Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ITHACA, New York, 1 Oktober 1965, pagi. Taufik Abdullah dikejutkan panggilan telepon dari pengajarnya di Cornell University. Kabarnya, ada huru-hara di Jakarta.
Mahasiswa master antropologi Asia Tenggara itu bergegas ke kampusnya. Sejumlah akademikus di Cornell Modern Indonesia Project (CMIP) sudah berkumpul, termasuk Benedict Anderson. Ben waktu itu 29 tahun, tengah menyusun disertasinya tentang pergerakan kebangsaan di Indonesia.
Ben dan Taufik lalu berjalan ke kantor Ithaca Journal, sekitar dua kilometer ke utara dari kampus mereka. Pada sebuah monitor hitam-putih di kantor itu, mereka melihat foto Jenderal Abdul Haris Nasution, Menteri Pertahanan dan Keamanan Indonesia, disertai teks: "percobaan kup gagal".
Ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, Ben menggandeng Profesor Ruth McVey dan Fred Bunnell untuk melakukan penelitian. McVey pakar komunis penulis The Rise of Indonesian Communism, sementara Bunnell mendalami politik luar negeri Indonesia. Adapun Ben setahun sebelumnya baru pulang dari Indonesia setelah meneliti sejak 1962.
Modal mereka tumpukan koran kiriman Perpustakaan Kongres ke Cornell. Ada juga koran lokal Indonesia dan Foreign Broadcast Information Service, buletin siaran radio dari berbagai negara yang dikumpulkan Badan Keamanan Amerika Serikat, NSA.
Mulanya tim kecil itu menyebut Presiden Sukarno sebagai dalang pembunuhan enam jenderal dan satu perwira pertama tersebut. Belakangan, mereka menyimpulkan G-30-S merupakan konflik internal Angkatan Darat.
Pada Desember 1965, Ben dan McVey memaparkan hasil sementara penelitian mereka berjudul A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia dalam sebuah diskusi di kantor CMIP. Draf penelitian dicetak memakai stensilan.
Pada Januari 1966, naskah itu mereka kirim ke beberapa kolega dengan status sangat rahasia. Namun, dalam wawancaranya dengan Kabar Indiependen, situs berita di Surabaya, Ben mengatakan ada rekan George Kahin di Washington membocorkannya ke Departemen Luar Negeri Amerika. Makalah itu pun sampai ke penguasa militer di Jakarta.
Saat itulah muncul istilah "Cornell Paper", yang sama sekali tidak dikenal di tempat asalnya. Isinya tidak main-main. G-30-S disebut sebagai pemberontakan perwira menengah di Divisi Diponegoro Jawa Tengah dan Yogyakarta yang dongkol melihat sederet jenderal di Staf Umum Angkatan Darat yang kebarat-baratan, hidup mewah, dan melupakan semangat revolusi.
Para peneliti Cornell itu menihilkan peran palu-arit. "PKI sedang di atas angin. Ibaratnya, main catur sudah menang, buat apa main tinju," kata Taufik, menirukan argumentasi Ben.
Pada 1967, Ben dan Bunnell datang ke Jakarta untuk melengkapi temuan mereka, ditemani Profesor George Kahin. Kepada pemerintah Indonesia, Kahin mengatakan mereka bakal merevisi Cornell Paper jika mendapat informasi lebih lengkap.
Selama di Indonesia, Ben mendapat dua kali pasokan dokumen Mahkamah Militer Luar Biasa dari Ali Moertopo, perwira intelijen Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat. Di antaranya hasil visum korban G-30-S, yang menyatakan tak ada bekas penyiksaan pada tubuh korban. Hal itu bertentangan dengan keterangan tentara bahwa mata para pahlawan revolusi dicungkil dan penis mereka disayat. Ben makin yakin Jakarta banyak bohong dan urung merevisi Cornell Paper.
Seperti ditulis Tempo dalam edisi 9-15 Maret 1999, Ben mengakui Cornell Paper banyak salahnya. Misalnya tidak memasukkan peran dinas rahasia Amerika, Inggris, Cina, dan Uni Soviet. "Tapi versi pemerintah Indonesia memiliki kesalahan yang jumlahnya sepuluh kali lipat," ujarnya.
Reza Maulana, Amandra Megarani (jakarta), Jihan syahfauziah (surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo