Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Semakin banyak aset properti warisan BLBI yang legalitasnya melemah.
Aset BLBI yang beralih tangan akan sulit diamankan.
Polisi menelisik dugaan pemalsuan surat kepemilikan dua aset BLBI di Kabupaten Bogor dan Tangerang.
JAKARTA – Buruknya skema pengelolaan, pemeliharaan, dan pengamanan aset properti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang terungkap dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dikhawatirkan memicu berbagai kerugian, baik secara finansial maupun non-finansial. Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Dadan Suparjo Suharmawijaya, mengatakan aset lahan dan bangunan yang tidak ditangani secara tegas berpotensi diselewengkan.
"Dalam kondisi abu-abu karena asetnya belum diserahkan ke negara, bisa ditelikung oleh pihak yang bukan pemilik," ucapnya kepada Tempo, kemarin.
Dengan umur kasus BLBI yang melampaui dua dekade, kata Dadan, semakin banyak properti warisan yang legalitasnya melemah. Minimnya dokumen administrasi dan pengamanan fisik pun membuat aset eks BLBI semakin mudah diperdagangkan. “Perlu diklasifikasikan mana aset bersih dan mana yang berkonflik, agar pengamanannya lebih terfokus,” ucapnya.
Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana (Satgas) BLBI memasang plang aset BLBI di Jakarta, 9 September 2021. ANTARA/Humas Kemenkeu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bila mengecualikan aset properti yang dipegang pihak ketiga, audit BPK mengungkapkan temuan 413 unit aset BLBI senilai Rp 2,46 triliun yang belum dipasangi papan nama. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu atas Pengelolaan Aset Properti dan Aset Kredit BLBI 2020 dan Semester I 2021, tercatat juga masalah 110 unit aset senilai Rp 659,77 miliar yang tidak dilengkapi dengan dokumen asli kepemilikan dan peralihan.
Dalam audit ini, disebutkan bahwa masalah pemeliharaan dan pengamanan aset BLBI berpotensi menimbulkan sengketa atau mengundang gugatan hukum. Ada juga kekhawatiran munculnya biaya tambahan bagi pemerintah untuk pengambilan aset properti yang dikuasai pihak ketiga. Kemungkinan lain yang dicatat BPK adalah hilangnya potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) serta pemanfaatan aset tak optimal.
Anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat, Andreas Eddy Susetyo, mengatakan aset BLBI yang beralih tangan kepada penerima yang tidak berhak akan sulit diamankan, terlebih jika tersangkut perkara hukum. “Dokumennya bisa dipalsukan untuk menguasai aset eks BLBI,” ucapnya.
Warga melintas dekat plang penyitaan aset tanah milik obligor BLBI di Kawasan Taman Sari, Lippo Karawaci, Tangerang, Banten, 3 September 2021. ANTARA/Fauzan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemalsuan Bukti Kepemilikan
Modus pemalsuan surat aset jaminan BLBI itu memang bermunculan di meja kerja Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian RI. Menerima laporan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, polisi menelisik dugaan pemalsuan surat dua aset di Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat; serta penggelapan tanah di Karawaci, Tangerang, Banten.
Adapun ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Akhmad Akbar Susanto, mengungkit soal aset BLBI yang tak terurus. Lantaran murah atau dianggap tidak produktif, kata dia, banyak lahan dan bangunan yang dibiarkan telantar oleh obligor atau debitor BLBI.
“Masuk akal jika ada yang izin gunanya kedaluwarsa atau sulit dilacak,” katanya. Tim auditor negara mencatat ada 424 unit aset senilai Rp 2,75 triliun yang masa berlaku sertifikat hak guna bangunannya sudah habis. Bila kondisinya berlangsung selama dua tahun, hak guna bangunan tersebut sulit untuk diperpanjang kembali.
Pakar hukum pidana pencucian uang, Yenti Garnasih, menyebutkan nilai aset tagihan BLBI yang mencapai Rp 110,45 triliun sudah terhitung sebagai kerugian sosial sejak lama. Diumumkan pada September tahun lalu, nilai itu terdiri atas aset inventaris, aset properti, aset kredit, aset saham, aset nostro, dan aset surat berharga. Seharusnya, kata Yenti, dana tersebut bisa dipakai untuk program kesejahteraan pemerintah selama dua dekade. Namun banyak potensi pendanaan program masyarakat yang akhirnya hilang.
“Tidak ada keberpihakan pada kesejahteraan sosial dan ekonomi rakyat,” ucapnya.
YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo