Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tingginya angka penyiksaan dan kematian buruh migran cermin ketidakberdayaan negara melindungi warganya.
Salah satu indikator lemahnya upaya pemerintah terlihat dari minimnya pengawasan terhadap penyalur jasa tenaga kerja.
Pemerintah kedua negara harus memastikan adanya tindakan hukum terhadap para pelaku penyiksaan.
JAKARTA – Temuan Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) perihal buruknya kondisi buruh migran Indonesia yang telantar di rumah tahanan imigrasi di Sabah, Malaysia, dinilai merupakan masalah lawas yang tak terselesaikan dan berulang. Tingginya angka penyiksaan dan kematian buruh migran merupakan bukti ketidakberdayaan negara melindungi warganya.
Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Zainal Arifin, menilai pemerintah tak serius melindungi buruh migran, meski telah meratifikasi konvensi internasional perlindungan hak-hak pekerja migran serta anggota keluarganya. Konvensi itu kemudian disahkan melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012. “Lemahnya pengawasan dan perlindungan sejak sebelum keberangkatan hingga sampai di negara tujuan menjadikan persoalan buruh migran seperti lingkaran setan dan berulang," ujar Zainal saat dihubungi, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menjelaskan, salah satu indikator lemahnya upaya pemerintah terlihat dari minimnya pengawasan terhadap penyalur jasa tenaga kerja. Hal ini kerap membuat calon buruh migran rentan mendapat masalah, dari hal sepele soal administrasi hingga yang serius. Di sisi lain, ketika terjadi masalah di negara tempat buruh migran bekerja, negara asal juga kerap tak membantu memberi perlindungan. “Pemerintah harus menata dan mengawasi buruh migran dari hulu sampai hilir,” ujarnya.
Dia juga mengatakan pemerintah mesti mengevaluasi akar persoalan migrasi buruh yang membuat mereka mengadu nasib di negara lain. Faktor kemiskinan, keterbatasan akses masyarakat terhadap sumber daya alam, serta ketimpangan penguasaan tanah kerap menjadi alasan utama.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan temuan Koalisi Buruh juga menunjukkan betapa lemahnya penghormatan hak asasi manusia oleh dua otoritas, baik Indonesia maupun Malaysia. Hal ini, menurut Usman, karena buruh migran masih cenderung dianggap mesin, bukan manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Dia menegaskan, kedua negara gagal mengambil langkah-langkah untuk melindungi manusia, tanpa membedakan latar belakang kebangsaan dan profesi kerjanya. “Keduanya juga gagal mencegah berbagai pelanggaran hak asasi, termasuk kerja paksa, penyiksaan, dan perlakuan lain yang merendahkan martabat manusia," kata Usman, kemarin.
Usman mengatakan, untuk penyelesaian jangka pendek, pemerintah kedua negara harus memastikan adanya tindakan hukum terhadap para pelaku penyiksaan dan perlakuan lain yang membuat para pekerja migran tewas. Sedangkan dalam jangka panjang, pemerintah Indonesia dan Malaysia harus merombak sistem penahanan imigrasi serta menghapus sistem pemenjaraan yang tidak manusiawi.
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, mengatakan masalah penahanan buruh migran selalu dimulai karena status mereka yang dianggap tak berdokumen. Kasus ini banyak ditemukan khususnya di industri sawit yang kini menanjak pamornya. Ketidakjelasan status ini dibiarkan pemerintah kedua negara karena dianggap lebih menguntungkan secara ekonomi.
Menurut Anam, posisi buruh migran seperti itu tidak punya daya tawar. Mereka selalu dalam posisi lemah. “Dalam berbagai konteks, ini perbudakan modern. Itu tak terbantahkan. Dari dulu begitu," ujar dia.
Seharusnya, kata dia, perusahaan juga turut bertanggung jawab agar lebih memperhatikan para pekerjanya. Dalam industri sawit, kata Anam, perusahaan harus ikut bertanggung jawab memastikan bahwa komoditas yang dihasilkan bukan dari pola relasi kerja yang dilakukan secara tak adil.
Pekerja migran Indonesia bekerja di perkebunan kelapa sawit di Selangor, Malaysia, 10 Juni 2022. REUTERS/Hasnoor Hussain
Anam mengatakan akan menindaklanjuti temuan KBMB ini ke Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan lembaga terkait lainnya. Komnas mendesak agar temuan kasus ini segera diusut. Ia pun mendorong supaya persoalan ini menjadi perhatian internasional karena ada yang bisa diselesaikan lewat yurisdiksi universal.
"Buruh migran berstatus warga negara Indonesia, tapi di Malaysia tak diterima. Balik ke Indonesia, tak pernah tinggal di Indonesia juga. Mereka bahkan belum pernah menginjakkan kaki di Indonesia. Disebut stateless, tapi tidak stateless formal juga," ujar Anam.
Menanggapi hal tersebut, Kepala BP2MI, Benny Rhamdani, mengatakan kasus ini sejatinya menjadi tanggung jawab Konsulat Jenderal RI. Dia mengatakan lembaganya hanya terkait dengan informasi data. “Kalau pekerja migran Indonesia terhambat saat tiba melalui pintu masuk mana pun, barulah itu ditangani BP2MI,” ujar Benny.
Persoalan adanya buruh migran yang mendapat perlakuan tidak manusiawi, kata dia, sudah lama disampaikan lembaganya. Dengan kondisi ini, Benny mengajak semua kalangan untuk menyelesaikan secara bersama-sama. “Bagaimana mencegah terjadinya penempatan pekerja migran ilegal. Ini menjadi komitmen semua lembaga,” ujar dia. Selain itu, kata Benny, semua lembaga harus turut membantu melakukan edukasi di daerah-daerah kantong pekerja migran.
EGI ADYATAMA | AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo