Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Maju-Mundur Pencari Fakta

Tim Pencari Fakta baru terbentuk tiga bulan setelah kematian Munir. Hasil desakan kanan-kiri.

8 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CILE adalah negara pertama yang dikunjungi Susilo Bambang Yudhoyono setelah dilantik menjadi presiden pada 20 Oktober 2004 untuk menghadiri konferensi APEC. Berangkat dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma pada 18 November 2004, Yudhoyono membawa serta tim kepresidenan, antara lain Andi Alifian Mallarangeng, Chatib Basri, dan Dino Patti Djalal.

Andi tampak gelisah di kelas ekonomi Garuda Airbus A300 begitu pesawat lepas landas. Ia memegang secarik surat untuk Presiden yang dititipkan Direktur Eksekutif Imparsial Rachland Nashidik beberapa saat sebelum terbang. Andi ragu karena Yudhoyono seorang tentara yang patuh prosedur: semua surat untuknya harus diperiksa di Sekretariat Negara. "Surat itu penting, berikan langsung saja," kata Chatib, menceritakan sarannya kepada Andi yang galau, dua pekan lalu.

Isi surat tersebut sederhana saja. Rachland meminta Presiden meluangkan waktu bertemu dengan tim Imparsial dan Suciwati, istri Munir yang tengah berduka. Munir Said Thalib dibunuh di pesawat Garuda saat ia hendak meneruskan sekolah ke Utrecht Universiteit pada 7 September 2004. Belum ada kepastian apa yang membunuhnya, tapi sudah banyak dugaan bahwa aktivis hak asasi manusia pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan itu meninggal secara tak wajar. Rachland meminta bertemu untuk mengusulkan pembentukan tim pencari fakta.

Atas saran Chatib, yang belakangan menjadi Menteri Keuangan, Andi masuk ke kelas bisnis tempat Yudhoyono dan istrinya duduk. Tak berapa lama, Andi masuk kelas ekonomi lagi dan bercerita bahwa Presiden setuju bertemu dengan Imparsial sepulang dari Cile. "Detail omongan, Andi tak cerita dan tak terdengar karena kelas ekonomi dan bisnis terpisah gorden," ujar Chatib.

Pertemuan itu terjadi pada 23 November 2004, sehari setelah Yudhoyono tiba di Tanah Air. Rachland dan Suciwati ditemani pengacara Todung Mulya Lubis dan Mufti Makarim dari Imparsial. Menurut Andi kepada Rachland, Yudhoyono menerima mereka di Wisma Negara, "Karena Presiden ingin menyambutnya secara pribadi."

Yudhoyono menyambutnya didampingi Menteri Sekretaris-Kabinet Sudi Silalahi; Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo A.S.; Dino Patti Djalal, yang sudah diangkat menjadi juru bicara bidang luar negeri; dan Andi Alifian Mallarangeng. Kepada Suciwati, Yudhoyono menyampaikan belasungkawa. "Dengan mimik yang disedih-sedihkan," kata Suciwati.

Rachland membuka pembicaraan dengan langsung kepada pokok permintaannya. Ia mengatakan bahwa di kalangan internal Imparsial sudah sepakat mendorong pemerintah membentuk tim pencari fakta kematian Munir. Anggotanya gabungan dari kepolisian, kejaksaan, dan lembaga swadaya masyarakat. Menurut Rachland, Yudhoyono memahami ide itu dan meminta proposal pembentukan tim yang diminta Imparsial. "Kasus Munir adalah test of our history," ucap Rachland menirukan Presiden.

Setelah berbincang beberapa hal tentang Munir semasa hidup, Presiden menyilakan para tamunya meminum teh yang telah disuguhkan para petugas rumah tangga Istana Presiden. "Teh ini tak ada arseniknya, kan?" kata Rachland, mencoba mencairkan suasana. Alih-alih tertawa, Yudhoyono tak jadi meminum tehnya dan melirik Sudi Silalahi yang duduk di sebelahnya. "Maksudnya apa itu?"

Pertemuan berubah tegang. Meski pemerintah Belanda belum merilis hasil otopsi jenazah Munir, media-media di sana sudah menurunkan berita bahwa Munir tewas karena diracun arsenik. Dosisnya tiga kali lipat dari daya tahan tubuh manusia. Ia tewas di atas langit Rumania, atau tiga jam sebelum pesawat Garuda A-974 mendarat di Bandar Udara Schiphol, Amsterdam.

"Lan, ini gue minum tak apa-apa," kata Todung mencoba mencairkan suasana sambil menyeruput tehnya. Rachland, yang menyadari guyonannya salah waktu dan tempat, buru-buru menjelaskan kalimatnya. "Di Imparsial, Pak Presiden, setelah kematian Munir, ada guyon apakah teh atau kopi di meja kami ditaburi arsenik atau tidak. Itu untuk guyon saja," ujarnya.

Mendengar penjelasan itu, Yudhoyono tersenyum. Suasana cair kembali hingga pertemuan usai. Ketika pamit, Yudhoyono meminta waktu khusus mengobrol berdua dengan Todung Mulya Lubis. Kesempatan menunggu itu dipakai Rachland untuk mengumumkan hasil pertemuan kepada wartawan, yang menunggu di ruang konferensi pers.

Pernyataan Yudhoyono ia terjemahkan bahwa Presiden telah setuju membentuk tim pencari fakta kematian Munir. Rachland mengutip kalimat Yudhoyono soal "test of our history", yang kemudian sangat terkenal dikutip banyak media. Dino memprotes tafsir Rachland itu. "Kalau begitu, akan saya umumkan lagi bahwa Presiden menolak membentuk tim pencari fakta," katanya. Dino tak setuju cara itu.

Akhirnya publik hanya paham bahwa Presiden setuju membentuk tim. "Rachland memang suka begitu," ucap Todung. Hasilnya, tim itu memang tak segera dibentuk. Sudi Silalahi bahkan menyatakan kasus Munir cukup ditangani kepolisian, tak perlu tim khusus. Kekhawatiran tim Imparsial saat berdebat perlu-tidaknya mengusulkan ide itu ke presiden seolah-olah menjadi kenyataan: Yudhoyono yang tentara tak mungkin setuju mengungkap kematian orang yang kritis kepada institusinya.

Waktu itu tim Imparsial sudah selesai menyusun proposal tim pencari fakta berikut anggota-anggotanya. Melalui Andi Mallarangeng pula Rachland menitipkannya agar dibaca Presiden dalam perjalanan ke Laos, tiga hari setelah pertemuan. Tunggu punya tunggu, tim dan nasib proposal itu tak pernah jelas. Yang mengemuka adalah silat lidah aktivis Imparsial dan cara berkelit para pembantu presiden.

Ketakjelasan itu membuat Suciwati, yang sudah tertekan, menjadi berang. Media-media hampir setiap hari menuliskan keberadaan tim itu. Suciwati juga diwawancarai soal pengusutan kematian suaminya. "Akhirnya Rakyat Merdeka menulis di headline besar-besar, 'SBY: Pepesan Kosong'," kata Suciwati, merujuk pada berita koran edisi 9 Desember 2004.

Tak dinyana, berita itu membuat kuping Sudi Silalahi panas. Ia menelepon Suciwati dan menjelaskan bahwa Presiden tak ingkar janji membentuk tim pencari fakta. Kepada wartawan beberapa jam kemudian, Sudi mengulang pernyataannya bahwa Yudhoyono tak seperti yang dituduhkan Suciwati.

Dua pekan setelah headline itu, ada rapat besar yang dihadiri kepolisian, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Kementerian Luar Negeri dengan para aktivis di Markas Besar Kepolisian RI. Dua hari kemudian, Presiden Yudhoyono meneken Keputusan Nomor 111 Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta, yang dipimpin Brigadir Jenderal Marsudhi Hanafi. "Suratnya saya terima pas hari Natal," ujar Suciwati.

Tim itu terdiri dari sekitar 100 anggota lintas departemen yang bertugas menelusuri dan mengungkap pelaku dan motif pembunuhan Munir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus