Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sedang melakukan asesmen psikologi bagi para saksi dan korban dalam kasus Afif Maulana pada Sabtu, 13 Juli 2024. Afif merupakan bocah berusia 13 tahun yang diduga tewas karena penyiksaan oleh polisi pada tragedi Jembatan Kuranji, Kota Padang, Sumatera Barat, 9 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Wakil Ketua LPSK Susilaningtyas mengatakan sejauh ini pihaknya masih melakukan penelaahan berupa asesmen psikologis dari permohonan yang diajukan oleh Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Padang selaku kuasa hukum keluarga korban. "Ini kami masih melakukan asesmen psikologi bagi para saksi korban," kata Susi kepada Tempo saat dihubungi Sabtu, 13 Juli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menjawab kapan prosedur itu selesai, Susi mengatakan hal tersebut tergantung dari asesmen yang dilakukan oleh psikolog. "Dan kondisi anak korban untuk berapa lamanya." Masing-masing anak, lanjut Susi, bisa berbeda-beda dalam proses ini. Maka dari itu, LPSK tidak bisa menargetkan kapan asesmen ini akan selesai. "Semua tergantung proses asesmen antara psikolog dengan anak korbannya," ucap Susi.
Menyoal berapa jumlah saksi dan korban yang tengah menjalani asesmen psikologi, dia menyebut lebih dari enam orang yang sebelumnya mengajukan permohonan perlindungan. Keenam orang tersebut merupakan keluarga Afif Maulana dan saksi-saksi lainnya. Sebab, LPSK, tutur Susi, ingin menjangkau 18 korban penyiksaan lainnya di Polsek Kuranji. "Lebih dari itu karena kami jangkau semuanya," ujar dia.
Setelah mendapatkan hasil asesmen psikologi, lanjut Susi, LPSK baru bisa memutuskan untuk memberikan status terlindung dalam kasus ini. "Tapi jika ada kebutuhan perlindungan dan pendampingan segera, bisa kami berikan secara darurat," kata Susi.
Sebelumnya, Direktur Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Padang, Indira Suryani, mengklaim telah berkoordinasi dengan LPSK untuk melindungi 18 saksi yang juga menjadi korban kekerasan polisi. Permohonan itu telah dilayangkan pada 26 Juni 2024. Namun, Indira menyebut pihak LPSK terlalu birokrasi sehingga mereka belum juga memberi perlindungan. “LPSK terlalu birokrasi, harus lebih gerak cepat menyelamatkan, memberikan perlindungan,” ujar Indira saat ditemui Tempo di Jakarta, pada Kamis, 4 Juli 2024.
Indira mengatakan LPSK mempertanyakan surat kuasa hukum terhadap saksi-saksi lain dalam kasus ini. “Dia bilang kami, kan, yang lain enggak kasih surat kuasa ke LBH, yang kasih kuasa kan cuma keluarga Afif, lalu keluarga dua anak lainnya,” tuturnya.
Menurut dia, terjadi pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus ini. Maka dari itu, dia berharap LPSK tidak memperlakukan tragedi Jembatan Kuranji ini seperti kasus biasa.
“Lalu saya bilang, kalau misalnya LPSK cuma kasih perlindungan ketiga anak lain, tidak yang 18 ini tidak, maka tidak akan terbongkar kasusnya. Jadi jangan kayak gitu, ini kasus HAM, jangan disama-samain dengan kasus biasa,” kata Indira.
DEFARA DHANYA PARAMITHA