Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ariel Heryanto
PENGERTIAN ”warga negara” di republik ini telah dirombak lebih cantik di ruang parlemen dan ki-tab undang-undang. Diskriminasi berpuluh tahun oleh nega-ra terhadap dua jenis warga negara kelas dua telah dipotong, walau belum tuntas. Dua ke-lompok tersebut adalah minoritas etnik Tionghoa dan kaum -pe-rempuan.
Salut dan terima kasih layak disampaikan kepada para wakil rakyat yang bekerja keras. Terlebih lagi kepada berbagai kelompok dari dua jenis warga kelas dua yang telah membuka mata dan hati para wakil rakyat itu lewat jerih payah bertahun-tahun sebelumnya. Ini sebuah tahap—bukan akhir—yang bagus untuk menempatkan semua warga negara berkedudukan setara di muka hukum.
Pekerjaan kita yang berikut berada di luar gedung parlemen, yakni menjabarkan undang-undang itu menjadi norma, nilai, kebiasaan, kebiasaan berbahasa, dan sopan-santun sehari-hari. Ini jauh lebih sulit ketimbang mengesahkan undang-undang yang oleh sebagian perumusnya dibanggakan sebagai ”revolusioner”.
Di banyak kalangan orang Indonesia istilah ”WNI” telanjur diartikan ”warga etnik Tionghoa”. Tadinya istilah itu sangat panjang dan berbunyi ”WNI Keturunan Tionghoa” (atau tepatnya ”Cina” menurut fakta sejarahnya). Lalu diperpendek menjadi ”WNI keturunan”. Dalam percakap-an lisan, ”WNI keturunan” dirasa berkepanjangan, lalu di-singkat jadi ”WNI” saja.
Ada dua alasan lain mengapa kebiasaan mengartikan ”WNI” sebagai minoritas etnis Tionghoa itu selayaknya tidak dianggap sepele. Pertama, kebiasaan itu tidak tumbuh secara spontan, tapi bersumber dan dirawat oleh kebijakan diskriminatif yang resmi gila-gilaan oleh rezim Orde Baru.
Kedua, menyebut kaum ”nonpribumi” sebagai ”WNI” secara tidak sadar mengungkapkan sebuah pengertian lain yang meluas di masyarakat kita, yakni mayoritas orang Indonesia bukanlah sesama ”warga negara”. Ini kedengaran aneh.
Tampaknya logikanya begini. Bagi khalayak Indonesia, kewarganegaraan merupakan sesuatu yang ”tidak alamiah”, sebuah status hukum yang hanya ada kalau dibikin, dalam hal ini oleh sebuah badan hukum yang mempunyai wewenang monopolistik dan mutlak, yakni negara.
Mayoritas ”rakyat” Indonesia merasa menjadi pemilik ”Indonesia” bukan karena suatu hasil proses birokrasi hukum dan negara. Hak itu didapatkan sejak lahir sampai mati, secara biologis, keturunan, kebetulan alam, atau takdir Tuhan. Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Orde Baru: mereka itu ”pribumi”. Mereka adalah orang Indonesia ”asli”.
Ini menyangkut perkara yang lebih besar, yakni apa itu ”bangsa-negara”? Kaum pejuang nasionalis Indonesia yang awal, punya wawasan sama dengan kaum akademisi- mutakhir yang mempelajari sejarah dan politik berdirinya- bang-sa-bangsa di dunia. Menurut mereka, bangkitnya ”bangsa-negara” bukan sebuah peristiwa alam atau takdir Ilahi, melainkan sebuah keputusan politik dan hukum yang sadar oleh sebagian kalangan terdidik, yang kemudian didukung khalayak umum. Bangsa dan negara hanya ada karena diadakan oleh sebuah proses dan birokrasi modern. Nasion dipahami sebagai sebuah proyek besar yang didukung secara bebas dan sukarela oleh orang dari berbagai warna kulit, jenis kelamin, atau keturunan, tapi bersepakat untuk menjadi sederajat.
Dalam pemahaman seperti itu tidak ada warga negara yang bisa ”asli”, seperti halnya tidak ada bangsa yang ”asli”. Semuanya merupakan hasil ”bikinan”, ”rekaan”, ”rekayasa” yang cemerlang. Maka, status kewarganegaraan setiap orang bisa saja bersifat sementara (bukan takdir yang mutlak dan fatal), bisa sewaktu-waktu dipilih, ganda, diganti, atau diminta.
Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru telah me-rom-bak pengertian warga negara dan memasukkan semua kaum minoritas berbagai etnis sebagai ”orang Indonesia asli”. Niatnya terpuji: menciptakan kesetaraan, keadilan, dan persaudaraan. Sebagian perumusnya mengaku melakukan dekolonialisasi hukum Indonesia. Sayang, bahasa yang dipakai untuk niat baik ini agak rancu, kedaluwarsa, dan kelewat kolonial.
”Indonesia asli” merupakan sebuah istilah yang bertentangan dengan dirinya sendiri, seperti ungkapan ”bayi tua-renta”, ”kuyup kering”, atau ”ledakan sunyi”. Kalau sesuatu disebut Indonesia, ia tidak mungkin asli; kalau asli tidak mungkin Indonesia.
Akan lebih tepat bila niat baik itu dipahami dan dirumuskan sebaliknya: kita setara karena sama-sama tidak asli Indonesia. Dalam wawasan kebangsaan modern, kita semua sama-sama nonpribumi, migran, alias hoakiao. Bangsa-ne-ga-ra yang paling awal menerima dan menyadari hal ini, tanpa sesal, tapi bangga, telah menjadi berjaya: seperti Kanada, Amerika Serikat, Australia, dan Singapura.
Baik secara material maupun historis, berbagai bangsa-negara di dunia selalu mengandaikan percampuran, gado-gado, kemajemukan etnis, tradisi, agama, bahasa. Juga Indonesia, seperti yang digambarkan dengan lihai oleh Pra-moedya A. Toer dalam tetraloginya.
Baik istilah ”Republik” maupun ”Indonesia” diambil dari bahasa Eropa. Ketiga perkara yang disebut dalam Soempah Pemoeda 1928 semuanya produk kolonial Belanda. Soempah Pemoeda itu sendiri lahir dari sebuah kongres yang membahas sejumlah makalah berbahasa Belanda. Busana sehari-hari kita, musik yang kita dengar, film yang kita tonton ”tidak asli Indonesia”. Makanan dan minuman yang masuk dalam darah daging tubuh Indonesia berasal dari mana-mana: gudeg, bakso, capjay, martabak, pizza, tempura, jamu, cappuccino. Bagaimana bisa dikatakan seseorang berdarah ini atau itu sambil menyebut sebuah etnik tunggal?
Etnisitas tidak pernah diturunkan secara biologis, apalagi dialirkan dalam darah. Maka etnisitas tidak pernah menjadi urusan para dokter atau biologi. Etnisitas merupa-kan sebuah cap politik yang diciptakan para pejabat negara de-ngan dukungan sejumlah sarjana untuk memilah-milah warga dan mengesahkan pembagian hak dan rezeki secara tidak merata.
Di zaman pascamodern seperti ini tidak ada lagi komunitas yang ”asli” dalam pengertian lahir, tumbuh, dan mati di sebuah lokasi yang terisolasi total dari pengaruh luar. Makhluk pribumi dan asli mungkin hanya tersisa sebagai fiksi, misalnya dinosaurus di taman jurasik.
Maka, sungguh membingungkan—bahkan agak meren-dah-kan—kalau sekarang ada yang meng-asli-kan warga nega-ra. Betapa jauh ketinggalan dari generasi 1930-an. Le-bih membingungkan lagi bila undang-undang seperti itu di-bilang revolusioner.
Tahun 1930-an, ketika bangsa-negara Indonesia masih berupa angan-angan, Sutan Takdir Alisjahbana dengan jernih menegaskan bahwa Indonesia bukanlah sambungan ataupun penjumlahan Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, dan seterusnya. Indonesia merupakan sebuah proyek meng-adakan sosok modern yang dirumuskan dalam sebuah cara berpikir yang bersumber dari Eropa. Gagasan lintas-etnis itu jelas ”revolusioner”. Ini bertolak belakang dengan masyarakat etnik yang terjajah maupun gagasan lain dari Ero-pa yang dikembangbiakkan pemerintah penjajah Belanda dengan memilah-milah warga jajahan berdasarkan keturunan: ”asli” atau ”pribumi”, ”asing Timur” dan ”Eropah”.
Gagasan seperti yang diajukan Alisjahbana mulai dikacaukan oleh mitos yang dipropagandakan Soekarno tentang Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun. Seakan-akan Indonesia sudah ada sebelum abad ke-20. Padahal, yang dijajah ratusan tahun oleh Belanda cuma Jawa. Selama pemerintahan militeristis Orde Baru mitos tentang Indonesia sebagai ”warisan turun-temurun dari leluhur adiluhung” dikampanyekan besar-besaran. Bekasnya masih tersisa di benak sebagian dari kita yang pernah dicuci-otak Orde Baru lewat sekolahan dan media massa.
Benedict Anderson dikenal terutama karena teorinya tentang asal-usul kebangkitan bangsa-bangsa di dunia. Menurut dia, gerakan kebangsaan sering dirintis kaum perantau. Tidak kebetulan, katanya, yang pertama kali secara eksplisit menyatakan diri sebagai organisasi kebangsaan Indonesia adalah Perhimpoenan Indonesia yang didirikan pada 1922 di tanah pengasingan, yakni Rotterdam.
Satu-satunya pemegang gelar ”Bapak Bangsa” Republik Tiongkok adalah Sun Yat-sen, seorang perantau alias hoakiao dari Hawaii. Jose Rizal dinobatkan oleh bangsa Filipi-na sebagai ”Bapak Bangsa” dan ”Filipino pertama”. Bukan saja nama Rizal yang kedengaran Eropa. Patung Rizal di taman Luneta (Manila) yang dikeramatkan sebagai monumen nasional menampilkan tokoh nasional ini memegang dua buku novel karyanya yang paling tenar, Noli Me Tangere dan Filibusterismo. Menurut Vincente Rafael, bekas mahasiswa Anderson, kedua novel itu ditulis Rizal sewaktu merantau dan belajar di Eropa. Sebagian besar dari novel pertama ditulis di Paris, kemudian dicetak di Berlin pada 1887. Novel yang kedua ditulis di London, Paris, Brussel, sebelum diterbitkan di sebuah kota Belgia bernama Ghent pada 1891. Orang Fili-pina nyaris tidak pernah membaca novel-novel ini dalam bahasa aslinya, bahasa Spanyol.
Atas nama ”nasionalisme”, berbagai kekuatan antimo-dern dan kontrarevolusioner sibuk menyusun berbagai siasat memurnikan ras, adat-istiadat, kebudayaan, bahasa, dan etnisitas. Hasilnya bukan hanya rasialisme dan fasisme, tapi juga serangkaian penindasan terhadap seksualitas dan pernikahan warga negara perempuan. Pernikahan mereka de-ngan pria asing dianggap menjadi ancaman keaslian, identitas, dan martabat bangsa. Sejak itu timbullah warga negara kelas dua yang bisa disebut WNI Keturunan Perempuan. Nasib mereka tidak lebih baik dari ”WNI keturunan” yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo