Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Madu Politik Al-Zaytun

Politikus dan partai politik bertebaran di sekitar Panji Gumilang. Diyakini bisa menyetor hingga 16 ribu suara.

20 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ROMBONGAN Partai Demokrat itu tiba menjelang magrib. Dipimpin Ketua Umum Anas Urbaningrum dan Sekretaris Jenderal Edhie Baskoro Yudhoyono, delegasi resmi pengurus pusat partai pemenang Pemilihan Umum 2009 ini terlambat beberapa jam dari jadwal.

Tapi pemimpin Ma’had Al-Zaytun, Syekh Panji Gumilang, sama sekali tak gusar. Dia tetap menyambut mereka dengan senyum lebar. Pertemuan pada pertengahan Maret lalu itu tampaknya sudah ditunggu-tunggu. Sore itu, Panji bahkan khusus mengenakan baju batik biru. ”Kalau boleh, songkok ini pun saya pakai yang biru,” kata seorang peserta pertemuan, menirukan seloroh Panji malam itu.

Kemesraan Al-Zaytun dan Partai Demokrat sudah dimulai dua tahun lalu. Pada Pemilihan Umum 2009, untuk pertama kalinya Demokrat mendulang suara terbanyak di Jawa Barat. Persentase suara partai biru berlipat—dari 7 persen pada Pemilu 2004—menjadi lebih dari 20 persen. Kemenangan Demokrat di Jawa Barat—wilayah dengan pemilih terbanyak di Indonesia—mengatrol perolehan suara partai itu di tingkat nasional.

Ahmad Nurdin, aktivis Negara Islam Indonesia di Jawa Barat bagian selatan, mengaku jaringannya punya andil dalam kemenangan besar itu. Ditemui Tempo di sebuah pusat belanja di Jakarta Selatan akhir Mei lalu, Nurdin mengaku baru saja memaparkan ihwal NII dan Ma’had Al-Zaytun di hadapan sejumlah pejabat di Lembaga Ketahanan Nasional. ”Pada saat pemilu, kami memang digarap orang-orang Demokrat,” katanya berterus terang.

Adalah Majelis Dzikir Sabilul Biri wal Yaqin (SBY) Nurussalam yang jadi pintu masuk buat para aktivis NII ini. Pengajian yang didirikan sejumlah ulama yang bersimpati pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini punya cabang di banyak kota, terutama di Jawa Barat.

”Awalnya pragmatis saja, Majelis Dzikir SBY memberikan fasilitas untuk beribadah,” ujar Nurdin. Kerja politik aktivis NII untuk pemenangan Demokrat pun, kata dia, tidak didorong motivasi ideologis. ”Ada harganya,” ujar Nurdin. Dalam kampanye 2009, Nurdin bercerita, dia dan aktivis NII lain lebih banyak bergerilya di jejaring mereka sendiri. ”Kalau instruksinya pilih partai A, keluarga dan kerabat pasti ikut.”

Tapi pengakuan Nurdin ini ditolak oleh para pengurus Majelis Dzikir SBY Nurussalam. ”Aktivitas kami itu zikir, bukan yang lain-lain,” kata Lex Laksamana, Ketua Majelis Dzikir SBY di Jawa Barat. ”Tapi kami memang terbuka. Siapa saja boleh ikut zikir,” ujarnya. Lex mengaku tak pernah mendengar ada penyusupan kader-kader NII ke dalam majelis yang dia pimpin.

Ketua Partai Demokrat Jawa Barat Iwan Ridwan Sulanjana juga membantah cerita Nurdin. ”Kami tidak menggarap Al-Zaytun,” katanya. Massa inti Al-Zaytun, menurut prediksi Iwan, sekitar 16 ribu orang. Suara sebesar itu, ujar dia, bulat mengikuti instruksi pemimpinnya. ”Kalau pemimpin mereka bilang A, semuanya ikut A,” ujar Iwan.

Mantan Panglima Komando Daerah Militer Siliwangi ini mengaku tak ”menggarap” Al-Zaytun, ”Karena itu basisnya Pak Wiranto.”

Iwan mengakui Al-Zaytun punya daya pikat tersendiri. ”Semua partai pasti berpikir sama: mencari pemusatan massa untuk menambah kekuatan,” ujarnya. Itulah mengapa Al-Zaytun selalu diincar para politikus, dari pemilu ke pemilu.

Pada dua pemilu terakhir untuk tingkat DPRD provinsi dan kabupaten, pemenang di Haurgeulis, pusat Ma’had Al-Zaytun, adalah Partai Golkar. Bahkan putri Panji Gumilang, Anissa Khairunnisa, sekarang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Indramayu dari Fraksi Partai Golkar. Pada pemilihan presiden 2004, pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid menang telak di Al-Zaytun. Lima tahun kemudian, giliran Jusuf Kalla-Wiranto.

Ada yang menuding kemenangan itu terkait dengan relasi historis antara Al-Zaytun, NII, dan Operasi Khusus di era Orde Baru. Selain itu, ada yang menyebutkan puluhan ribu suara untuk Golkar itu ”tidak gratis”.

Jusuf Kalla membantah dua tuduhan itu. ”Pisahkan antara NII dan Al-Zay­tun,” kata Kalla dua pekan lalu. ”Di Al-Zaytun hanya ada anak-anak muda yang giat belajar,” ujarnya. Meski begitu, Kalla mengakui kedekatannya dengan Panji Gumilang. ”Saya memang kenal dia,” katanya.

Awal kedekatan mereka agak unik. Pada 2008, Panji Gumilang mengaku dihubungi anggota staf khusus wakil presiden yang menawarkan bantuan dana untuk Ma’had Al-Zaytun. Nilainya tak tanggung-tanggung: Rp 80 miliar.

Agar dana itu bisa cair, Panji diminta menyetorkan dana Rp 1,5 miliar ke anggota staf itu. Tanpa pikir panjang, Panji memenuhi permintaan itu. Tapi, tunggu punya tunggu, fulus puluhan miliar yang dijanjikan tak kunjung cair.

Mantan anggota staf wakil presiden, Alwi Hamu, membenarkan kisah itu. ”Nama saya yang dicatut waktu itu,” katanya geram. Entah bagaimana, komplotan penipu itu bisa menghubungi Panji Gumilang dari sebuah nomor telepon yang berasal dari kantor wakil presiden.

Singkat cerita, Panji mengadukan kisah penipuan ini ke Jusuf Kalla. ”Bukti-buktinya lengkap, dia memang tertipu,” ujar Kalla. Lewat adik iparnya, Aksa Mahmud, Kalla mengganti kerugian Panji. ”Tentu bukan pakai uang negara, tapi dana pribadi saya,” kata Kalla.

Hubungan mereka kian rapat setelah Panji Gumilang setuju menyimpan dana Al-Zaytun di Bank Kesawan, lembaga keuangan milik Aksa Mahmud. Sebelumnya, rekening pesantren itu pernah pula tercatat di Bank CIC milik terpidana kasus Bank Century, Robert Tantular.

Ditemui dua pekan lalu di Makassar, Aksa membenarkan soal ini. ”Saya yang minta dia menyimpan uangnya di Kesawan,” ujarnya. Tapi dia membantah jumlahnya mencapai ratusan miliar rupiah. ”Sedikit kok,” katanya mengelak. Jusuf Kalla menilai tak ada yang salah dari tindakan Panji itu. ”Apa Bank Kesawan salah menyimpan dana Al-Zaytun?” katanya balik bertanya.

Saking dekatnya keluarga Kalla dengan Panji Gumilang, mereka pernah berencana membangun cabang Ma’had Al-Zaytun di Sulawesi Selatan dan Kalimantan. ”Gagasannya untuk menjadi pusat pendidikan di Indonesia timur,” kata Aksa. Realisasi rencana ini tertunda karena Panji meminta disediakan dulu lahan 1.000 hektare untuk bakal lokasi pesantren.

Ditemui terpisah, Wiranto juga mengaku tak pernah memberikan sumbangan apa pun untuk ”membeli” suara di Al-Zaytun. ”Kondisi finansial mereka sudah kuat,” katanya.

Panji Gumilang sendiri menganggap ringan semua kabar miring soal kedekatannya dengan para politikus penting di negeri ini. ”Sebagai pendidik, saya tidak bisa terjun ke politik praktis,” ujarnya. Dia juga menampik pujian soal kemampuannya menggalang suara untuk partai politik tertentu. ”Memangnya apa yang bisa ditawarkan seorang Panji Gumilang?” katanya seraya tersenyum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus