Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Pemerintah didesak untuk menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) guna menangani penyakit gagal ginjal akut pada anak atau acute kidney injury (AKI). Desakan ini muncul karena jumlah penderita terus bertambah dan sebagian di antaranya meninggal. Dengan status KLB, diharapkan manajemen penanganan penyakit akan lebih baik. "Dalam status KLB, ada prosedur yang harus diikuti dan menjadi pedoman, antara lain pembentukan satgas, ada investigasi," kata epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, Sabtu lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dicky berpendapat, dalam kasus gagal ginjal ini, pemerintah telah gagal mengantisipasi jatuhnya korban. Karena itu, pemerintah perlu memperbaiki tata kelola dan sistem penanganan agar kasus tidak semakin fatal. "Kita kecolongan, mohon maaf,” katanya. “Tapi bukan berarti kegagalan itu kita biarkan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sebelumnya mengumumkan jumlah kasus gangguan ginjal akut di Indonesia menunjukkan peningkatan yang signifikan. Pada 18 Oktober 2022, jumlah penderita tercatat 206 anak. Tiga hari kemudian, angkanya bertambah menjadi 241 anak. Sedangkan kemarin tercatat sebanyak 245 anak dengan 141 di antaranya meninggal.
Seorang pedagang menunjukkan surat edaran larangan penjualan obat bebas dalam bentuk sirop di Pasar Pramuka, Jakarta, 21 Oktober 2022. ANTARA/Sulthony Hasanuddin
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menguji 102 obat sirop yang diduga menjadi pemicu terjadinya gagal ginjal akut pada anak. Hasilnya, ditemukan tiga produk mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang melebihi ambang batas aman. Ketiga produk itu termasuk dalam lima produk yang telah diumumkan oleh BPOM pada 20 Oktober 2022.
Walaupun demikian, hasil uji tersebut belum bisa menegaskan adanya keterkaitan antara penggunaan obat sirop dan penyakit gagal ginjal akut pada anak. Sebab, selain penggunaan obat, ada beberapa faktor risiko yang bisa menjadi penyebab, antara lain infeksi virus, bakteri leptospira, dan multisystem inflammatory syndrome in children (MIS-C) atau sindrom peradangan multisistem pasca-Covid-19.
Menurut Dicky, jika merujuk pada Pasal 6 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501 Tahun 2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan, kondisi saat ini sudah memenuhi syarat untuk penetapan status KLB. Sebanyak enam dari tujuh poin kriteria KLB dalam pasal enam itu sudah terpenuhi. Hanya, pada poin a, termaktub kriteria KLB, yaitu timbul suatu penyakit menular yang sebelumnya ada atau tidak dikenal pada suatu daerah.
Anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, berpendapat pemerintah perlu memahami kebijakan itu bukan sekadar tekstual, tapi juga filosofi kebijakan. "Supaya kita betul-betul melindungi segenap bangsa," ujarnya.
Dengan status KLB, masyarakat tidak perlu khawatir ihwal pembiayaan. Sebab, akan ada konsekuensi pembiayaan yang diambil perannya oleh pemerintah. Hermawan menilai, saat ini masyarakat juga dilanda berbagai kekhawatiran tentang penggunaan obat, ketersediaan obat yang berpotensi maldistribusi, hingga tercemarnya obat. Jadi, dibutuhkan pendekatan komprehensif menyeluruh, mendalam, dan sistematis dengan status KLB.
Fenomena gagal ginjal pada anak ini ini jarang sekali terjadi. Potensi eror sangat dimungkinkan terjadi sebagai penyebab munculnya kasus. "Bisa saja terjadi kecolongan pada rantai farmasi atau consumption karena penggunaan berlebihan,” kata Hermawan. “Bisa juga adanya interaksi dalam tumbuh individu karena adanya interaksi obat dan seterusnya."
Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, Netty Prasetiyani Aher, menilai kasus ini tidak bisa dipandang remeh, karena sudah lebih dari 100 anak meninggal. "Satu saja warga kita wafat, apalagi karena masalah yang meliputi kesehatan, maka sebetulnya ini menjadi kejadian yang luar biasa," ujar Netty.
Dia mendorong pemerintah mempertimbangkan status kejadian luar biasa dengan membentuk tim independen pencari fakta untuk mencari penyebab pasti gangguan ginjal akut pada anak di Indonesia. Untuk memahami permasalahan, DPR berencana memanggil Kementerian Kesehatan, BPOM, Ikatan Apoteker Indonesia, Ikatan Dokter Anak Indonesia, dan pihak lain yang berkaitan dengan penanganan kasus gangguan ginjal akut pada anak.
Juru bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, mengatakan definisi KLB ada dua. Pertama, kasus yang betul-betul baru atau yang belum pernah ada, seperti Covid-19. Kedua, kasus yang selama ini ada, contohnya demam berdarah, kemudian jumlah penderita meningkat dan banyak yang meninggal.
Kementerian Kesehatan akan membahas usulan masyarakat untuk menetapkan status KLB kasus gagal ginjal akut pada anak. "Yang penting saat ini bagaimana melakukan pencegahan jangan sampai bertambah banyak," ujar Syahril.
Petugas Dinas Kesehatan Kota Medan melakukan inspeksi mendadak soal larangan penjualan sejumlah obat sirop di sejumlah apotek di Jalan Setia Budi, Medan, Sumatera Utara, 21 Oktober 2022. ANTARA/Fransisco Carolio
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, menilai situasi gangguan ginjal akut pada anak sudah masuk kriteria kejadian luar biasa. Kendati gangguan ginjal akut pada anak bukanlah penyakit menular—yang lazimnya diberlakukan KLB, jumlah kasusnya telah meningkat dua kali lipat dari biasanya. “Dan sudah berlangsung tiga bulan berturut-turut,” kata Windhu. “Jika melihat peningkatan jumlah kasus ini, memang layak dipertimbangkan untuk mendeklarasikan status KLB.”
Walau begitu, Windhu menilai yang lebih penting dilakukan saat ini adalah aksi, bukan deklarasi. Dia menyerahkan urusan deklarasi kejadian luar biasa itu kepada Menteri Kesehatan dan instansi pemerintah lainnya. “Karena itu menyangkut mobilisasi anggaran dan resources lainnya,” kata Windhu yang turut dilibatkan dalam sejumlah pertemuan antara pemerintah, pakar kesehatan, dan organisasi profesi untuk membahas lonjakan kasus gangguan ginjal akut pada anak.
Dia menjelaskan, aksi terpenting saat ini adalah menangani lonjakan kasus gangguan ginjal akut pada anak dengan respons ala kejadian luar biasa, yang meliputi surveilans, penyelidikan epidemiologi, hingga studi epidemiologi. Windhu menilai, kendati kasus saat ini tidak atau belum dideklarasikan sebagai kejadian luar biasa, secara substantial beberapa waktu terakhir telah bertindak seperti dalam penanganan kejadian luar biasa.
Menurut Windhu, dalam pertemuan-pertemuan yang diikutinya, ada banyak masukan, saran, dan informasi saintifik yang disampaikan oleh berbagai ahli kepada pemerintah. Masukan yang paling utama adalah tentang upaya pencegahan sejak di hulu, yakni berupa tindakan aktif maupun pasif untuk menemukan kasus (case finding), hingga di hilir yang meliputi perawatan.
Adapun para epidmiolog juga telah menyampaikan data apa saja yang harus dilengkapi dalam penyelidikan dan studi epidemiologi. “Studi epidemiologi harus dilakukan guna mencari faktor risiko (penyebab dominan) dari gangguan ginjal akut pada anak ini,” kata Windhu. “Tanpa studi epidemiologi tersebut kita tidak akan bisa membuktikan apa penyebab utamanya, karena secara teoritik ada banyak faktor risiko.”
Faktor risiko gangguan ginjal akut pada anak yang dimaksud, kata Windhu, seperti intoksikasi atau keracunan senyawa tertentu, juga logam berat. Faktor lainnya bisa juga berupa dehidrasi berat, kehilahan darah yang massif (shock syndrome), medikasi, infeksi, sampai kelainan kongenital. Sementara ini, senyawa etilen glikol dan dietilen glikol menjadi hipotesis utama alias tersangka penyebabnya. “Tapi belum conclusive karena saat ini studi epidemiologi seperti yang kami usulkan itu sedang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan,” ujarnya.
Windhu berharap laporan interim hasil studi epidemiologi yang dilakukan melalui Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo—sebagai rumah sakit vertikal—tersebut bisa keluar akhir pekan depan. “Saat itu lah kita baru tahu apakah tersangka utama, bahwa etilen glikol dan dietilen glikol sebagai penyebabnya, benar atau tidak,” kata Windhu.
HENDARTYO HANGGI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo