Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA dekade berlalu, Frans Kaisiepo masih mengulas kehadirannya di Konferensi Malino di Sulawesi Selatan pada Juli 1946. Pemerintah Hindia Belanda mengadakan pertemuan itu untuk membahas pembentukan negara bagian yang meliputi daerah di wilayah timur Indonesia, Republik yang belum genap berusia setahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Papua tak langsung masuk menjadi wilayah Indonesia pada awal kemerdekaan karena masih dikuasai pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus van Mook menggelar konferensi agar daerah di Timur Raya atau De Groote Oost bersedia membentuk persemakmuran di bawah Kerajaan Belanda. Papua diharapkan mau bergabung dengan pemerintahan baru tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Frans Kaisiepo justru mengusulkan perubahan nama Papua dalam konferensi,” kata menantu Frans, Samuel Manggaprouw, ketika dihubungi pada Selasa, 25 Juli lalu. Samuel, yang menikah dengan putri Frans, Susana Kaisiepo, mendengar langsung cerita dari Frans saat mereka bertemu di pesanggrahan mereka di Pantai Base G, Jayapura, pada Oktober 1978.
Frans diundang menjadi peserta Konferensi Malino karena berprofesi pegawai pamong praja dan alumnus sekolah bestuur. Pemerintah Hindia Belanda sempat mengundang Frans ke Jayapura dalam taklimat mengenai tujuan konferensi yang hendak membentuk pemerintahan koloni Kerajaan Belanda.
Sidang Konfrensi Malino yang dihadiri wakil Negara Indonesia Timur termasuk Irian Barat di Sulawesi Selatan. Repro 25 Tahun Trikora
Kepada Samuel, Frans mengatakan nama Papua tak berasal bahasa lokal Bumi Cenderawasih. Frans meyakini Papua berasal dari bahasa masyarakat Maluku, "pua-pua". Artinya orang berambut keriting dan berkulit legam. Sollewijn Gelpke, sarjana Universiteit Leiden, Belanda, dalam "On the Origin of the Name Papua" (1993) mencatat etimologi Papua dalam beberapa versi.
Dalam catatan Gelpke, Papua mungkin berakar dari kata "papoewa" yang diucapkan masyarakat Melayu Ambon yang berarti kusut masai. Para pelaut asal Ambon menyematkan julukan ini bagi penduduk yang mendiami Papua Nugini. Versi lain, Papua berasal dari bahasa Biak, "papus". Artinya kekayaan atau barang impor—istilah yang muncul karena kapal-kapal dagang ramai bersandar di pulau itu.
Apa pun asal-usul katanya, Frans menilai nama Papua merupakan penghinaan. “Papua dianggap merendahkan martabat kami,” tutur Samuel. Hendak mengganti nama daerahnya, Frans mengusulkan "Irian". Risalah “Catatan Mengenai Irian Barat” yang ditulis Frans menjelaskan kata "Irian" berasal dari bahasa Biak yang berarti panas.
Para pelaut Biak selalu mengharapkan datangnya panas atau sinar terik matahari saat kabut menyelimuti perjalanan mereka mengarungi lautan. Bagi Frans, seperti tertulis dalam risalahnya yang kini tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia, Irian bermakna cahaya terang yang mengusir kegelapan.
Frans melontarkan gagasan perubahan nama Papua menjadi Irian saat Konferensi Malino memasuki hari kedelapan. Meski demikian, "On the Origin of the Name Papua" yang ditulis Sollewijn Gelpke menyebutkan Markus Wonggor Kaisiepo—saudara Frans—yang pertama kali mencetuskan perubahan nama Papua menjadi Irian pada 1945. Irian versi Markus bermakna semangat yang membubung.
Usulan Frans mengganti nama Papua membuat Hindia Belanda tersentak. Pemerintahan sipil Hindia Belanda atau NICA kecewa terhadap isi diskusi. Alih-alih memperkuat ide membentuk persemakmuran, usulan Frans dianggap berpotensi menggagalkan pembentukan pemerintahan kolonial di timur Indonesia. NICA kemudian menggelar lagi konferensi serupa di Denpasar, Bali, pada Desember 1946.
Sukarno justru yang mencomot ide keluarga Kaisiepo mengubah nama Papua menjadi Irian. Keputusan pahlawan proklamasi itu tak lepas dari manuver politik dan propaganda untuk menjadikan Papua bagian dari wilayah Republik Indonesia. Sukarno mempopulerkan Irian sebagai akronim “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”.
Baca: Surat Rahasian Badan Intelijen soal Penggembosan Gerakan Menolak Otonomi Khusus
Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua Mohammad Thaha Alhamid mengklaim nama Irian merupakan ide orisinal Bung Karno. Presiden pertama itu menitipkan gagasannya kepada Soegoro Atmoprasodjo, orang dekat Sukarno yang pernah menjadi pengurus asrama sekolah bestuur. Frans pernah mengenyam pendidikan di sekolah itu untuk menjadi calon pegawai pamong praja.
Menurut Thaha, orang tua Marthen Indey—tokoh pergerakan Papua dan kolega Frans di sekolah bestuur—pernah bercerita kepadanya bahwa Soegoro meminta para pemuda memeriksa etimologi nama Irian. “Frans Kaisiepo yang memastikan bahwa itu mirip bahasa Biak,” ucap Thaha.
Upaya mengubah nama Papua membuat Frans berselisih dengan sepupunya, Markus Kaisiepo. Frans meyakini Papua bisa sejahtera jika bergabung dengan Indonesia. Sedangkan Markus berpendapat sebaliknya, mengintegrasikan Papua ke Republik Indonesia tak akan membuat masyarakat Papua menjadi lebih baik dan merdeka.
Perbedaan sikap politik antara Frans dan Markus dalam memandang kemerdekaan Papua terus berlanjut. Ketika keduanya mendirikan partai politik, Frans memilih mendeklarasikan Partai Indonesia Merdeka pada 1946 dan Partai Irian Sebagian Indonesia pada 1961. Garis perjuangan partai ini adalah menuntut penyatuan wilayah Papua ke Indonesia yang baru merdeka.
Sementara itu, Markus menjadi motor Gerakan Persatuan Nieuw Guinea pada 1940, lantas mendirikan Partai Rakyat Demokratis pada 1957. Sebagaimana cita-cita Markus, organisasi politik itu menuntut kemerdekaan penuh bangsa Papua.
Sejarawan Universitas Cenderawasih, Albert Rumbekwan, menyebutkan langkah politik Markus dilakukan sebagai ancang-ancang untuk masuk ke Nieuw Guinea Raad, lembaga perwakilan rakyat yang dibentuk pemerintah kolonial. Markus menilai rakyat Papua bisa menentukan nasib sendiri jika bergabung dengan lembaga politik tersebut.
Sampai hari ini, gagasan Frans yang berjalan. Papua menjadi bagian dari Indonesia lewat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang berlangsung pada Juli-Agustus 1969. Keabsahan hasil Pepera itu belakangan dipersoalkan para aktivis kemerdekaan di Papua karena militer Indonesia dianggap turut campur dalam penentuan sikap masyarakat Papua.
Markus kemudian memilih berpindah ke Belanda. Kerabat Frans, Fonny Kaisiepo, mengatakan hubungan Frans Kaisiepo dengan Markus tak pernah pulih sejak Papua bergabung dengan Indonesia. Komunikasi mereka putus bahkan sampai Frans wafat pada 1979. “Tak ada ucapan belasungkawa,” kata Fonny kepada Tempo di Biak Numfor, Rabu, 2 Agustus lalu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Terhina Makna Papua"