Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agus Dermawan T.
Sejak 1994, balai lelang internasional Christie's menggelar event lelang "Modern and Contemporary Southeast Asian Art" di Singapura dan kemudian di Hong Kong. Acara rutin setengah tahunan ini di antaranya melelang karya old master Indonesia, termasuk pelukis Hindia Belanda. Tersebab karya old master diposisikan sebagai lot utama, balai lelang harus menjaring lukisan para maestro itu sebanyak-banyaknya.
Mengagetkan, sampai memasuki tahun 2000, ternyata banyak lukisan old master palsu—seperti karya Le Mayeur, Rudolf Bonnet, Lee Man Fong, Affandi, Hendra Gunawan, dan S. Sudjojono—yang coba-coba diajukan oleh pemasok (vendor). Apabila dalam setiap sesi lelang ada sekitar 250 lukisan Indonesia yang diajukan, muncul rata-rata 25 lukisan palsu. Lukisan bodong ini tentu langsung disingkirkan.
Melihat kenyataan itu, seorang petinggi lelang berkata bahwa "Indonesia adalah produser lukisan palsu terbesar di Asia Tenggara". Dengan begitu, para selektor terpaksa ekstra-teliti mengawasi seni lukis Indonesia. Namun, seteliti-telitinya para expert, kebobolan juga. Sampai tengah 2012, dari sekitar 2.300 lot lukisan Indonesia yang sudah dilelang, setidaknya ada enam lukisan yang pernah dikomplain. Untuk lukisan yang terbukti palsu, balai lelang dengan besar hati menariknya dari forum—atau dianggap sebagai withdrawn.
Terpeleset dalam meneliti adalah hal yang wajar, karena mendeteksi lukisan palsu termasuk pekerjaan rumit. Khusus lukisan karya old master, peneliti memang harus memahami banyak aspek, dari persoalan gaya, teknik, visi, muatan gagasan, karakter sapuan, kecenderungan warna, pilihan tema, sampai pemakaian bahan. Semua aspek itu berkaitan dengan kurun, yang lantas menghasilkan periodisasi penciptaan. Karena itu, seorang selektor harus memahami historiografi pelukis secara lengkap dan cermat, sambil memperkaya referensi visual dengan banyak melihat.
Namun, bagi yang berpengalaman, semua aspek keaslian dan kepalsuan lukisan bisa dilihat dalam sekejap mata. Bahkan dengan feeling saja semua bisa dirasa. Kesulitan baru muncul apabila lukisan palsu itu dikerjakan dengan presisi yang benar-benar mendekati aslinya—yang menyebabkan uji kasatmata serta telaah historiografi tak mampu memberikan kepastian.
Pada kondisi seperti itu, yang bisa dilakukan adalah uji forensik atau pemeriksaan laboratorium atas bahan. Sistem uji ini memperbandingkan lukisan yang diragukan keasliannya dengan data lab lukisan asli yang jadi acuannya. Upaya itu dilakukan dengan mencocokkan unsur-unsur pigmen, campuran dan lapisan, minyak dan timah, serat kanvas, jejak sapuan kuas, dan sebagainya. Sayang, uji laboratorium ini belum sepenuhnya bisa dilakukan di sini, karena perangkatnya belum lengkap. Apalagi di Indonesia tidak pernah ada usaha mencatat secara laboratoris unsur-unsur lukisan tua dan dianggap punya potensi dipalsukan. Ketiadaan ini sering dimanfaatkan sebagai peluang tipu-tipu oleh para pemalsu.
Namun sesungguhnya kualitas pemalsuan lukisan di Indonesia tergolong kelas ringan, sehingga sebagian besar masih gampang ditengarai dengan pengetahuan visual dan mata telanjang. Bandingkan dengan pemalsuan di Amerika dan Eropa yang sungguh tricky dan teknis. Beberapa cerita di bawah ini adalah contohnya.
Meegeren adalah pelukis dan ahli restorasi yang sangat pandai meniru lukisan seniman Belanda, Jan Vermeer (1632-1675). Tak cuma tata visualnya yang ia imitasi. Meegeren tahu bahwa di dalam lukisan Vermeer terkandung lapisan lazuli. Ia lantas membuat juga lapisan itu dengan menggiling bahan-bahan sendiri. Namun usaha tersebut dapat diungkap oleh teknologi Josef Riederer. Ahli arkeometri ini mendeteksinya lewat spektrometri fluoresensi sinar-X. Di sini diketahui bahwa di dalam lukisan garapan Meegeren terdapat konsentrasi timah 210. Padahal isotop timah itu hanya dapat bertahan sekitar 22 tahun. Meegeren pun dicokok polisi sekitar 50 tahun lalu.
Setelah Meegeren, pelukis Christian Goller dan Eric Hebborn mengelabui persoalan timah tadi dengan menggerus timah lonceng-lonceng berusia ratusan tahun yang dibeli di toko-toko loak. Gerusan timah yang isotopnya telah mati itu lantas dimasukkan ke cairan cat. Formula lukisan pun jadi "kuno". Goller dan Hebborn mengaku hampir seribu lukisan bikinan mereka beredar masuk ke museum pribadi orang-orang ternama, dari Austria, Amerika, sampai Indonesia. Namun teknologi scanning electron microscope yang memperbesar detail lukisan sampai 20 ribu kali bisa mengungkap penipuan itu. Dua begundal itu pun mati kutu.
Kalau Indonesia punya alat-alat deteksi seperti itu, taruhan dua ringgit, para pelukis palsu pasti lari terbirit-birit!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo