keterbatasan tenaga di level perajin.
Stok di pedagang mulai habis dalam sepekan terakhir.
JAKARTA – Bagi sebagian kecil orang, situasi malang akibat pandemi Covid-19 berubah cepat menjadi peluang. Usaha dekorasi pengantin yang dibangun Ranky Safitri bersama suaminya bankrut akibat pembatasan kegiatan masyarakat pada tahun lalu. Melihat persentase kematian pasien Covid-19 di Indonesia yang tinggi—per kemarin total korban lebih dari 65 ribu orang—Ranky berpikir cepat ke kebutuhan peti mati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak awal masa pandemi pada Maret tahun lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mewajibkan agar setiap jenazah pasien Covid-19 dimakamkan dengan peti mati untuk menghindari penularan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ranky, 36 tahun, lalu ikut pelatihan pembuatan peti mati berstandar WHO di sebuah instansi di bawah Kementerian Kesehatan. Warga Bogor itu langsung meneruskan ilmu barunya ke 15 karyawan eks usaha penyewaan dekorasinya pada April tahun lalu.
Tak butuh lama bagi Ranky untuk kedatangan order. Makin lama, makin banyak. "Yang paling sering memesan Pemerintah Kota Depok. Kemarin, mereka pesan 90 unit," ujar dia di bengkel yang bernama Kabita Bogor, Tajur, Kota Bogor. Dia membanderol peti antiair tersebut Rp 1 juta.
Pesanan peti mati juga mengalir deras di bengkel Bogor Brand Creatif. Wiwik, 35 tahun, pemilik usaha, mengatakan jumlah order mereka naik lima kali lipat sepanjang tiga pekan belakangan. Setiap hari, bengkel di Gunung Putri, Kabupaten Bogor, itu diminta membuat 20-30 unit. Sebagian besar pemesan adalah rumah sakit untuk kebutuhan jenazah pasien Covid-19.
Besarnya permintaan membuat Wiwik, yang memulai usaha pada 2013, menggenjot kemampuan produksinya dari 3 menjadi 8-12 peti per hari. Itu pun masih belum mencukupi order, sehingga sebagian pesanan harus menunggu lebih lama.
Perajin peti mati di Dusun Bangunjiwo, Desa Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, 10 Juli 2021. TEMPO/Shinta Maharani
Di Yogyakarta, produsen tabela juga kewalahan memenuhi pesanan. Rumah sekaligus bengkel Mbah Bandi, perajin peti mati, di Dusun Bangunjiwo, Desa Tamantirto, Kasihan, Kabupaten Bantul, tak henti kedatangan tamu dari penyedia jasa layanan kedukaan. "Sehari pasok tiga peti untuk satu toko," ujar dia saat ditemui Tempo di Bantul.
Bandi mengatakan kenaikan jumlah pemesanan hingga tiga kali lipat mulai terjadi sekitar tiga pekan lalu, seiring dengan lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia. Pemesanan patok nisan di bengkelnya juga naik menjadi seratus pasang per hari. Dia tak aji mumpung. Harganya tetap, mulai Rp 500 ribu untuk peti kayu tanpa ukiran dan maksimal Rp 3,7 juta untuk peti berukir sepanjang 2 meter.
Dengan jumlah karyawan yang segitu-segitu saja, Bandi kerap tak bisa menyanggupi order. Jika sudah demikian, dia merekomendasikan konsumen memesan di bengkel adiknya, Juwat, yang juga perajin tabela. Namun sang adik juga kerap kehabisan stok. Setiap kali dia bikin peti tanpa ukiran, pasti langsung diangkut pembeli.
Disparitas permintaan dan penawaran ini membuat pedagang kelimpungan. Hananto, penjual peti mati di Jalan Brigjen Katamso, Kota Yogyakarta, kesulitan mendapatkan tabela sejak pekan lalu. Jumlah permintaan naik tiga kali lipat menjadi sepuluh peti per hari, tapi pasokan seret. Selain mendatangi Mbah Bandi di Bantul, Hananto berburu peti hingga ke pelosok-pelosok Yogyakarta di Kabupaten Gunungkidul dan Kulon Progo.
Hampir setiap perajin peti yang dia datangi mengaku kehabisan stok. Untuk bisa membawa pulang peti mati, Hananto kerap harus menunggu perajin membuat peti satu per satu. Jika tidak, tabela itu disambar pembeli lain.
Konsumen Hananto adalah perorangan dan rumah sakit, termasuk RS Pembinaan Kesejahteraan Umat (PKU) Muhammadiyah Gamping di Sleman yang menjadi rujukan bagi pasien Covid-19. Hananto mematok harga Rp 750 ribu per peti mati untuk rumah sakit dan Rp 1,2 juta rupiah untuk individu. "Kami kewalahan," kata dia.
IMAM HAMDI | M.A. MURTADHO (BOGOR) | SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo