Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hoegeng melarang istrinya ke luar negeri meski menggunakan duit keluarga.
Saat anaknya hendak masuk Akabri, Hoegeng ogah menandatangani formulir.
Hoegeng menegur anak perempuannya yang meminta ajudan mengambilkan air.
KABAR itu sampai kepada pasangan Hoegeng Iman Santoso dan Meriyati pada awal 1970. Seorang karib dari Belanda beranjangsana ke rumah mereka di Menteng, Jakarta Pusat, dan mewartakan kegiatan komunitas warga Belanda yang pernah tinggal di Indonesia pada zaman penjajahan. Memamerkan selembar foto, pria londo itu menunjuk laki-laki bertubuh tinggi yang merupakan ayahanda Meriyati, Meneer Cortenbach.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ibu saya girang sekali ketika tahu bapaknya masih hidup,” kata anak kedua Hoegeng, Aditya Sutanto Hoegeng, di Kemang, Jakarta Selatan, Kamis, 5 Agustus lalu. Meriyati putus kontak dengan ayahnya selama hampir tiga dekade ketika usia republik masih belia. Cortenbach mudik ke Negeri Kincir Angin setelah Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan kepada pemerintah Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada September 1970, Hoegeng yang menjabat Kepala Kepolisian Republik Indonesia menghadiri sidang umum Interpol di Brussel, Belgia. Ia lalu mencari bapak mertuanya ke Belanda. Bertemulah Hoegeng dan Cortenbach di sebuah rumah di pinggiran Amsterdam, lalu mereka bergambar bersama. Cekrek! Tiba di Tanah Air, Hoegeng menunjukkan foto pertemuan itu kepada Meriyati.
Beberapa bulan kemudian, Cortenbach mengirim wesel ke Jakarta. Meriyati diminta membeli tiket pesawat tujuan Amsterdam dari duit urunan keluarga itu untuk menengok ayahnya. Namun Hoegeng malah melarang istrinya berangkat. Menurut Aditya, papinya tak mau publik mengira bahwa istrinya melancong ke luar negeri dengan duit pemberian cukong. “Papi tak mau wesel itu menjadi fitnah,” ujar Didit—panggilan Aditya.
Ny.Hoegeng Iman Santoso (tengah) di Jakarta, 1972. Dok. TEMPO/Ali Said
Beberapa waktu kemudian, Meriyati menerima kabar bahwa ayahnya wafat. Pada hari duka itu, Hoegeng memohon ampun kepada Meriyati karena membuat mimpinya musnah. Meri baru bisa terbang ke Belanda pada sekitar pertengahan 1970-an. Aditya, yang kini berusia 71 tahun, tak ingat persis tanggal keberangkatan ibunya. Namun perjalanan itu atas perintah Wakil Presiden Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang meminta Meriyati menjadi penerjemah bagi delegasi penari serimpi yang tampil di Kerajaan Belanda. Di sana, Meri hanya dapat bersimpuh di pusara ayahnya.
Hoegeng menjaga betul agar Meriyati tak dikaitkan dengan pekerjaannya. Pada Januari 1960, keluarga Hoegeng belum lama pulang dari dinas di Medan, Sumatera Utara. Waktu itu, ia ditarik ke Kepolisian Metropolitan Jaya di Jakarta, tanpa jabatan yang jelas. Meriyati kemudian membuka toko kembang di garasi rumahnya di kawasan Menteng agar dapur tetap mengepul. Didit yang waktu itu siswa sekolah menengah pertama ikut membantu bisnis kecil-kecilan ibunya dengan menjadi kurir buket.
Syahdan, Hoegeng dipanggil Jenderal Abdul Haris Nasution, yang menjabat Menteri Pertahanan. Nasution meminta Hoegeng menjadi Kepala Jawatan Imigrasi. Menerima tawaran itu, Hoegeng baru dilantik setahun kemudian. Pulang dari pelantikan, Hoegeng meminta Meriyati menutup lapak jualan kembang.
Hoegeng bersama keluarga di Jakarta, September 1992. TEMPO/Repro/Nurdiansah
Aditya mengingat ibunya mempertanyakan keputusan Hoegeng. Meriyati beralasan toko itu sedang berkembang dan ikut menopang perekonomian keluarga. Apalagi, seperti ditulis dalam autobiografi Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993), polisi kelahiran Pekalongan itu berencana tak mengambil gaji sepeser pun dari kantor Imigrasi. Hoegeng tak mau orang-orang memborong dagangan Meri untuk memperlancar urusan imigrasi dan membuat penjual bunga lain kehilangan pelanggan. “Dengan berat hati, Mami menutup toko bunganya,” kata Aditya.
•••
HOEGENG juga menjaga anak-anaknya agar tak memanfaatkan jabatan dia sebagai Kepala Polri. Mendekati lulus sekolah menengah atas, Aditya berniat masuk ke Akademi Angkatan Udara di Maguwoharjo, Yogyakarta. Cita-citanya sejak kecil memang menjadi pilot jet tempur. Tanpa setahu ayahnya, dia mengurus berkas sendiri. Namun, sebagai anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga, Aditya harus mengantongi surat izin orang tua. Ia mentok di tahap ini.
Mendekati tenggat, Aditya nekat meminta waktu bertemu dengan Hoegeng di Markas Besar Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Itu merupakan kunjungan pertama Didit ke ruang kerja bapaknya karena Hoegeng tak suka bila ada keluarga yang main ke kantor. Tanpa menyebutkan matra yang diminatinya, Aditya bilang akan masuk ke Akabri dan butuh tanda tangan Hoegeng di formulir. “Bapak cuma ngomong, nanti saja urusan itu,” ucap Aditya. Ia pulang tanpa menggenggam surat izin dari Hoegeng.
Beberapa hari kemudian, Hoegeng menyuruh Aditya menyambangi kantornya. Ia meminta anaknya tak masuk Akabri Kepolisian karena tak mau ada dua Hoegeng di Korps Bhayangkara. Di akhir pertemuan, Hoegeng memerintahkan Aditya bergegas ke Markas Angkatan Udara di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Berkali-kali ditanyai soal surat izin, Hoegeng ngotot meminta putranya tak perlu membawa warkat itu. Pendaftaran taruna Akabri rupanya sudah ditutup dua hari sebelum Aditya tiba.
Marah kepada papinya, Aditya pulang ke rumah sambil bersungut-sungut. Ia lalu menggunduli rambut kuas lukis Hoegeng. Selesai makan malam, Hoegeng baru mengajak bicara putranya. Rupanya, ia tak mau tanda tangannya menjadi katebelece. “Dit, from the deepest of my heart,” kata Hoegeng membuka obrolan, “tak perlu ada surat yang keluar dari saya karena kamu kemungkinan akan memperoleh privilege selama seleksi maupun saat pendidikan.” Aditya kemudian meniti karier hingga menjadi eksekutif di perusahaan manufaktur alat musik asal Jepang.
Aditya Hoegeng, putra dari Hoegeng Iman Santoso, di rumahnya di Jakarta Selatan, 5 Agustus 2021. TEMPO/Ratih Purnama
Aditya pernah ditegur bapaknya karena pulang terlampau larut dari belajar kelompok. Kebetulan ia pergi dengan mengendarai mobil jip dinas polisi berpelat sipil milik Hoegeng. Menurut Aditya, bapaknya malu karena polisi lalu lintas pasti mengenali mobil itu. Hoegeng pun mengingatkan bahwa bensin yang dipakai Aditya merupakan jatah dari negara, bukan beli sendiri.
Hoegeng juga sama tegasnya kepada anak sulung, Reniyanti Hoegeng. Ia ingat pernah diamuk bapaknya gara-gara hal sepele. Ketika bersantai di rumah, Reni meminta tolong ajudan ayahnya agar diambilkan air minum. Melihat tingkah putrinya, Hoegeng marah. “Siapa kamu, kok menyuruh-nyuruh ajudan? Kamu bisa ambil sendiri,” ujar Reniyanti menceritakan ulang peristiwa itu. Hoegeng menyebut Reniyanti tak punya hak memerintah ajudan, meski sekadar mengambilkan air minum.
Reni menilai ayahnya tak mau keluarga ikut campur dalam urusan pekerjaan, apalagi menikmati fasilitas pejabat. Walau demikian, istri dan anak-anak Hoegeng memahami bahwa bapaknya berupaya menjaga nama baik keluarga. “Kami sadar bahwa Papi punya cara sendiri agar kami tak merasa menjadi orang istimewa atau keluarga pejabat yang harus diladeni,” kata perempuan 74 tahun ini.
Menurut Reniyanti, bapaknya adalah family man ketika sudah menanggalkan baju dinas di rumah. Hoegeng kerap mengajak keluarga, khususnya Meriyati, berdiskusi mengenai keputusan penting yang mempengaruhi keluarga, seperti saat hendak diberhentikan dari jabatan Kapolri dan ditawari kursi duta besar. Reni menyebut papinya selalu membutuhkan istrinya dalam merembukkan hal-hal penting bagi keluarga. “Saat susah ataupun senang, Papi selalu ajak Mami diskusi berdua,” ujarnya.
Rama Hoegeng cucu Jendral Polisi Hoegeng di Galeri Hoegeng, Depok, Jawa Barat, Agustus 2021. TEMPO/Nurdiansah
Reniyanti pernah meminta saran Hoegeng ketika hendak masuk gelanggang politik. Sebelum Pemilihan Umum 1999, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri meminta Reni menjadi calon anggota legislatif. Mega dan Reni bersahabat sejak bersekolah di Perguruan Cikini, Jakarta. Reni memohon izin kepada Hoegeng untuk berlaga ke Senayan—lokasi gedung Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta.
Sebagaimana diceritakan Reniyanti, Hoegeng tak melarang dia menjadi politikus. Hoegeng cuma berpesan agar Reni loyal dan tak menjadi kutu loncat di arena politik. Reni kemudian lolos menjadi anggota DPR 1999-2004 dari daerah pemilihan Lampung. Di Senayan, ia menjabat satu periode saja dan hingga kini masih menjadi kader PDI Perjuangan.
Tak hanya kepada anaknya, Hoegeng pun tak mau berkompromi terhadap cucunya. Krisnadi Ramajaya Hoegeng, cucu Hoegeng dari Aditya, bercerita, ia pernah mengajak eyangnya mengurus surat izin mengemudi di Daan Mogot, Jakarta Barat, sekitar awal 2000. Mengetahui mantan Kapolri datang, petugas menawari Hoegeng rehat dan menunggu di ruangan berpenyejuk udara. Namun Hoegeng menolak dan ingin menemani Rama di bangsal.
Rama, kini 50 tahun, menyebutkan petugas pendaftaran berinisiatif mendahulukan dia. Ia ingat ada empat orang yang antre di depannya. Alih-alih membolehkan cucunya melewati jalur cepat, Hoegeng meminta Rama duduk dan menunggu giliran. “Eyang tak mau memberikan kemudahan kepada kami meski kesempatan itu ada di depan mata,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo