Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanjakan Si Budi dan Pancuran Orok. Di dua lokasi di Cadas Pangeran itu sering ditemukan mayat. Dedi Kusnadi, 43 tahun, pengojek yang biasa mangkal tak jauh dari tempat berdirinya patung Pangeran Kornel dan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, beberapa kali menjadi saksi kasus penemuan mayat yang membuatnya harus bolak-balik ke kantor polisi. Ia, misalnya, pernah menjadi saksi penemuan mayat korban mutilasi.
Dedi ingat, semasa ia duduk di bangku sekolah dasar, akhir 1970-an sampai awal 1980-an, Cadas Pangeran terkenal angker. "Jam 5-6 sore, warga sudah takut ke luar rumah," ujarnya. Angkernya jalan Cadas Pangeran tak lepas dari kondisinya yang sempit, gelap, dan sepi. Tak aneh bila Cadas Pangeran menjadi pilihan untuk membuang mayat korban pembunuhan.
Untuk menghilangkan jejak, pembunuhnya membuang mayat itu ke dasar jurang Cadas Pangeran, yang ditumbuhi pohon pinus dan bambu. Bahkan, pada 1980-an, ketika musim penembakan misterius, hampir tiap pekan warga setempat menemukan mayat lelaki bertato di dalam karung di pinggir jalan.
Secara fisik, jalan penghubung antara Bandung dan Sumedang ini juga terbilang menyeramkan. Kondisi jalan yang berkelok-kelok dan diapit tebing tinggi yang riskan longsor saat musim hujan membuat Cadas Pangeran dikenal sebagai jalur maut.
Namun yang tak kalah menakutkan adalah cerita tentang banyaknya korban tewas selama pembangunan jalan semasa pemerintahan Daendels. Menurut Raden Mohamad Achmad Wiriaatmadja, tokoh Sumedang yang juga Ketua Museum Prabu Geusan Ulun (Museum Yayasan Pangeran Sumedang), korban kerja paksa pembangunan Jalan Raya Pos gagasan Daendels itu dimakamkan tersebar di sekitar Cadas Pangeran.
Di antaranya di lereng belakang deretan kios dekat mulut Cadas Pangeran, yang berada di sebelah kiri dari arah Bandung, dan di area persawahan Kampung Singkup. "Saya pasangi tugu di Singkup untuk mengenang jasa korban Jalan Pos," ujar Achmad. Di Kampung Singkup itu, kata dia, ditemukan lima kuburan korban Jalan Raya Pos. Ia mengatakan mengetahui kuburan tersebut berdasarkan cerita lisan penduduk saat menelisik riwayat sejarah daerah Cadas Pangeran pada 1972.
Tempo mendatangi lokasi pertama yang disebut Achmad. Lokasi itu masuk wilayah Kampung Cijeruk. Tempat itu dipasangi pagar pilar beton tinggi sepanjang 200 meter sebagai penahan tanah jika terjadi longsor. Adang Jayadi, koordinator pedagang Cadas Pangeran, menyebutkan pagar beton itu dibuat pada 2005. Sebelum tempat itu ditanami tiang beton, kata Adang, warga menemukan perkuburan berisi 12 makam. "Makamnya tidak baris teratur. Semuanya menghadap ke barat. Karena dipasang beton, enam makam dipindahkan ke lereng lebih atas, lengkap dengan batu nisannya," ujarnya.
Jalan ke makam relokasi itu menanjak terjal melewati semak belukar dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Adang harus menebas semak belukar menuju kompleks makam tersebut. "Ini makam raja, itu istrinya dan empat anak buahnya," ujarnya menerangkan deretan makam itu.
Adang menyebutkan makam "raja" itu satu-satunya pusara yang memiliki batu nisan berhuruf Arab. Aksara Arab itu sendiri sudah sulit terbaca karena berlapis tanah dan lumut. Menurut dia, ketika dipindahkan, jasad "raja" itu masih ada separuh dengan kuku-kuku tangan yang memanjang. "Saya enggak tahu itu sebenarnya siapa," kata Adang. Ia mengaku tidak pernah mendengar riwayat dari sesepuh kampung bahwa kumpulan makam itu merupakan korban Jalan Pos.
Tempo juga sempat mendatangi persawahan Kampung Singkup, tempat Achmad memasang tugu. Namun, seperti di lokasi pertama, warga sekitar, seperti pemilik warung makan yang telah berjualan selama sembilan tahun di dekat tugu, tak tahu soal korban Jalan Pos di sana. Empat plakat di sekeliling tugu juga sudah tak bisa terbaca tulisannya karena catnya luntur dan berkarat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo