Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ASPAL basah, jalan licin yang menikung tajam, sebuah jembatan
sempit di ujungnya dan seorang sopir yang memacu bisnya 90 km
sejam. Sempurnalah prasyarat bagi sebuah kecelakaan.
Dan musibah berdarah itu memang terjadi Rabu dinihari pekan
lalu. Kecuali sopir Ruslan, agaknya tak seorang pun menyadari
bagaimana persisnya kecelakaan itu terjadi. Kondektur Gufron,
yang duduk santai di belakang, saat itu sedang menghitung
karcis. Ia pun tidak tahu bagaimana bis Tunggal Jaya yang
dikemudikan Ruslan "mengambil" sebuah kolt, sebelum menghantam
pagar jembatan untuk akhirnya terjungkir dan terhunjam ke dasar
Sungai Sanggung di 7 km baratdaya Sala. "Apa kita ini bermimpi?"
ujar Waluyo, sopir kolt yang dilewati Tunggal Jaya. Kaelani,
temannya pelan menjawab: "Ada kecelakaan.
Dari jumlah yang tewas dipastikan, kecelakaan Sanggung adalah
ketiga terbesar tahun ini, sesudah bis Flores dan Turangga.
Korban 18 orang mati dan 17 luka-luka. Gufron selamat. Sopir Rus
terpental keluar, tubuhnya terseret arus diduga meninggal
seketika. Ia tidak sempat lagi mendengar kecaman Menteri PU
Poernomosidi sehari kemudian: "Apa rambu lalu-lintas masih
perlu disertai gambar tengkorak? "
Mungkin diperlukan lebih dari itu. Karena rambu dan tanda bahaya
yang biasa-biasa ternyata tidak dihiraukan sopir seperti Ruslan
yang boleh dibilang cukup berpengalaman.
Lalai? Tapi sopir Syafri, meski dikabarkan telah cukup
berhati-hati, bis HZN yang dikemudikannya terguling juga ke
jurang di Sitinjau Laut, 24 km di luar Kota Padang. Kecelakaan
yang menewaskan enam penumpang ini terjadi belasan jam sesudah
tragedi Sanggung. Hujan, kabut dan entah apa lagi, menyebabkan
bis meluncur tidak terkendali lalu terjerumus masuk jurang.
Dua kecelakaan beruntun rupanya masih tidak cukup. Minggu pagi
baru lalu empat gerbong kereta-api Mutiara Timur melejit dari
rel -- satu menggelinding ke Kali Lugonto. Sepuluh penumpang
dikabarkan tewas, 50 luka-lula, seorang di antaranya harus
dipotong kedua kakinya.
Mutiara Timur, Sabtu malam itu bertolak dari Surabaya menuju
Banyuwangi. Kecelakaan yang sungguh mengerikan justru terjadi
hanya 18 km dari tempat tujuan -- 1 km dri Stasiun Rogojampi.
Diperkirakan kereta api yang mengejar keterlambatan ini telah
dipaksa lari 90 km per jam. Padahal rel hanya sanggup menampung
kecepatan 50 km per jam. Kedua masinis dan kondektur yang
selamat kini sedang dalam pemeriksaan.
Kecelakaan terjadi silih berganti. Seakan ada ketidak-beresan
yang merasuk di seantero negeri -- satu hal yang bukan tidak
disadari tapi, sebagaimana biasa, selalu tidak diacuhkan.
Diawali dengan tragedi kapal Tampomas, Januari berselang, pentas
kecelakaan slogera berpindah ke darat. Peristiwa Turangga
(tewas 23 orang) di bulan April disusul malapetaka bis Flores di
Purwosari (tewas 31 orang) pertengahan Mei lalu. Di penghujung
Juni terjadi kecelakaan Sanggung, Sitinjau Laut dan Lugonto.
Belum terhitung kecelakaan kecil yang terjadi hampir di mana
saja. Jika ditilik, sebagian besar kecelakaan itu melibatkan
angkutan antarkota. Bis, bis mini dan kolt memegang peranan
utama. Memang, belum ada statistik yang memperinci jenis dan
jumlah kecelakaan, namun angka-angka yang terkumpul lima tahun
belakangan menunjukkan, kecenderungan meningkat (lihat-tabel).
Jumlah kecelakaan rata-rata tiap tahun 1000 kali lebih banyak.
Jumlah korban yang tewas dengan sendirinya melonjak: dari lebih
7000 (1975) menjadi hampir 11.500 (1980). Nampaknya pemakai
jalan semakin mudah menghamburkan nyawa. Padahal, "manusia tidak
punya nyawa serap," begitu kata Kasi Lalulintas Letkol Pol.
Gandhi di Sumatera Utara.
Ada yang tidak beres? Ka Dispen Mabak, Brigjen Darmawan,
menyebut beberapa ketidak-seimbangan yang membuka peluang besar
untuk kecelakaan. Pertama, katanya, kenaikan jumlah kendaraan
bermotor sebesar 15%. Tak seimbang dengan pertambahan panjang
jalan yang hanya 2% setahun. Akibatnya jalan-jalan bertambah
padat dan tabrakan makin sering terjadi.
Pejabat ini juga melihat ketimpangan antara kondisi jalan --
yang disebutnya "ketinggalan" -- dibanding mutu teknis kendaraan
bermotor yang amat meningkat. Jalan yang ada, menurut Darmawan,
hanya mampu menampung kendaraan dalam tingkat aman dengan
kecepatan 50 - 60 km per jam. Tapi dalam kenyataan sehari-hari,
jalan yang sama dilindas kecepatan hampir sering dua kali lipat.
"Kondisi jalan punya pengaruh pada kendaraan," tutur Darmawan,
"tapi kendaraan tua juga punya andil." Namun dari berbagai
faktor, Darmawan yakin bahwa andil terbesar dari manusia.
Menurut pendapatnya hambatan terbesar justru terletak di sini.
Karena, "mengontrol manusia itu paling sukar," katanya.
"Seorang pengemudi bisa saja lulus ujian dan memperoleh SlM.
Tapi apakah ia berdisiplin? " ujarnya, setengah enggan menuding
sopir. Diakui Darmawan bahwa sistem kepolisian di sini tidak
banyak memberi dukungan terciptanya disiplin itu. "Sistem di
sini memungkinkan polisi kerja keras atau . . . tidur," kata
perwira tinggi lulusan North Western University Traffic
Institute di Illinois (AS). Tapi jangan lupa, katanya,
masyarakat di sini kurang pula berpartisipasi menjaga disiplin
sopir.
Kapolri Awaloedin Djamin, dalam seminar lalu-lintas di Yogya,
Maret berselang, menyoroti sopir muda (17 - 35 tahun) sebagai
orang yang paling banyak membawa celaka. Kapolri menilai,
orang-orang muda lebih agresif, kurang matang, bahkan mengalami
tekanan jiwa jika berada di belakang kemudi.
Sebab kecelakaan lain disebutkan Letkol Pol. H. Susanto,
Komandan Satlantas Kodak Jawa Timur: "Sopir yang ceroboh dan
suka ugal-ugalan." Gandhi mengakui bahwa di Sumatera Utara
jumlah kecelakaan meningkat karena sopir tidak hati-hati -- satu
hal yang antara lain disebabkan karena jalan mulus di sana.
Kecenderungan yang sama bisa disaksikan di Jawa Barat. Di situ
bukan sopir saja yang ceroboh. Penumpang juga ikut mendorong dan
menuntut sopir agar memacu kendaraan secepat-cepatnya. Siapa
yang gila dan tidak bertanggungjawab?
"Meningkatnya kecelakaan di Sumatera Barat jelas karena faktor
manusia," ungkap Mayor Pol Drs. Agus Saleh, Ka Seksi Lantas di
sana. Pengemudi yang kurang hati-hati, para pemakai jalan yang
kurang mengindahkan peraturan dan terbatasnya personil polisi
merupakan kombinasi faktor yang patut diperhitungkan. Kekurangan
yang disebut terakhir ini juga terlihat sangat menyolok di
Yogya. Menurut Sukamto, Ka Sie Lantas Yogya, daerah istimewa itu
hanya dilayani 49 polisi dan 30 pembantu polisi. Di Sumatera
Barat tercatat 238 polisi -- dan itu berarti tiap anggota harus
mengawasi 327 kendaraan.
Di samping itu jalan-jalan sempit dan banyak belokan juga
selalu minta korban -- seperti Kelok 44 Maninjau yang tersohor
itu. Hal yang sama juga bisa ditemukan di Riau. Namun, seperti
ditegaskan Mayor Pol. A. Bakar Mansur, Ka Sie Lantas Riau,
"kelalaian sopir" tetap merupakan sebab utama.
Tapi kurangnya rambu lalulintas juga ikut berperan dalam
beberapa kecelakaan besar seperti di Purwosari dan Baturaja di
Sumatera Selatan (1978) yang menewaskan 16 orang. Kedua
peristiwa itu ditandai hal sama: tabrakan bis dengan kereta api
karena rambu-rambu minim sekali.
Di samping itu manajemen perusahaan secara tidak langsung juga
mempengaruhi. Misalnya: kurang cermat memilih sopir. Sanksi yang
kurang tegas terhadap pengemudi serta sistem upah yang tidak
menciptakan iklim kerja baik. Kemudahan pihak polisi
mengeluarkan rebewes atau SIM disinyalir juga ikut andil
merendahkan mutu sopir.
Bagaimanapun, di antara sekian banyak sebab, faktor sopir
menonjol sebagai sebab utama meningkatnya kecelakaan. "Soal
mentalitas," ujar Muhantojo, Kapten Polisi yang menjabat
Komandan Satlantas di Semarang. Hadisoeprapto, Kepala DLLAJR
Jawa Tengah, memperkuat keterangan ini. Menurut pendapatnya
sopir ngebut bukan karena setoran. Tapi karena berada dalam
mental transisi. Maksudnya? "Mereka baru pindah dari mentalitas
agraris yang biasa dengan alat-alat sederhana ke alat-alat
modern. Akibatnya mereka ingin serba cepat." Kepala Dinas
Lantas Polri Kol. Pol. Pramudaryono mengibaratkan para sopir
seperti orang Irian yang baru mengenal sepatu. "Masih suka
tergelincir," guraunya.
Jadi perbaikan yang pertama-tama dan mungkin dijangkau adalah
mentalitas -- ini juga yang tersulit. Jauh-jauh hari Polri,
DLLAJR dan Dirjen Perhubungan Darat sudah mengadakan tindakan
pengamanan preventif dan represif. Untuk sopir bis antarkota
misalnya, Polantas sejak beberapa waktu yang lalu mengadakan
penataran di beberapa tempat. Sekarang, dicoba meningkatkan mutu
ujian SIM melalui klinik pengemudi, yang baru dicoba di Kodak
Metro Jaya. Kelak, klinik semacam akan dibuka di seantero kota
besar. Lewat klinik ini dilakukan pengujian ulang kemampuan,
reaksi dan kesehatan pengemudi. Hasilnya, lihat saja nanti. Di
samping itu akan dikembangkan pencatatan terhadap pelanggaran.
Jika seorang sopir terlalu sering melakukan pelanggaran SIM-nya
bisa dicabut.
Sebagai usaha pencegahan, sesudah peristiwa Turangga, Kodak Jawa
Barat melakukan razia terhadap bis yang melewati batas kecepatan
maksimum (70 km sejam) dan batas maksimum angkutan.
Jika kecelakaan disinyalir selalu sering terjadi di suatu
tempat, Polantas akan melaporkan ke PU dan Dirjen Perhubungan
Darat. Selanjutnya akan diteliti: Apakah keadaan dan suasana
jalan perlu diubah atau rambu perlu ditambah.
Sanksi hukum, juga sudah ditempuh. Akhir Mei silam, Dayat sopir
bis Turangga dijatuhi hukuman 3 tahun penjara potong tahanan.
Namun, ada yang berpendapat diperlukan sanksi yang lebih keras,
agar pengemudi lain jera. Dari Mabak, Pramudaryono mengatakan,
tiap pelanggar peraturan lalu lintas di Jepang menjalani hukuman
di sebuah penjara khusus. Hukuman mereka -- antara lain: tiap
hari harus mencium batu besar sambil mengucapkan "penyesalan".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo