Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Membuat Gawah Kembali Rimbun

Warga membantu pemulihan hutan yang gundul.

18 Desember 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pisang hasil panen dari hasil hutan bukan kayu (HHBK) di hutan kemasyarakatan di Desa Aik Berik, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sembari menikmati rinai hujan yang melebat, Marwi, 56 tahun, bercerita tentang bagaimana ia dan masyarakat Aik Berik di kaki Gunung Rinjani bertahan hidup. Tinggal dekat dengan sumber daya alam tak otomatis membuat masyarakat bisa hidup layak. "Lain kalau sekarang, mau makan durian tinggal pungut. Dulu mau makan apa saja susah," ujar Marwi sembari membelah durian yang baru saja jatuh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tempo datang ke Desa Aik Berik pada akhir November lalu. Tepat saat para petani Aik Berik menyambut musim panen durian, manggis, juga pisang. Di kebunnya, Marwi banyak menghabiskan waktu untuk mengelola petak tanah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marwi lahir dan besar di Aik Berik. Ia mengatakan, kawasan hutan di kaki Gunung Rinjani perlahan berubah akibat adanya perambahan dan pembalakan hutan. Upaya reboisasi tak menunjukkan hasil.

Sebelum mendapatkan hak kelola, warga sekitar hutan menjadi miskin karena tidak bisa masuk kawasan. Hal itu memicu hadirnya konflik. Karena tuntutan ekonomi dan kelangkaan lahan, penduduk tetap memandang gawahbahasa lokal untuk menyebut hutansebagai sumber kehidupan . Kemudian muncul gagasan bagaimana melibatkan warga untuk menjaga kelestarian hutan. Warga bersedia membantu pemulihan hutan, dengan syarat memperoleh hak pengelolaan hutan.

Maka, begitu izin keluar, warga Aik Berik menanam apa saja di kawasan hutan, termasuk pohon buah-buahan yang bermanfaat dan punya nilai konservasi. Ada pohon jati, raja mas, mahoni, sengon, manggis, pala, durian, sampai pisang. "Yang penting menutup kawasan dulu," cerita Marwi, yang juga Ketua Forum Masyarakat Kawasan Rinjani (FMKR), Lombok, tersebut.

Hadirnya hutan kemasyarakatan di kawasan Batukliang Utara dimulai seiring program reboisasi pada 1975. Saat itu penduduk masih dilibatkan dalam upaya reboisasi. Namun, tujuh tahun kemudian, fungsi hutan produksi berubah menjadi hutan lindung, diikuti penetapan sisi hutan kawasan utara menjadi Hutan Konservasi Taman Nasional Gunung Rinjani.

Perubahan fungsi secara tak langsung melarang masyarakat mengakses sumber daya dan lahan gawah. Akhirnya akses dan pemanfaatan hutan oleh penduduk dianggap ilegal.

Beberapa lembaga swadaya masyarakat, seperti YKSSI NTB, Konsepsi, Samanta, Transform, dan Koslata, lalu memfasilitasi kelompok masyarakat untuk mengupayakan hak pengelolaan hutan kemasyarakatan. Pada 2010 Bupati Lombok Tengah menerbitkan izin usaha pemanfaatan hutan kepada empat kelompok tani di Desa Lantan, Desa Aik Berik, Desa Setiling, dan Desa Karang Sidemen.

Lokasi hutan kemasyarakatan tersebut masuk ke otoritas Unit Pelaksana Teknis Pemangkuan Hutan Batukliang seluas 1.809,5 hektare.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus