Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para akademikus membedah setiap dasar hukum yang dibuat pemerintah untuk menjalankan rencana penambangan batu andesit di Desa Wadas sebagai pasokan material Bendungan Bener.
Mereka menemukan cacat prosedur secara formal dan materiil dalam penyusunan andal.
Pemerintah mengklaim tidak ada warga yang menolak rencana penambangan batu andesit di Wadas.
JAKARTA – Sebanyak 40 akademikus dari berbagai latar belakang spesialisasi ilmu di belasan kampus mendesak Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo merevisi analisis dampak lingkungan (andal) proyek Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Mereka serempak menyebutkan bahwa andal Bendungan Bener, yang berjarak sekitar 12 kilometer dari Desa Wadas, bermasalah dan berpotensi melanggar hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka membedah setiap dasar hukum yang dibuat pemerintah untuk menjalankan rencana penambangan batu andesit di Desa Wadas sebagai pasokan material Bendungan Bener. Kajian digelar di Sekretariat Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasilnya, para akademikus menemukan cacat prosedur secara formal dan materiil dalam penyusunan andal Bendungan Bener yang menjadi Proyek Strategis Nasional. Hal ini berdampak pada potensi rusaknya lingkup lingkungan dan kehidupan masyarakat Desa Wadas, di Kecamatan Bener, yang menjadi lokasi tambang batu andesit.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menyatakan analisis para akademikus terhadap andal Bendungan Bener berbasis pada Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah ihwal rekomendasi kelayakan lingkungan dan Surat Keputusan tentang izin lingkungan. Dia menjelaskan, temuan ini dikualifikasikan dalam dua hal. Pertama, aspek formal perihal tata cara pembuatan analisis dampak lingkungan. “Kedua, aspek materiil yang dibandingkan dengan temuan di lapangan," tutur Hamzah kepada Tempo, kemarin, 17 Februari.
Dalam proyek Bendungan Bener, Gubernur Jawa Tengah mengeluarkan Keputusan Nomor 590/41 Tahun 2018 tentang Pembaruan atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan keputusan tertanggal 7 Juni 2018 itu, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah membutuhkan 592 hektare tanah untuk proyek tersebut. Keputusan itu kemudian diperbarui dengan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/20 Tahun 2021 tentang Pembaruan atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah.
Sehari sebelum membedah andal tersebut, para akademikus terjun langsung ke lapangan dan menemui sejumlah warga di Wadas. Pada aspek formal, Herdiansyah menemukan sederet persoalan dalam proses terbitnya andal Bendungan Bener. Misalnya proses konsultasi publik. Pemerintah mengklaim tidak ada warga yang menolak rencana penambangan batu andesit di Wadas. Namun, ketika hal itu dikonfirmasi ke warga, kata dia, justru 80 persen masyarakat Wadas menolak pertambangan menjamah desa mereka.
Adapun sekitar 20 persen warga yang menerima pertambangan karena mereka memiliki tanah di Wadas tapi tinggal di desa lain. Selain itu, warga yang menerima tambang tersebut takut ketika harus berseberangan pendapat dengan pemerintah.
Hamzah dan sejawatnya juga menemukan persoalan materiil ketika membedah andal Bendungan Bener. Pemerintah disebut mengabaikan relasi sejarah masyarakat Wadas yang bakal tercerabut ketika pertambangan batu andesit dilakukan. "Kedatangan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ke Wadas yang diberi oleh-oleh hasil bumi itu menunjukkan bahwa masyarakat tidak bisa dipisahkan dari ruang hidupnya selama ini."
Pakar ekologi politik dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Soeryo Adiwibowo, juga menemukan masalah serius dalam andal Bendungan Bener yang menggabungkan dua kegiatan, yakni proyek Bendungan Bener dengan pertambangan di Wadas untuk kebutuhan bendungan. "Penggabungan dua kegiatan dalam satu andal bisa dilakukan, tapi harus memisahkan dampak dari dua kegiatan ini secara berbeda," ujar Soeryo.
Persoalannya, kata dia, andal Bendungan Bener menggunakan metode penelitian yang tidak valid dan semestinya tidak bisa menjadi dasar pengambilan kebijakan untuk memberi Izin Pengelolaan Lingkungan (IPL). Soeryo memaparkan bahwa teknis metode pengujian andal Bendungan Bener menggunakan perhitungan selisih antara besarnya dampak proyek bendungan dan pertambangan. Analisisnya lalu diperbandingkan antara jika ada proyek dan tanpa ada proyek.
Sengkarut amdal dua proyek Bendungan Bener dan pertambangan Wadas.
Temuan ini menjadi fondasi bahwa izin lingkungan yang diterbitkan Gubernur Ganjar tidak valid secara akademis. Karena itu, para akademikus meminta Ganjar mencabut izin lingkungan proyek tersebut. Mereka juga menolak pertambangan batu andesit di Wadas karena dapat merusak ruang hidup masyarakat. Pemerintah pusat juga diminta mengubah paradigma pembangunan yang sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi tapi mengabaikan hak manusia dan lingkungan.
Adapun Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo hemat bicara saat dimintai konfirmasi ihwal hasil bedah para akademikus terhadap andal Bendungan Bener. Dia hanya berujar singkat, ”Sebaiknya Anda mengambil data ke para penyusun andal dan tim ahli penilai."
Ganjar juga mengirim tautan berita di Tempo.co yang berisi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang yang sebelumnya menolak gugatan warga Wadas terkait dengan gugatan Izin Penetapan Lokasi (IPL) di Desa Wadas. Kepala Biro Hukum Provinsi Jawa Tengah, Iwanuddin Iskandar, sebelumnya menyatakan warga harus merelakan tanahnya menjadi area tambang jika putusan hukum sudah final. "Jika ada warga yang masih menolak, segera dilakukan pendekatan," tutur Iwanuddin, awal September 2021.
Suasana di Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah, 9 Februari 2022. ANTARA/Hendra Nurdiyansyah
Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Satrio Manggala, menyatakan jawaban Ganjar ihwal rujukan ke putusan PTUN dianggap menyesatkan publik. Menurut dia, gugatan warga ketika itu hanya terkait dengan pembaruan IPL yang diterbitkan Ganjar. "Dia paham, kok, karena sempat bilang bahwa persyaratan pembuatan bendungan dan pertambangan seharusnya berbeda, tidak disatukan dalam andal Bendungan Bener," ujar dia.
Akademikus IPB lainnya, Rina Mardiana, menyatakan analisis risiko yang dilakukan pemerintah di Wadas selama ini tidak menyeluruh. Hal ini, menurut dia, berpotensi menimbulkan dampak serius, baik secara fisik maupun psikis, dan memicu bencana alam lainnya tanpa proses tanggung jawab yang jelas. “Penelitian yang dilakukan tidak mendalam, hanya sepintas lalu,” ujar Rina. Dia bahkan menemukan upaya memaksakan keinginan warga dengan pelibatan aparat keamanan dan desa.
AVIT HIDAYAT | ROSSENO AJI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo