Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Maskapai penerbangan nasional berada di ujung tanduk lantaran jumlah penumpang tak kunjung bertumbuh meski pemerintah sudah melonggarkan aturan bepergian di masa transisi tatanan normal baru.
Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero), Irfan Setiaputra, mengatakan tak bisa lagi mengandalkan penerbangan domestik, terutama penerbangan antarwilayah di Pulau Jawa.
Meski potensi pasarnya besar, kata Irfan, bisnis penerbangan jarak dekat anjlok karena ada syarat dokumen kesehatan yang harus dipenuhi penumpang
JAKARTA – Maskapai penerbangan nasional berada di ujung tanduk lantaran jumlah penumpang tak kunjung bertumbuh meski pemerintah sudah melonggarkan aturan bepergian di masa transisi normal baru. Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero), Irfan Setiaputra, mengatakan pihaknya tak bisa lagi mengandalkan penerbangan domestik, terutama penerbangan antarwilayah di Pulau Jawa. “Calon penumpang memilih naik mobil atau kendaraan lain, ini tantangan bagi kami,” kata dia kepada Tempo, akhir pekan lalu.
Menurut Irfan, Garuda berupaya menggenjot jumlah penumpang pada rute penerbangan antarpulau, seperti dari Jawa ke Sulawesi, ke Kalimantan, ataupun ke Sumatera. “Frekuensi penerbangan naik tapi tak signifikan, hanya 16 persen,” kata dia. “Trayek yang biasanya ramai, seperti ke Denpasar, kini sepi.”
Meski potensi pasarnya besar, kata Irfan, bisnis penerbangan jarak dekat anjlok karena ada syarat dokumen kesehatan yang harus dipenuhi penumpang. Pada akhir Juni lalu, pemerintah memperpanjang masa berlaku surat bebas Covid-19 menjadi 14 hari, dari awalnya 7 hari untuk tes polymerase chain reaction (PCR) dan 3 hari untuk rapid test. Irfan menyebut aturan ini tidak sinkron dengan kebijakan pemerintah daerah. “Ada daerah yang minta harus PCR. Itu mempersulit,” kata dia. “Akibat simpang siur komunikasi, calon penumpang berpikir ulang dan akhirnya menunda perjalanan.”
Irfan mengungkapkan bahwa pendapatan Garuda turun hingga 90 persen. Penyebab terbesarnya adalah kehilangan momentum libur peak season pada Idul Fitri karena larangan mudik hingga lenyapnya pendapatan dari penerbangan haji dan umrah. Sekitar 70 persen pesawat yang dioperasikam Garuda terpaksa dikandangkan.
Dalam laporan keuangan, Garuda mencatatkan penurunan pendapatan dari US$ 1,099 miliar pada Januari-Maret 2019 menjadi US$ 768,1 juta pada Januari-Maret 2020. Kinerja keuangan Garuda pun berubah drastis, dari mencetak profit US$ 61,6 juta pada Januari-Maret 2019 menjadi rugi US$ 147,17 juta.
Kondisi serupa menimpa Lion Air. Presiden Direktur Lion Air, Edward Sirait, mengatakan frekuensi penerbangan pada tiga maskapai dalam grup usahanya hanya 25 persen dari kapasitas normal. Lion Grup pun sempat beberapa kali membekukan operasi karena kesulitan mengerek jumlah penumpang. Kondisi ini terjadi pada 27-31 Mei dan awal bulan lalu. “Aturan tambahan sebelum flight itu menimbulkan beban, apalagi jika tes semakin mahal,” kata dia.
Menurut Edward, tak ada asumsi sampai kapan bisa bertahan, “Karena ini soal psikologis penumpang,” ujar dia. Dia berharap pemerintah bisa merealisasi insentif untuk menjaga kinerja maskapai penerbangan.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Novie Riyanto, mengatakan pihaknya sudah menerbitkan berbagai stimulus, dari pelonggaran batas keterisian (okupansi) pesawat hingga 70 persen, perpanjangan layanan lisensi personel perawatan pesawat, stimulus pajak penghasilan (Pph) pasal 21, 23, dan 25, serta pelonggaran setoran penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Namun dia mengakui operator masih menunggu sejumlah insentif lain, seperti diskon biaya parkir pesawat yang tak beroperasi.
Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carriers Indonesia (INACA), Bayu Sutanto, memperkirakan maskapai hanya sanggup bertahan hingga September jika jumlah penumpang tak bertambah. “Ini terjadi jika keterisian hanya 10-15 persen dari kapasitas,” ujar dia.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia bidang transportasi, Alvin Lie, mengatakan selain permintaan yang belum pulih, maskapai nasional tak bisa mengandalkan rute asing hingga tahun depan akibat pembatasan mobilitas di beberapa negara. “Pesawat wide body seperti Airbus-330 dan Boeing-747 tak lagi bermanfaat karena sulit cari penumpang dalam jumlah besar,” ucap dia.
FRANSISCA CHRISTY | CAESAR AKBAR | YOHANES PASKALIS
Maskapai Penerbangan Sekarat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo