Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan meneliti lebih dalam risiko pergerakan tanah yang dipaparkan BPBD.
Hujan ekstrem diprediksi menjadi pemicu pergerakan tanah di Jakarta.
Adapun pakar geodesi menyebutkan perbaikan sungai menjadi solusi jitu mencegah longsoran tanah.
JAKARTA – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menurunkan tim untuk meneliti temuan ancaman pergerakan tanah di sejumlah lokasi di Ibu Kota. Tim tersebut berasal dari dinas-dinas Pemprov DKI yang berkaitan dengan masalah pergerakan tanah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan ancaman pergerakan tanah merupakan masalah baru bagi Pemprov Jakarta. Walhasil, penelitian mendalam diperlukan untuk menyiapkan sikap dan langkah guna mengatasi risiko pergerakan tanah. “Memang belum ada buku panduan terkait dengan pergerakan tanah. Yang ada baru terkait dengan pengendalian banjir,” kata Riza, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemprov DKI juga telah memerintahkan camat dan lurah memantau lokasi. Selain itu, pemerintah provinsi berharap masyarakat ikut waspada dan berperan aktif dalam upaya mendeteksi bahaya pergerakan tanah. Intinya, Riza mengingatkan masyarakat Jakarta bahwa masalah Ibu Kota bukan sekadar banjir dan gempa.
Meski begitu, Riza mengatakan Pemprov DKI belum menyiapkan tempat pengungsian untuk mengantisipasi bencana pergerakan tanah. Menurut politikus Partai Gerindra itu, lokasi pengungsian bencana banjir yang sudah tersebar di sejumlah wilayah di Jakarta masih bisa digunakan.
Sebelumnya, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta memperingatkan ihwal potensi pergerakan tanah di 10 wilayah di Ibu Kota. Kepala Pusat Data dan Informasi Kebencanaan BPBD DKI, Moh. Insaf, menyebutkan 10 lokasi itu berada di Jakarta Selatan, meliputi Kecamatan Cilandak, Jagakarsa, Kebayoran Baru, Kebayoran Lama, Mampang Prapatan, Pancoran, Pasar Minggu, dan Pesanggrahan. Adapun dua lokasi sisanya berada di Kecamatan Kramat Jati dan Pasar Rebo di Jakarta Timur.
Pengendara melintasi jembatan Kali Ciliwung di Jagakarsa, Jakarta, 7 Maret 2021. TEMPO/ Hilman Fathurrahman W
Insaf mengatakan penentuan 10 titik rentan tersebut didasari hasil tumpang susun antara peta zona kerentanan gerakan tanah dan peta prakiraan curah hujan bulanan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). BPBD DKI memperolehnya dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Insaf menuturkan bakal terjadi pergerakan tanah apabila tingkat curah hujan di atas normal. Walhasil, risiko tanah bergerak rentan terjadi di daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan, ataupun lereng curam. “Pada zona menengah ini, pergerakan tanah dapat terjadi jika curah hujan di atas normal,” kata Insaf.
Untuk membantu Pemprov DKI, BPBD akan selalu memantau peringatan dini dari BMKG soal potensi curah hujan tinggi. Termasuk memantau informasi pergerakan tanah dari Kementerian ESDM. Harapannya, masyarakat bisa secepat mungkin mendapatkan informasi penting tentang risiko tanah. Salah satunya dengan menggunakan sarana layanan pesan pendek hingga media sosial.
Sementara itu, Kepala Laboratorium Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB), Heri Andreas, mengatakan agak salah kaprah jika Pemprov DKI Jakarta menyebutkan tanah bergerak sebagai risiko setelah hujan besar di sejumlah wilayah di Jakarta. Menurut Heri, secara keilmuan, tanah bergerak diartikan sebagai pergerakan tanah atau longsor karena topografi yang ekstrem. Salah satunya lanskap tanah yang berbeda ketinggian dan kemiringan. “Kalau karena air sungai, lebih tepatnya disebut gerusan air sungai,” kata Heri ketika dihubungi, kemarin.
Alat berat melakukan pengerukan Kali Mampang di Mampang, Jakarta, 23 Februari 2022. TEMPO/Subekti
Menurut Heri, sejatinya Jakarta tak termasuk wilayah yang rawan bencana pergerakan tanah ataupun tanah longsor. Sebab, perbedaan kontur tanah di Jakarta cenderung landai. Meski begitu, Heri membenarkan bahwa gerusan air sungai yang deras berpotensi mengikis tanah di bantaran. Toh, faktanya, bukan sekali-dua kali terjadi ruas jalan dan rumah warga yang mepet dengan sungai ambles saat arus air sungai teramat deras. “Dan fenomena ini lebih dikarenakan kesalahan manusia yang mempersempit sungai,” kata dia.
Heri menyebutkan risiko keparahan gerusan air sungai cenderung kecil. Sebab, sebelum tanah ambles tergerus air, akan terlihat gejala yang mudah dimengerti. Walhasil, masyarakat masih punya waktu untuk menyelamatkan diri. Lain soal jika bencana tanah longsor terjadi pada sebuah tebing atau bukit yang berada di atas permukiman.
Menurut Heri, perbaikan sungai menjadi solusi jitu. Pertama, memperbaiki kapasitas sungai. Maklum, sejak puluhan tahun lalu, sungai-sungai di Jakarta mengalami penyempitan dan pendangkalan. Walhasil, ketika air melimpah akibat hujan deras dan banjir kiriman, sungai akan meluap. “Setelah perbaikan kapasitas, baru boleh pilih normalisasi atau naturalisasi di bantarannya,” kata Heri.
Namun sejauh ini upaya pembebasan lahan menjadi hambatan pemerintah provinsi dalam membenahi wilayah bantaran kali. Walhasil, jika masalah pembebasan lahan tak kunjung usai, solusi memperbaiki berbagai problem sungai di Jakarta tak akan selesai.
INDRA WIJAYA | LANI DIANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo