Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surat-surat yang bertarikh 1903-1975 itu sebagian besar ditulis dalam bahasa Belanda. Sebanyak 25 surat dari tokoh nasional—Sukarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Ki Hadjar Dewantara, Agus Salim, Kartini, dan John Lie—yang dipamerkan merupakan hasil penelusuran dan kurasi dari puluhan surat yang terserak di pelbagai tempat.
Kurator utama pameran ”Surat Pendiri Bangsa”, Bonnie Triyana, mengatakan tim kurator tidak menemui kesulitan berarti dalam pengumpulan surat-surat itu. Sebagai sejarawan, ketika melakukan suatu penelitian, ia kerap menemukan surat yang ditulis oleh beberapa tokoh, seperti Sukarno dan Hatta. Surat Sukarno pernah ia jumpai di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta. Sedangkan surat Hatta pernah ia lihat di Internationaal Instituut voor Sociale Geschiedenis, Belanda. ”Jadi saya sudah tahu surat-surat itu ada di mana,” kata Bonnie di kantornya di Tanah Abang, Jakarta, Rabu dua pekan lalu.
Bonnie Triyana -Dok. TEMPO/Franoto
Karena itu, hal yang pertama kali dilakukan tim kurator adalah memetakan keberadaan surat-surat tersebut. ”Kami memulai bukan dari tokohnya, tapi ada atau tidaknya arsip dari surat-surat itu,” ujarnya. Lewat pemetaan tersebut, tim kurator kembali menemukan surat Hatta yang disimpan oleh anak keduanya, Gemala Hatta. Mereka pun mendapatkan surat-surat Tan Malaka dari Harry Poeze, sejarawan Belanda yang selama sekitar setengah abad meneliti pahlawan nasional asal Sumatera Barat itu.
Setelah itu, tim kurator menelusuri keberadaan surat-surat Sjahrir. Menurut salah satu anggota keluarga Sjahrir, surat-surat Perdana Menteri Indonesia yang pertama itu berada di tangan anak adiknya, Sutan Sjahsam, yang menikah dengan mantan istri Sjahrir yang pertama, Maria Duchateau. Sayangnya, keponakan Sjahrir itu tinggal di Amerika Serikat. Beruntung, Bonnie bertemu dengan Kees Snoek, sejarawan Belanda yang mengajar di Université Paris-Sorbonne, Prancis. ”Kees Snoek memberikan surat-surat Sjahrir kepada saya,” ucap Bonnie.
Adapun surat-surat lain ditemukan dari berbagai tempat. Surat Sukarno yang merupakan salinan dari surat yang ada di Museum Sonobudoyo dan surat Agus Salim ada di kantor Arsip Nasional Republik Indonesia. Surat Ki Hadjar Dewantara ada di Museum Tamansiswa, Yogyakarta. Sedangkan surat Kartini berada di kantor arsip nasional Belanda dan surat John Lie di Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, Banten. Tim kurator juga menemukan surat lain, tapi merupakan ketikan dari surat asli. ”Jadi yang dipamerkan mesti ditulis tangan sendiri atau diketik tapi ada tanda tangannya sendiri.”
Setelah surat-surat itu berada di tangan, tim kurator melakukan verifikasi atas keaslian dari surat-surat tersebut. Mereka menemui keluarga dari para tokoh yang suratnya akan dipamerkan itu untuk mengecek kebenaran surat-surat tersebut. Bonnie mencontohkan, saat mengecek surat Sjahrir yang ditujukan kepada tiga keponakannya, Tati, Akkie, dan Hedda, tim kurator menanyakan ketiga nama itu kepada anak Sjahrir. ”Ternyata memang benar ketiga nama itu adalah keponakan Sjahrir. Ini juga kami lakukan terhadap arsip yang lain,” ujar Bonnie.
Jika surat dari seorang tokoh sudah terverifikasi, tim kurator akan memeriksa isi surat tersebut. Menurut Bonnie, surat yang akan dipamerkan mesti menampilkan sisi humanis tokoh-tokoh itu, seperti surat Sukarno kepada sahabatnya, surat Hatta kepada anaknya, surat Sjahrir kepada keponakannya, dan surat John Lie kepada istrinya. ”Dengan cara ini, masyarakat bisa melihat sisi manusiawi dari orang-orang yang disebut pahlawan ini. Bayangkan, seorang Sukarno mengatakan bahwa dirinya sendiri malas,” katanya.
Pameran yang digelar dalam rangka Hari Pahlawan ini juga menampilkan sosok John Lie, representasi keturunan Tionghoa, dan Kartini, representasi perempuan. ”Pameran ini ingin memperlihatkan bahwa semua orang punya peran, baik yang mayoritas maupun yang minoritas,” ucap Bonnie.
ANGELINA ANJAR SAWITRI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo