Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Masa Suram Pemberantasan Korupsi

Revisi Undang-Undang KPK pada 2019 dituding sebagai biang kemunduran pemberantasan korupsi. Kepercayaan publik menurun karena merosotnya integritas komisi antikorupsi. 

2 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Merosotnya kinerja dan integritas KPK dianggap sebagai muara dari RUU KPK pada 2019.

  • Kepercayaan publik merosot akibat seabrek kasus pelanggaran etik pimpinan KPK.

  • Dewan Pengawas KPK yang dilahirkan oleh revisi UU KPK juga dinilai tak bertaring.

JAKARTA – Bagi para pegiat antikorupsi, pelanggaran kode etik yang terus bermunculan di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan hal yang mengejutkan. Jauh-jauh hari, mereka telah menyuarakan ancaman memburuknya kinerja KPK akibat berbagai kebijakan pemerintah yang cenderung melemahkan upaya pemberantasan korupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menuding Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yang merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai biang semua persoalan. Aturan anyar yang dalam proses kelahirannya memantik gelombang demonstrasi itu telah mencerabut roh KPK: independensi. “KPK telah dikooptasi menjadi bagian dari rumpun eksekutif,” kata Kurnia, kemarin, Jumat, 1 Juli 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kurnia menilai perubahan posisi KPK sebagai bagian dari eksekutif itu membuat lembaga tersebut rentan diintervensi oleh kekuasaan dan pihak lainnya. Sedangkan Dewan Pengawas, yang juga diamanatkan oleh undang-undang baru, sejak awal tidak punya fungsi yang jelas. “Dewan Pengawas juga tidak menjalankan fungsinya,” kata Kurnia. “Buktinya, sejumlah pemeriksaan etik tidak memberikan efek jera.”

Pandangan miring kembali mengarah ke KPK dalam beberapa bulan terakhir. Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar lagi-lagi terseret dugaan pelanggaran kode etik. Dia ditengarai menerima pemberian tiket dan fasilitas penginapan dari PT Pertamina (Persero) ketika menonton MotoGP Mandalika di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, pada Maret lalu.

Sepekan terakhir, dua kabar baru muncul di seputar kasus yang mencuat sejak April tersebut. Dewan Pengawas KPK memutuskan melanjutkan pemeriksaan kasus Lili ke tahapan sidang kode etik yang akan dimulai pada Selasa pekan depan, 5 Juli 2022. Namun beriringan dengan rencana sidang perdana itu, Lili Pintauli dikabarkan telah mengajukan surat pengunduran diri kepada Ketua KPK Firli Bahuri.  

Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengikuti sidang etik dengan agenda pembacaan putusan oleh Dewan Pengawas KPK disiarkan secara daring, di gedung ACLC Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Agustus 2021. TEMPO/Imam Sukamto

Kasus tiket MotoGP ini bukan yang pertama menyeret Lili. Pada Agustus tahun lalu, Dewan Pengawas menghukum Lili dengan pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan setelah terbukti melakukan pelanggaran berat kode etik dan pedoman perilaku. Kala itu, Lili terbukti berkomunikasi dan menyarankan bantuan kepada Wali Kota Tanjungbalai Muhammad Syahrial, tersangka perkara suap lelang jabatan.

Lili juga sempat dilaporkan ke Dewan Pengawas karena diduga berkomunikasi dengan pihak beperkara dalam kasus suap dana alokasi khusus (DAK) Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara, yang diusut KPK. Namun Dewan Pengawas tidak menindaklanjuti laporan ini dengan alasan pengaduan tidak jelas.

Menurut Kurnia, selain dipicu revisi Undang-Undang KPK, buramnya wajah komisi antikorupsi disebabkan oleh proses pemilihan komisioner periode 2019-2023 yang sejak awal dianggap bermasalah. Seleksi justru menghasilkan sejumlah pemimpin yang punya rekam jejak buruk. “Proses seleksi tidak transparan dan tidak mendengarkan suara masyarakat,” kata dia. “Karena itu, rentetan kebobrokan sudah bisa diprediksi.”

Kurnia mengingatkan, selain Lili, Ketua KPK Firli Bahuri pernah tersandung pelanggaran kode etik ketika menjabat Deputi Penindakan KPK pada 2018. Ketika itu, Firli bertemu dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang Zainul Majdi, yang merupakan pihak beperkara di KPK dalam kasus dugaan korupsi divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (NTT). Namun, sebelum pemeriksaan kasus pelanggaran etik ini rampung, Firli ditarik kembali oleh Kepolisian RI. Belakangan Firli mencalonkan diri dalam seleksi pimpinan KPK, yang kemudian terpilih dan dilantik sebagai Ketua KPK pada Desember 2019.

Pada tahun pertamanya memimpin KPK, Firli juga dilaporkan dalam dugaan pelanggaran kode etik karena terbang menggunakan helikopter mewah dari Palembang ke Baturaja, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Dewan Pengawas memberikan sanksi ringan kepada Firli berupa teguran. Namun, pada 2021, ICW kembali mengadukan perkara yang sama setelah mengantongi bukti bahwa komisaris perusahaan penyedia helikopter tersebut merupakan pihak beperkara dalam kasus korupsi izin proyek Meikarta dengan terdakwa Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin.  

Kepercayaan publik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menurun sejak 2019.

Kurnia mengatakan bobroknya kepemimpinan KPK menyebabkan persepsi publik terhadap komisi antikorupsi terus merosot. Padahal dulu KPK selalu menempati peringkat pertama sebagai lembaga yang paling dipercaya masyarakat. “Tiga tahun terakhir adalah masa paling suram bagi pemberantasan korupsi,” ujarnya.

Seperti halnya Kurnia, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menyoroti peran Dewan Pengawas yang tak optimal. Dia menilai Dewan Pengawas tak tegas menindak pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK. Dalam kasus komunikasi Lili dan Syahrial, dia mencontohkan, Dewan Pengawas hanya menetapkan sanksi pemotongan gaji. “Padahal itu kasus yang jelas-jelas mencampuri proses penanganan perkara,” kata Boyamin, kemarin.

Struktur Dewan Pengawas baru muncul dalam UU KPK hasil revisi. Dalam Pasal 37B, Dewan Pengawas bertugas mengawasi internal; memberi izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan; menyusun dan menetapkan kode etik, menerima laporan masyarakat soal kode etik, menyelenggarakan sidang, serta melakukan evaluasi berkala.

Boyamin menilai Dewan Pengawas hanya berperan sebagai tukang stempel di KPK. “Taringnya tidak ada,” kata dia. Kondisi ini yang, menurut Boyamin, juga menyuburkan penyelewengan di tubuh KPK.

Penilaian serupa dilontarkan peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Yuris Rezha Kurniawan. “Dalam putusan kasus Lili (yang pertama), itu sangat keterlaluan padahal mendekati dugaan pidana."

Yuris menilai Dewan Pengawas selama ini pasif menjalankan pengawasan di lingkup internal KPK. “Dewan Pengawas seperti tidak ada, sangat berbanding terbalik dengan semangat pembentukannya.”

Menurut dia, pangkal persoalan tumpulnya Dewan Pengawas adalah posisinya yang bias dalam struktur KPK. Dewan Pengawas yang diharapkan bebas dari intervensi dan kompromi justru berada di lingkup kelembagaan yang menjadi obyek pengawasannya. “Itu membuat mereka tidak bisa leluasa mengawasi kinerja,” kata Yuris.

IMA DINI SHAFIRA | M. ROSENNO AJI | DEWI NURITA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus