Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PT KCIC harus menyusun ulang studi kelayakan dan model keuangan proyek kereta cepat.
Sebelum mengucurkan PMN, pemerintah harus mengaudit penyebab pembengkakan biaya investasi.
Inkonsistensi pemerintah dalam proyek kereta cepat merusak kredibilitas proyek-proyek BUMN.
JAKARTA – Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance, Abra Talattov, menilai penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membiayai proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung sebagai bentuk inkonsistensi pemerintah yang berpotensi merusak kredibilitas proyek-proyek badan usaha milik negara (BUMN).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Inkonsistensi pemerintah terhadap pendanaan proyek, dari semula murni dana non-APBN menjadi dukungan APBN, merupakan preseden buruk terhadap proyek-proyek BUMN,” ucap Abra kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Abra mengatakan, sebelum memberikan penyertaan modal negara (PMN) kepada BUMN penggarap proyek tersebut, pemerintah harus melakukan audit investigasi melalui Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau Badan Pemeriksa Keuangan. Selain itu, PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) harus menyusun ulang studi kelayakan dan model keuangan untuk melihat kelayakan proyek ini.
Pemerintah memutuskan menggunakan dana APBN untuk membiayai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021, yang merupakan perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Ketua Bidang Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia, Aditya Dwi Laksana, mengungkapkan ada lima tindakan yang dapat dilakukan untuk memastikan kelanjutan proyek kereta cepat. Lima tindakan itu ialah meningkatkan penyertaan modal pemerintah, memberikan dana talangan, menerbitkan obligasi, meminta pinjaman modal kepada Cina, atau meningkatkan penyertaan modal perusahaan Cina di PT KCIC.
Aditya mengimbuhkan, setelah memutuskan menggunakan dana APBN untuk membantu proyek kereta cepat, hal selanjutnya yang harus dilakukan pemerintah adalah menghemat biaya pembangunan, melakukan investigasi untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas pembengkakan biaya, serta menyusun rencana bisnis yang baru.
“Rencana baru harus dibuat supaya bisa mempertimbangkan berapa tingkat pengembalian investasi proyek ini. Jangan sampai itu (pembengkakan biaya) masuk ke komponen tiket yang membuat harga tiket mahal dan menjadi bumerang,” tuturnya.
Pembangunan jalur kereta cepat Jakarta-Bandung di Casting Yard 1 DK28, Cikarang, Jawa Barat, 23 September 2021. TEMPO/Tony Hartawan
Sebelumnya, PT KCIC yang dibentuk oleh konsorsium BUMN Indonesia dan perusahaan Cina menyatakan bahwa biaya proyek kereta cepat bakal membengkak sebesar US$ 1,9 miliar (Rp 27,08 triliun) menjadi US$ 8 miliar (Rp 114,24 triliun). Dalam perhitungan awal yang dilakukan Cina, proyek kereta cepat menelan biaya sebesar US$ 6,07 miliar (Rp 86,5 triliun).
Aditya menambahkan, paling tidak ada empat penyebab terjadinya pembengkakan biaya, yaitu perencanaan yang kurang matang dan perhitungan biaya yang kurang komprehensif, kebutuhan lahan dan pemindahan fasilitas umum yang terhambat, kurang hati-hati dalam pelaksanaan sehingga merusak lingkungan, serta faktor pandemi Covid-19.
Menurut Aditya, pembengkakan biaya dalam proyek kereta cepat merupakan hal wajar dan dialami juga oleh negara-negara lain. Dia mencontohkan, dalam pengerjaan proyek kereta cepat Guangzhou-Shenzen-Hongkong Expres Rail Link terjadi pembengkakan biaya investasi sebesar Rp 35,6 triliun, yang ditutupi pembiayaan dari anggaran pemerintah.
Namun, ia menuturkan, hal yang membedakan antara proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dan proyek serupa di negara lain adalah pertimbangan jalur, jarak perjalanan, serta faktor keekonomian. Aditya memberi contoh kereta api cepat Korea Selatan yang melintasi Seoul-Busan sepanjang 323 kilometer.
“Secara teknis wilayah, lebih layak kalau misalnya dibangun kereta cepat Jakarta-Surabaya yang jaraknya 700 kilometer. Ini juga bisa menjadi strategi meningkatkan perekonomian di kota-kota yang dilintasi,” katanya.
Adapun guru besar bidang transportasi Universitas Indonesia yang juga mantan Deputi Bidang Perdagangan Perindustrian dan Transportasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Soetanto Soehodho, mengungkapkan, ketika dikirim ke Cina untuk mengikuti proses negosiasi awal proyek kereta cepat pada 2015, ia telah mempertanyakan kelayakan finansial proyek tersebut.
“Dikatakan oleh pihak Cina bahwa ini adalah kerja sama bisnis ke bisnis,” katanya kepada Tempo, kemarin. Soetanto menyebutkan, sebagai proyek bisnis ke bisnis, pemerintah dan pemegang saham proyek seharusnya mengetahui tingkat pendapatan operasional, jumlah penumpang, dan harga tiket yang akan diterapkan. “Jumlah penumpangnya harus cukup dan harga tiket harus terjangkau, sehingga mereka (PT KCIC) tidak kesulitan mengembalikan pinjaman.”
EVI ALVIYANI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo