Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Memberangus Pegawai yang Berseberangan dengan Pimpinan

Firli Bahuri diduga menyingkirkan pegawai KPK, yang sebagian dicapnya sebagai Taliban, secara rapi dan terencana.

6 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Firli Bahuri diduga sudah memetakan penyidik tengah menangani kasus korupsi kakap dan kerap mengkritik kepemimpinannya.

  • Sebagian pegawai yang dipetakan itu lalu dicap sebagai Taliban.

  • BNPT membenarkan adanya penelusuran identitas pribadi pegawai KPK.

JAKARTA – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri diduga kuat sejak awal telah merancang cara untuk menyingkirkan pegawai lembaganya. Rencana itu mencuat jauh sebelum komisi antikorupsi bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk menggelar tes wawasan kebangsaan bagi pegawai KPK

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolaborasi liputan berbagai media yang tergabung dalam Indonesialeaks–Koran Tempo menjadi bagian konsorsium liputan itu—mengungkap upaya Firli menyingkirkan pegawainya lewat skenario pemetaan. Skenario itu tersusun rapi dan terencana, dimulai dengan memetakan penyidik dan penyelidik yang menangani kasus korupsi kakap, pegawai yang kritis terhadap pimpinan, hingga pegawai yang mengusut dugaan pelanggaran etik Firli ketika menjabat Deputi Penindakan KPK. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala Satuan Tugas Penyelidikan KPK, Harun Al Rasyid, dan staf Pengaduan Masyarakat KPK, Farid Andhika, mendengar langsung adanya pemetaan pegawai itu dari Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. 

Harun mengatakan awalnya Ghufron bertemu dengannya di masjid KPK pada November tahun lalu, sebelum tes wawasan kebangsaan. Lalu Ghufron menginformasikan bahwa Harun masuk nama yang akan dicungkil dari KPK. Ghufron juga menyebutkan nama lain yang masuk daftar. “Orang-orang ini sudah masuk list,” kata Harun, mengutip ucapan Ghufron, beberapa hari lalu. 

Harun mengetahui bahwa ada 21 koleganya yang masuk daftar. Mereka adalah penyidik, penyelidik, serta pengurus Wadah Pegawai KPK. Yang diketahui oleh Harun, Ghufron memperoleh daftar itu dari Firli Bahuri. 

Farid mengiyakan penjelasan Harun. Farid mengetahuinya karena ia kebetulan bersama Harun ketika bertemu dengan Ghufron di masjid KPK. “Saya ingat jumlahnya karena menyamakan dengan bioskop 21,” kata Farid. 

Cerita serupa disampaikan Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango kepada Harun, dua pekan setelah pertemuan dengan Ghufron. Bahkan Nawawi berdalih bahwa dirinya tak mampu memperjuangkan Harun dan kawan-kawan agar tak masuk daftar. “Kemampuan saya cuma segini” kata Harun, mengutip ucapan Nawawi. 

Saat itu Harun dan Farid tidak mempercayai sepenuhnya informasi dari Ghufron dan Nawawi. Keduanya tersentak ketika mereka mendapat informasi bahwa ada 75 pegawai tak lolos tes wawasan kebangsaan, akhir April lalu. Kemudian pegawai-pegawai itu akan segera dipecat. 

Selain pemetaan, ada upaya memberi stigma negatif kepada sekelompok pegawai dan penyidik di KPK. Mereka dicap sebagai "Taliban", merujuk pada kelompok yang berpandangan keras dalam menjalankan agama Islam.

Dua penyidik dan penyelidik senior KPK menginformasikan bahwa cap Taliban sesungguhnya dimunculkan sejak 2019. Saat itu, pegawai KPK ramai memprotes revisi Undang-Undang KPK serta seleksi calon pimpinan KPK yang bermasalah. Sejak itu, cap Taliban kerap dialamatkan kepada sekelompok pegawai KPK. 

Cap Taliban juga terlontar dalam rapat pimpinan KPK di lantai 15 gedung KPK pada 5 Januari lalu. Dua pejabat KPK yang mengetahui rapat itu mengatakan Firli mengundang mereka untuk membahas draf peraturan KPK tentang alih status pegawai yang tengah dirampungkan oleh Biro Hukum KPK.

Kala itu, Firli mengusulkan agar pasal tentang tes wawasan kebangsaan disusupkan dalam persyaratan alih status pegawainya menjadi aparat sipil negara. Alasannya, tes wawasan kebangsaan dibutuhkan karena banyak pegawai KPK yang masuk kategori Taliban. “Ia bilang, 'Kalian lupa? Di sini dulu banyak Taliban',” kata sumber Indonesialeaks yang menirukan ucapan Firli. 

Namun beberapa sumber di KPK menyebutkan bahwa label Taliban hanyalah kamuflase untuk menyingkirkan pegawai yang sudah masuk daftar pemetaan. Cap Taliban kemudian terbantahkan dengan daftar 75 pegawai yang tak lolos tes wawasan kebangsaan. Mereka berasal dari berbagai latar belakang agama, seperti Islam, Kristen, Katolik, dan Buddha.  

Ketua KPK, Firli Bahuri, memberikan keterangan kepada awak media terkait pelantikan pegawai kpk menjadi Pegawai Negeri Sipil, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 1 Juni 2021. TEMPO/Imam Sukamto

Tes wawasan kebangsaan merupakan syarat alih status pegawai KPK menjadi aparat sipil negara yang diatur lewat Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengalihan Status Pegawai KPK Menjadi Aparatur Sipil Negara. Peraturan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang KPK–revisi kedua undang-undang ini yang dianggap melemahkan lembaga antirasuah. 

Hasil rapat antara KPK, BKN, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia kemudian memutuskan 51 dari 75 pegawai yang tak lulus tes wawasan kebangsaan akan dipecat. Mereka diklaim mendapat nilai merah dalam urusan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintahan yang sah. 

Ketika dimintai konfirmasi, Firli mengatakan dirinya tak berkepentingan membuat daftar nama-nama pegawai yang masuk “kotak” itu. Namun ia tak membantah kebenaran informasi tersebut. “Ya, silakan. Itu informasi Anda,” katanya saat dimintai konfirmasi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, seusai rapat dengar pendapat dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis, 3 Juni lalu. 

Mantan Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan itu menjawab diplomatis ketika dimintai konfirmasi ulang mengenai daftar nama-nama pegawai KPK yang sudah dibuatnya jauh sebelum tes wawasan kebangsaan. “Tidak ada kaitannya. Orang lolos dan tidak lolos karena dia sendiri,” katanya. 

Mendekati waktu tes wawasan kebangsaan, pemetaan juga berlanjut pada penelusuran identitas pribadi atau profiling setiap pegawai KPK. Penelusuran itu disebut-sebut melibatkan Badan Intelijen Negara.

Indikasi keterlibatan lembaga intelijen itu dikuatkan dengan adanya beberapa orang yang mendatangi kediaman Afif Julian Miftah di Bekasi, Jawa Barat, sebelum ujian wawasan kebangsaan. Afif adalah penyidik senior KPK yang juga dinyatakan tak lolos tes wawasan kebangsaan. Hasil penelusuran pegawai KPK menemukan nama-nama dan mobil yang digunakan orang yang menguntit Afif mengarah ke lembaga telik sandi tersebut.  

Ketika dimintai konfirmasi, Afif mengatakan tidak tahu persis siapa orang-orang yang mengawasi rumahnya itu. Boleh jadi, menurut Afif, orang tersebut bermaksud menerornya karena dirinya tengah menangani kasus dugaan suap pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Angin Prayitno Aji. Dugaan lain, kedatangan mereka hendak menggali identitas pribadinya berkaitan dengan tes wawasan kebangsaan. “Saya tidak tahu pastinya,” kata Afif. 

Sewaktu menjalani tes, Afif diwawancarai oleh dua anggota tim asesor. Keduanya bertanya seputar sikap Afif tentang pendiri Front Pembela Islam Rizieq Syihab, konflik di Papua, hingga otonomi khusus di Aceh. “Menurut saya, pertanyaannya normatif dan saya sudah menjawab semuanya,” katanya. 

Proses wawancara dengan Afif berlangsung sekitar satu jam. Afif merasa semua jawabannya tak bermasalah dan tidak bertentangan dengan Pancasila ataupun UUD 1945. Namun ia kaget ketika dinyatakan tak lolos tes. 

Pegawai KPK lainnya, seperti Tri Artining Putri, Benydictus Sumlala Marin Sumarno, dan Harun Al Rasyid, juga menduga kuat profil mereka sudah ditelusuri sejak awal. Dugaan itu menguat ketika mereka mendapat pertanyaan dari pewawancara tes wawasan kebangsaan. “Kami sejak awal sudah seperti diperlakukan seperti teroris,” kata Benydictus. 

Kepala BKN, Bima Haria Wibisana, tidak merespons upaya permintaan konfirmasi lewat pesan WhatsApp. Saat dihubungi lewat telepon, ia mengangkat, lalu mematikannya. Deputi VII BIN, Wawan Hari Purwanto, juga belum membalas konfirmasi dari tim Indonesialeaks. 

Juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigadir Jenderal Eddy Hartono, mengakui lembaganya memang menelusuri rekam jejak pegawai KPK atas permintaan BKN. “Karena dari tim itu bersama-sama dengan BKN melakukan profiling dan wawancara, sesuai dengan pembagian dari BKN,” kata dia, Jumat, 4 Juni lalu. 

Eddy membantah jika dikatakan penelusuran itu berkaitan dengan cap Taliban terhadap pegawai KPK. Ia berdalih bahwa lembaganya terlibat dalam tes wawasan kebangsaan sesuai dengan fungsinya, yaitu merumuskan, melaksanakan, dan mengkoordinasikan penanggulangan terorisme. “Mungkin dalam konteks pencegahan itu kami masuk,” ujarnya. 

TIM INDONESIALEAKS

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus