Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah ekonom menyebutkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat akan menembus 16 ribu.
Tekanan ekonomi global juga terjadi dari turbulensi akibat ketidakpastian pelonggaran mobilitas di Cina.
Pemerintah perlu putar otak untuk terus menggenjot ekspor yang tren percepatan kenaikannya kini kalah dari impor.
JAKARTA – Nilai tukar rupiah diperkirakan terus melemah hingga tahun depan. Sejumlah ekonom menyebutkan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat akan menembus 16 ribu pada akhir tahun ini. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan rupiah berpotensi bergerak di rentang 16.100-16.500 per dolar AS pada akhir 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menyebutkan rupiah sulit bisa menguat di bawah 15 ribu per dolar AS, sesuai dengan asumsi pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 ataupun 2023. "Ini fenomena superdollar karena investor global mencari aset aman setelah ancaman resesi menguat," kata Bhima kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sinyal resesi, menurut dia, salah satunya terlihat dari pelemahan Baltic Dry Index atau indeks kargo global yang anjlok 57 persen dalam setahun terakhir. Situasi tersebut masih akan ditambah dengan kenaikan bertahap suku bunga The Fed, yang diperkirakan bisa terjadi tiga kali pada 2023 untuk menjinakkan inflasi di Amerika.
Tekanan ekonomi global juga terjadi dari turbulensi akibat ketidakpastian pelonggaran mobilitas di Cina. Meski ada pelonggaran kebijakan nol Covid-19, kegiatan bisnis tidak langsung bergerak naik. Bhima memprediksi kurva pemulihan ekonomi Cina berbentuk huruf W. "Kita harus mewaspadai rentetan perlambatan di Cina ke rupiah karena Cina adalah mitra dagang utama Indonesia," ujar dia.
Apabila tidak segera diantisipasi, ia khawatir pelemahan kurs akan merembet ke berbagai persoalan, dari beban utang yang bertambah hingga tipisnya pendapatan negara, yang ujung-ujungnya menekan kemampuan fiskal pemerintah.
Warga menunjukkan pecahan uang kertas baru di bus penukaran uang Bank Indonesia di Bandung, Jawa Barat, 19 Agustus 2022. TEMPO/Prima mulia
Pada perdagangan kemarin, nilai mata uang rupiah ditutup melemah 29 poin menjadi 15.675 per dolar AS. Berbagai sumber memperkirakan tekanan tersebut terjadi lantaran pasar menunggu rilis data inflasi Amerika serta hasil pertemuan The Federal Reserve ihwal kebijakan suku bunga di Negeri Abang Sam.
Menyitir data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) sejak awal tahun hingga kemarin, rupiah telah melemah 9,75 persen. Pada 3 Januari 2022, rupiah masih menginjak level 14.270 per dolar AS. Sedangkan kemarin, kurs berada di level 15.661 per dolar AS. JISDOR merupakan kurs referensi yang merepresentasikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dari transaksi antarbank di pasar valuta asing, termasuk transaksi dengan bank di luar negeri.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, menyebutkan dolar AS menguat menjelang rilis data inflasi Amerika dan pertemuan terakhir The Fed untuk 2022 pada hari ini. Momen tersebut ditunggu investor untuk memperbarui prospek suku bunga.
Menurut dia, The Fed akan kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis point pada Rabu waktu setempat, dari posisi saat ini 3,75-4 persen. "Langkah ini menurun setelah kenaikan suku bunga sebesar 75 basis point sebanyak empat kali berturut-turut," ujar Ibrahim.
Cadangan Devisa Terkuras
Tren pelemahan rupiah terus terjadi meski Bank Indonesia telah menjalankan stabilisasi nilai tukar, misalnya dengan mengintervensi pasar hingga menaikkan suku bunga acuan yang kini sebesar 5,25 persen. Dalam rapat bersama Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat pada 21 November lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo menuturkan stabilisasi rupiah diperlukan untuk menjaga inflasi akibat barang-barang impor, serta memastikan stabilitas moneter dan keuangan negara.
Upaya stabilisasi itu, ucap Perry, terlihat dari turunnya cadangan devisa secara signifikan lantaran digunakan untuk mengintervensi pasar. "Kami melakukan intervensi dalam jumlah yang besar. Itulah kenapa cadangan devisa turun dari US$ 139,9 miliar menjadi sekitar US$ 130,1 miliar," tuturnya.
Mencermati pernyataan Perry tersebut, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, mengatakan biaya moneter untuk stabilisasi rupiah telah menghabiskan dana hingga US$ 9,8 miliar hanya dalam beberapa bulan. Angka tersebut termasuk besar apabila dibanding penurunan cadangan devisa Indonesia pada tahun-tahun sebelum masa pandemi Covid-19, yang hanya sekitar US$ 4 miliar per tahun.
"Kalau dalam beberapa bulan hilang dua kali lipat dari angka tahunan sebelumnya, berarti tekanannya kuat sekali. Itu karena kenaikan suku bunga The Fed dan faktor lainnya. Makanya, harus dibantu dengan kenaikan suku bunga BI," ujar Eko dalam diskusi yang digelar Indef, kemarin.
Persoalan lainnya, Eko mengimbuhkan, adalah daya dukung cadangan devisa Indonesia yang juga terus turun. Dia menuturkan, jika pada masa sebelum pandemi nilai cadangan devisa US$ 130 miliar bisa mencukupi sembilan bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, kini nilai yang sama hanya mencukupi 6-7 bulan impor dan pembayaran utang. Hal tersebut lantaran adanya kenaikan inflasi inti.
Surplus Neraca Dagang Tidak Mampu Menopang Rupiah
Karena itu, guna menjamin ketersediaan cadangan devisa untuk mempertahankan nilai tukar, Eko mengatakan, Bank Indonesia dan pemerintah juga perlu putar otak untuk bisa menambah pundi-pundi dolar AS. Terlebih, ke depan, ekspor produk Indonesia diperkirakan makin tertekan lantaran permintaan global yang melemah akibat resesi, sementara impor akan makin meningkat di tengah bergeliatnya permintaan domestik.
Salah satu caranya, kata dia, adalah memastikan devisa hasil ekspor masuk dan bertahan cukup lama di sistem keuangan Indonesia. Musababnya, ia menduga selama ini devisa hasil ekspor masih ada yang belum masuk ke dalam negeri. Padahal Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan selama hampir 30 bulan berturut-turut, yang semestinya membuat rupiah bertahan kuat.
"Uang yang dihasilkan dari penjualan barang ke luar negeri seharusnya terefleksi dalam cadangan devisa. Tapi ternyata cadangan devisa tidak naik signifikan, bahkan turun karena operasi moneter. Saya menduga banyak yang tidak masuk ke data sistem perbankan nasional," ujar Eko.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca dagang Indonesia sepanjang Oktober 2022 mencatatkan surplus sebesar US$ 5,67 miliar. Angka tersebut lebih tinggi dibanding surplus pada bulan sebelumnya yang sebesar US$ 4,97 miliar. Hari ini BPS akan mengumumkan neraca dagang November 2022. Ekonom memprediksi surplus bulan lalu tidak sebesar bulan sebelumnya.
Diversifikasi Produk Ekspor
Senada dengan Eko, ekonom senior Indef, Aviliani, mengimbuhkan bahwa pemerintah perlu putar otak untuk terus menggenjot ekspor, yang tren percepatan kenaikannya kini kalah dari percepatan kenaikan impor. Salah satu caranya adalah mengeluarkan produk-produk andalan yang baru, di samping komoditas-komoditas seperti sawit dan batu bara.
Pemerintah, kata dia, perlu memetakan sektor industri yang memiliki daya saing tinggi dan memberikan insentif maksimal bagi sektor tersebut. "Kalau tidak memperbaiki sektor ekspor, kita akan terus mengalami defisit neraca ke depan. Dampaknya adalah nilai tukar terus melemah," ujar dia.
Aviliani menyebutkan, dalam beberapa tahun terakhir, nilai tukar rupiah lebih sering melemah daripada menguat. Tekanan nilai tukar terus terjadi setiap ada krisis di luar negeri. Saat krisis itu pula—yang kemudian berimbas pada nilai tukar—pendapatan per kapita Indonesia, yang sempat naik, kembali anjlok. "Nanti baru mau naik, turun lagi. Akhirnya kemiskinan enggak selesai-selesai. Kenaikan ada, tapi lambat. Bagaimana mau menjadi negara maju."
Perbaikan struktur ekspor juga menjadi satu-satunya solusi untuk menarik dolar AS masuk ke Tanah Air. Aviliani mengatakan pemerintah tidak bisa lagi memperbaiki kurs dengan menarik investor asing membeli obligasi Indonesia, seperti yang selama ini masih dilakukan. Musababnya, investor obligasi biasanya hanya masuk untuk jangka pendek.
"Begitu ada isu The Fed menaikkan suku bunga, di Singapura bunga sedang tinggi, maka uang mengalir (keluar), termasuk uang dari orang Indonesia. Jadi, (porsi) obligasi asing yang tadinya 35 persen sekarang 14 persen. Dari mana kita dapat dolar?" ujar Aviliani. "Likuiditas dolar bank pun berkurang sehingga mereka memikirkan bagaimana mendapatkan dana hasil ekspor dan menarik uang orang Indonesia ke dalam negeri."
CAESAR AKBAR | NOVA YUSTIKA SINAGA | RIRI RAHAYU
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo