Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOTA, kata filsuf Richard Sennett dalam The Fall of Public Man, adalah “theatrum mundi”, teater semesta. Kota laksana sebuah teater besar di mana peristiwa serta laku adalah peran yang dimainkan oleh warga yang sekaligus menjadi aktor di dalamnya. Pemikiran ini, dengan demikian, memandang kehidupan sosial sekaligus kehidupan estetis. Tiap orang adalah seniman, tiap warga adalah aktor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sennett pasti gembira menyaksikan anak-anak muda dengan pelbagai kostum dan gaya mengubah trotoar, zebra cross, dan bangku taman menjadi panggung Citayam Fashion Week. Ratusan anak muda dari kampung-kampung di Jakarta dan kota-kota penyangganya—Depok, Citayam, dan Bojonggede—tampil bergaya, bertukar tempat, serta memainkan peran masing-masing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Citayam Fashion Week adalah penamaan media sosial terhadap aktivitas bergaya busana anak muda dari Jakarta dan sekitarnya itu. Di trotoar lebar sekitar stasiun kereta cepat massal (MRT) Dukuh Atas, Stasiun BNI, dan terowongan Kendal, Anda akan segera tahu bahwa fashion dan konten adalah dua kata kunci.
Anak muda adalah entitas generasional yang memiliki ciri umum usia yang relatif sama, tapi mereka tidak homogen. Ada anak muda seperti Roy, Alif dan Ale, Jeje, serta Bonge yang berjuang hidup setelah lepas dari sekolah. Ada anak-anak muda lain yang berasal dari kelas sosial yang jauh di atas mereka. “Asal jaga kebersihan,” kata anak-anak muda kelas atas itu menghardik “anak-anak Citayam” di akun-akun media sosial. Sebagian yang memandang sinis Citayam Fashion Week menyebut aktivitas itu mencoreng gengsi Kota Jakarta.
Sebuah media memberi judul liputannya “Sisi Gelap Citayam Fashion Week” yang menampilkan rekam gambar anak muda tidur di trotoar karena ketinggalan kereta terakhir. Penulisnya tak lupa menyebut di antara yang bergeletakan di trotoar adalah anak-anak perempuan. Dengan memberi judul “sisi gelap”, penulisnya ingin mengatakan “ada yang buruk dan tak pantas yang disembunyikan dalam Citayam Fashion Week”.
Inilah sinisme elitis yang memandang dan mengukur kehidupan anak muda marginal dengan mistar penggaris moral kelas menengah. Sinisme ini melihat kehadiran anak-anak daerah penyangga Jakarta sebagai semacam space invander, “orang luar” yang mengambil bahkan merebut tempat “orang Jakarta”, mengganti citra kultural elite Ibu Kota dengan kultur anak muda pinggiran.
Sinisme elitis itu salah dalam dua hal. Pertama, sekalipun namanya Citayam Fashion Week, sebagai event ia dihadiri oleh banyak anak-anak dari kampung-kampung “di dalam Jakarta” sendiri. Kedua, sinisme elitis itu gagal memahami kota dan sejarah penduduknya. Sesungguhnya, siapa orang Jakarta tidak bisa ditentukan oleh fakta administratif-birokratis kepemilikan kartu tanda penduduk Jakarta.
Banyak orang di Citayam, Depok, dan Bojonggede yang tidak lagi memiliki KTP Jakarta tapi berasal dari Jakarta. Mereka dulu tinggal di kampung-kampung di Jakarta. Mereka mesti pindah, baik secara sukarela maupun terpaksa, akibat perubahan kepemilikan lahan atau penggusuran. Keluarga-keluarga mereka masih menyimpan kenangan akan tempat dan kampung tempat mereka dulu hidup, tumbuh, dan berkembang. Jakarta bagi mereka sama sekali bukan wilayah asing. Bagi mereka Jakarta adalah degup yang terus hidup dalam percakapan dan kenangan.
Citayam Fashion Week pun menjadi gerak kembali yang didorong oleh perasaan memiliki atau hak atas kota. Hak atas kota muncul sebagai aspirasi keluarga kelas pekerja untuk merebut kembali cara hidup kota yang tidak henti-hentinya dideterminasi oleh dominasi mekanisme pasar, modal, dan perencanaan elitis.
Namun mengatakan Citayam Fashion Week sebagai sebuah perlawanan atau counter culture juga sedikit berlebihan. Batas antara subkultur sebagai perlawanan dan subkultur sebagai budaya komersial yang berfungsi sebagai penyedia kesenangan dan instrumen hegemonik sebenarnya sangat sulit ditarik—manakala kita berbicara mengenai anak muda.
Anak muda memang kreator paling dinamis dari kebudayaan baru yang bisa mendobrak dan mengubah struktur masyarakat. Ironisnya, di saat yang sama, mereka juga aktor utama konsumsi industri kapitalisme. Paradoks ini terlihat dengan jelas di Citayam Fashion Week. Jika kita cermati, di antara anak-anak muda di sana banyak yang bercita-cita menjadi endorser, etalase promosi dari pelbagai produk, yang menjadi buah kapitalisme. Bagaimana gejala ini muncul?
Indonesia adalah negara dengan populasi anak muda terbesar ketiga di dunia setelah India dan Tiongkok. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik per Februari 2022, jumlah penduduk Indonesia usia 15-24 tahun sekitar 44.696.557 jiwa. Sementara itu, angka pengangguran 2021 berkisar 9,1 juta orang. Dari angka itu, penganggur berusia 15-19 tahun mencapai 23,91 persen dan yang berusia 20-24 tahun sebanyak 17,73 persen.
Besarnya angka pengangguran di kalangan kaum muda adalah gejala permanen tahun demi tahun di Indonesia. Data Bank Dunia menunjukkan tingkat rata-rata pengangguran (unempolyement rate) anak muda di Indonesia pada 2021 sekitar 16 persen dari total angkatan kerja. Bandingkan dengan Korea Selatan yang hanya 6,1 persen, Malaysia 15,6 persen, dan Filipina 7,3 persen.
Gejala di Jakarta ini adalah respons mandiri anak-anak muda berusia 15-24 yang hidup dalam kutukan demografis sulitnya mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Di satu segi mereka tumbuh sebagai bukti keberhasilan kebijakan wajib belajar 12 tahun di Indonesia yang melahirkan anak muda lulusan sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas yang makin besar jumlahnya. Di sisi lain, rendahnya lapangan kerja dan terbatasnya kesempatan menempuh pendidikan tinggi membuat anak-anak muda terjebak menjadi pengangguran atau bekerja di sektor kerja informal yang rentan. Kehendak untuk segera keluar dari kutukan pengangguran ini yang dilantangkan oleh Roy Citayam, jebolan kelas III SMP dari keluarga miskin, manakala menolak tawaran beasiswa Menteri Pariwisata dengan alasan ingin bekerja untuk menolong orang tua.
Roy dan anak-anak muda Citayam Fashion Weeks boleh dibilang aktor paling tangguh dan contoh produk terbaik dari mimpi Presiden Joko Widodo mengenai industri digital Indonesia. Soal kreativitas, kemandirian, dan kegigihan, anak muda Citayam Fashion Week jelas luar biasa. Bedanya mereka ada di bawah, berbeda nasib bila dibandingkan dengan para influencer dan YouTuber muda kaya dari keluarga elite Jakarta, yang sebagian menjadi idola para pejabat dan pesta perkawinannya dihadiri presiden dan para pembesar negara.
Mengapa busana menjadi sentral di kalangan anak-anak muda itu? Busana atau fashion merupakan denominasi paling penting dari subkultur anak muda selain musik dan tribalisme. Melalui gaya busana, identitas dan diri diproyeksikan ke luar. Busana adalah senjata kita dalam berhadapan dengan dunia. Kita mungkin menggunakan pakaian untuk menyindir bahkan menantang norma dominan di dalam masyarakat, sekaligus menyatakan karakter lingkungan kita. Yang jauh lebih penting, busana merupakan jembatan antara kota dan keadaban. Bagaimana mungkin?
Kota (city) dan keadaban (civility) memiliki akar kata yang sama secara etimologis, yakni civis (warga). Inti dari kota dan keadaban adalah warga. Keadaban, menurut Sennett, adalah aktivitas demi mempertahankan pendirian dan sistem identitas yang berbeda-beda dari tiap orang, tapi di saat yang sama memungkinkan mereka untuk tetap menikmati kebersamaan.
Kostum dan busana adalah inti keadaban. Kostum, busana, dan gaya memberikan basis individualitas yang membedakan satu sama lain, menjadikan tiap orang di satu sisi asing, khas dan unik, sekaligus ada dalam kebersamaan. Sementara itu, kota adalah permukiman yang menyediakan sarana di mana orang “becomes whole through open encounter with difference”. Pada kota orang bisa menemukan dirinya melalui perjumpaan dengan yang lain dan yang asing. Sepanjang sejarah hayatnya, Jakarta disiksa oleh pembelahan, pembatasan, dan kekerasan yang menghalangi rendezvous itu.
Citayam Fashion Week boleh diremehkan, tapi ia menunjukkan ciri vitalitas dari sebuah kota yang beradab. Melalui gelar busana di trotoar, pameran busana sehari-hari ini menghapus batas-batas kaku antara jalan dan panggung, antara seniman dan orang biasa, antara anak Jakarta dan anak daerah, serta antara yang kaya dan yang kere. Ia menyediakan ruang bagi warga muda untuk mengalami kejutan dari pertemuan-pertemuan yang tak terduga. Ia menyembuhkan luka-luka Jakarta.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo