Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA — PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk segera menerima pinjaman senilai Rp 8,5 triliun dari pemerintah. Dana ini akan dimanfaatkan untuk membantu operasi perusahaan setelah terhantam dampak pandemi Covid-19. Kementerian Keuangan menargetkan pencairan dana tersebut dapat terlaksana pada pekan ketiga November ini.
Selain menunggu payung hukum pemberian pinjaman, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, menyatakan pencairan dana khusus untuk Garuda dan Krakatau Steel juga membutuhkan persetujuan pemegang saham. "Karena Garuda merupakan perusahaan terbuka maka harus ada persetujuan rapat umum pemegang saham," katanya kepada Tempo, kemarin.
Pemerintah memberikan pinjaman kepada Garuda melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional. Dananya akan dicairkan melalui skema obligasi wajib konversi (OWK). Surat utang ini memiliki jangka waktu hingga tujuh tahun untuk dikonversi menjadi saham seri B.
Vice President Corporate Secretary Garuda Indonesia, Mitra Piranti, menyatakan dana dari penerbitan OWK akan dimanfaatkan sebagai modal kerja dan biaya operasional. "Namun tidak terbatas pada pemenuhan kewajiban kepada vendor atau mitra perseroan," ujarnya. Dana itu juga akan digunakan untuk layanan ground handling, sewa pesawat, penyediaan bahan bakar, perawatan, serta pelayanan pesawat dan bandara.
Komisaris Utama Garuda Indonesia, Triawan Munaf, menyatakan biaya sewa pesawat merupakan salah satu beban terberat perusahaan. Garuda saat ini membayar biaya sewa pesawat kepada lessor (perusahaan penyewaan pesawat) dengan nilai yang lebih tinggi dibanding maskapai penerbangan lain. Karena itu, ia mengimbuhkan, perseroan mulai melakukan negosiasi dengan pihak lessor.
Triawan mencontohkan, Garuda membayar sewa satu unit Boeing 777 sebesar US$ 1,6 juta per bulan. Padahal di pasar tarifnya hanya US$ 800 ribu per bulan. Pemangkasan biaya ini, menurut dia, merupakan penghematan terbesar yang bisa dilakukan perusahaan.
Namun efisiensi biaya operasional belum cukup membantu perusahaan. Merujuk pada laporan keuangan Garuda pada kuartal III, emiten berkode GIAA ini mencatat kerugian US$ 1,07 miliar. Tingginya beban membuat Garuda mempertimbangkan untuk menambah pinjaman baru. "Kami sudah sampaikan mungkin akan ada pengajuan baru lagi kepada Kementerian Keuangan," ujar Triawan.
Meski begitu, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menyatakan optimistis akan ada perbaikan kinerja pada akhir tahun nanti. Alasannya, Garuda mulai mencatat pertumbuhan penumpang sebesar 17,9 persen pada September 2020 dibanding bulan sebelumnya. Perusahaan memperoleh pendapatan sebesar US$ 1,13 miliar di kuartal III, naik dari perolehan kuartal sebelumnya yang sebesar US$ 917 juta.
Irfan mengatakan angkutan kargo pun tumbuh 40,11 persen pada periode tersebut. Terlebih, Garuda telah memperoleh bantuan pinjaman dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia untuk mengembangkan angkutan kargo. Pinjaman senilai Rp 1 triliun tersebut memiliki tenor satu tahun.
Garuda membuka sejumlah rute penerbangan khusus kargo dari wilayah penghasil komoditas ekspor unggulan nasional, seperti Manado-Narita dan Makassar-Singapura. Pada pekan lalu, Garuda baru membuka rute kargo Denpasar-Hong Kong.
Satu kali dalam sepekan armada Airbus A330-300 dengan kapasitas 3-40 ton akan mengangkut barang dari Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai. "Kontribusinya terhadap pendapatan belum besar, tapi kami dorong terus," ujarnya.
Melihat capaian tersebut, Irfan menyebutkan, upaya pemulihan kinerja perusahaan telah berjalan sesuai dengan rencana. "Kami optimistis kinerja perusahaan pada periode tiga bulan ke depan akan semakin positif, khususnya dengan adanya periode libur panjang akhir tahun," kata dia.
Anggota Ombudsman RI sekaligus pengamat penerbangan, Alvin Lie, mengungkapkan manajemen perlu membuktikan komitmen pembenahan kinerja perusahaan untuk menarik pendanaan tambahan maupun melakukan negosiasi pelunasan utang.
Penyelidikan dugaan suap dalam pengadaan CRJ1000 antara Garuda dan Bombardier oleh lembaga pemberantasan korupsi Inggris, Serious Fraud Office, dapat dijadikan momentum perbaikan.
"Direksi bisa menyampaikan ke kreditor bahwa kondisi keuangan sedang buruk karena salah perhitungan di masa lalu, dan misi saat ini adalah membenahi perusahaan," katanya. Jika dugaan suap tersebut terbukti, Garuda mengantongi landasan hukum untuk mengembalikan pesawat yang harga sewanya terlalu tinggi.
CAESAR AKBAR | FRANCISCA CHRISTY | YOHANES PASKALIS | VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo