Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pembengkakan biaya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung muncul sejak awal 2020.
BPKP melaporkan nilai cost overrun proyek kereta cepat Jakarta-Bandung sebesar US$ 1,176 miliar.
Kementerian BUMN menghitung cost overrun proyek kereta cepat Jakarta-Bandung mencapai US$ 1,9 miliar.
JAKARTA – PT Kereta Api Indonesia (KAI) mengajukan penyertaan modal negara (PMN) untuk menutupi sebagian kebutuhan cost overrun atau pembengkakan biaya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Pengajuan ini merupakan yang kedua kalinya PT KAI meminta PMN untuk kebutuhan proyek sepur kilat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam rapat bersama Komisi VI DPR, Kamis, 16 Juni 2022, Direktur Utama PT KAI, Didiek Hartantyo, mengatakan perseroan membutuhkan tambahan modal dari negara karena struktur permodalan PT KAI selaku pemimpin konsorsium proyek kereta cepat Jakarta-Bandung terbatas. “Perusahaan sedang dalam proses pemulihan akibat terimbas pandemi. Pada saat yang bersamaan kami juga mendapat penugasan proyek strategis nasional, yakni LRT Jabodebek dan kereta cepat.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam wawancara bersama Tempo pada beberapa kesempatan, Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia China, Dwiyana Slamet Riyadi, mengatakan cost overrun pada proyek ini tidak dapat dihindari. “Semua orang inginnya proyek ini tidak ada pembengkakan biaya, tapi karena harus ada, kami ingin angkanya minimum,” kata Dwiyana, April lalu.
Cost overrun adalah kelebihan biaya pada proyek dan diklaim lazim terjadi pada pekerjaan kereta cepat. Dwiyana menjelaskan, cost overrun muncul karena sifat proyek yang kompleks, penganggaran awal proyek terlalu optimistis, kegagalan tata kelola manajemen proyek, serta penundaan pembebasan lahan.
Dwiyana juga sempat menyitir sejumlah proyek sepur kilat di beberapa negara yang mengalami cost overrun. Misalnya proyek Guangzhou-Shenzen-Hong Kong Express yang biayanya membengkak US$ 2,5 miliar atau 26 persen dari nilai proyek. Kemudian proyek kereta cepat Taiwan, dengan cost overrun mencapai US$ 0,05 miliar (10 persen dari nilai proyek). Lalu proyek kereta cepat Madrid-Barcelona, dengan nilai pembengkakan US$ 0,02 miliar (31 persen dari nilai proyek). Serta proyek kereta cepat East Coast Rail Link Malaysia yang biayanya naik US$ 0,02 miliar (33 persen dari nilai proyek).
Menurut Dwiyana, sebagian proyek kereta cepat yang kelebihan biaya tersebut didanai oleh pemerintah karena besarnya nilai cost overrun dan risiko proyek. Selain itu, proyek kereta cepat bisa saja mengalami cash deficiency saat awal operasi. “Hal ini disebabkan beberapa faktor, terutama karena volume penumpang tidak sesuai dengan proyeksi awal,” ujar dia, saat berkunjung ke kantor Tempo, November 2021.
Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia China Dwiyana Slamet Riyadi (kiri) meninjau pembuatan bantalan kereta cepat Indonesia China di unit Mobile Concrete Slab Track Wika Beton, cikampek, Jawa Barat, 3 September 2021. TEMPO/Tony Hartawan
Awal Mula Munculnya Cost Overrun
Masalah pembengkakan biaya pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung sebetulnya terdeteksi pada Juli 2019. Ketika itu, kontraktor perencanaan teknik, pengadaan, dan konstruksi (EPC) proyek ini, High-Speed Railway Contractor Consortium (HSRCC), mengajukan penyesuaian harga EPC yang berpotensi membuat biaya proyek membengkak.
KCIC akhirnya menunjuk Beijing Jingtie Foreign Economic & Technical Cooperation Co., Ltd guna mengkaji rencana pengelolaan operasi dan indikasi pembengkakan biaya. Enam bulan kemudian, atau Januari 2020, KCIC memaparkan potensi cost overrun mencapai US$ 2,28 miliar—sekitar Rp 32,6 triliun. Setahun kemudian, HSRCC mengklaim pembengkakan biaya mencapai US$ 2 miliar atau sekitar Rp 28,6 triliun. Faktor terbesar melarnya biaya itu adalah perubahan desain yang memaksa dilakukannya pembebasan sejumlah lahan baru.
Pada Maret 2021, pemerintah akhirnya melakukan evaluasi atas seluruh aspek proyek tersebut. Dalam evaluasi itu, estimasi pembengkakan biaya mencapai 23 persen dari nilai awal proyek atau sekitar US$ 1,39 miliar (setara dengan Rp 20 triliun dalam kurs saat itu). Adapun nilai awal proyek ini adalah US$ 6,071 miliar (sekitar Rp 86,5 triliun).
Munculnya pembengkakan biaya ini membuat niat pemerintah untuk membangun megaproyek dengan harga murah jadi tak tercapai. Awalnya pemerintah memilih konsorsium Cina-Indonesia sebagai penggarap proyek karena menawarkan nilai proyek lebih murah dibanding proposal dari perusahaan Jepang. Saat menawarkan proyek kereta cepat ke pemerintah Indonesia, Japan International Cooperation Agency mengajukan proposal senilai US$ 6,2 miliar.
Adapun dalam studi kelayakan awal yang dilakukan National Development and Reform Commission (NDRC)—dulu Komisi Perencanaan Pembangunan Cina—dan Bank Pembangunan Cina, studi kelayakan proyek oleh Cina dimulai dengan biaya US$ 5 juta.
Pembengkakan biaya tersebut muncul karena ada beberapa perhitungan dalam studi kelayakan yang tidak akurat dan berbagai kebutuhan yang tak diprediksi pada awal proyek. Berdasarkan perjanjian, kelebihan kebutuhan dana ini ditanggung sepenuhnya oleh konsorsium penggarap proyek.
Menurut sumber Tempo yang mengetahui perencanaan proyek ini, salah satu penyebab perhitungan kebutuhan dana tidak akurat adalah tak dicantumkannya jadwal akuisisi lahan dalam studi kelayakan, sehingga penyelesaiannya sulit diprediksi. Seiring molornya pembebasan lahan, harga barang pun terus meningkat sehingga biaya terus naik.
Pada April 2021, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam rapat koordinasi terbatas, memerintahkan konsorsium badan usaha milik negara yang terlibat dalam proyek menghitung ulang cost overrun. Dalam rapat pada awal April tersebut, Sri Mulyani meminta agar hitung ulang pembengkakan biaya mencakup belanja modal dan biaya saat masa operasional.
Tak lama seusai rapat tersebut, PT Wijaya Karya, sebagai perusahaan pelat merah pemegang saham terbesar (38 persen) pada konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), mengusulkan agar pemerintah memangkas porsi kepemilikan saham di PT KCIC. Seperti diketahui, kepemilikan saham pemerintah Indonesia di PT KCIC melalui PSBI sebesar 60 persen. Sebanyak 40 persen saham lainnya dimiliki konsorsium China Railway International Co Ltd.
Direktur Utama Wijaya Karya, Agung Budi Waskito, saat itu mengatakan pengurangan saham ini bisa menjadi salah satu instrumen untuk mengurangi beban melarnya biaya kereta cepat. Agung khawatir beban pembengkakan biaya bakal mengganggu kinerja BUMN yang terlibat dalam konsorsium. Pemerintah sempat mewacanakan negosiasi perubahan komposisi saham ini saat Menteri BUMN Erick Thohir serta Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan melawat ke Cina pada Juni 2021. Namun, hingga kini, wacana tersebut tidak terealisasi.
Presiden Joko Widodo meninjau perkembangan konstruksi Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) berupa terowongan (tunnel) dua yang ada di Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat, 17 Januari 2022. presidenri.go.id/BPMI Setpres/Laily Rachev
Janji yang Tak Ditepati
Pada pertengahan Juni 2021, alih-alih ada perubahan komposisi saham Indonesia di KCIC, justru terjadi perubahan komposisi kepemilikan saham BUMN di PSBI. Dari semula dipegang Wijaya Karya ke PT KAI. Perubahan komposisi saham ini dikonfirmasi pemerintah pada Oktober 2021, dengan disahkannya Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021. Aturan ini pulalah yang memungkinkan anggaran negara dipakai untuk membiayai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Padahal, sewaktu meresmikan proyek ini hampir 7 tahun lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa proyek ini tak akan memakai duit negara. "Kereta cepat tidak gunakan APBN. Kita serahkan BUMN untuk business to business," ujar Jokowi pada 15 September 2015.
Setelah adanya Peraturan Presiden Nomor 93 itu, PT KAI pun mendapatkan dana PMN sebesar Rp 6,9 triliun pada Desember 2021. Dari duit negara tersebut, KAI mengalokasikan Rp 4,3 triliun untuk pemenuhan modal dasar (base equity) konsorsium BUMN Indonesia. Base equity ini, menurut Direktur Utama PT KAI Didiek Hartantyo, diperlukan agar dana pinjaman dari China Development Bank (CDB) dapat dicairkan. Dana tersebut akan dipakai untuk menalangi cost overrun proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Berkat setoran modal dasar itu, porsi kepemilikan saham PT KAI di PSBI meningkat dari 25 persen menjadi 51,37 persen. Adapun porsi saham BUMN lainnya adalah Wijaya Karya (39,12 persen), Jasa Marga (8,30 persen), dan PTPN VIII (1,21 persen). Konsorsium Cina pun turut menyetorkan modal, ditambah adanya tambahan pinjaman dari CDB. Total dana tambahan tersebut mencapai US$ 1,25 miliar.
Namun masalah pembengkakan biaya proyek kereta cepat tak selesai begitu saja meski base equity sudah terpenuhi. Setelah PT KAI menjadi pemimpin konsorsium, Kementerian BUMN meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) me-review potensi pembengkakan biaya proyek ini. Namun BPKP tak mengumumkan hasil tinjauannya kepada publik, melainkan langsung melapor ke Menteri BUMN pada 11 Maret 2022.
Pekerja menyelesaikan pembangunan stasiun Kereta Cepat Indonesia China yang terintegrasi dengan LRT di Halim, Jakarta, 4 November 2021. TEMPO/Tony Hartawan
Perbedaan Hitungan Cost Overrun
Hasil review BPKP baru mengemuka dalam rapat sejumlah BUMN bersama Komisi VI DPR, Kamis pekan lalu. Nilai cost overrun proyek kereta cepat Jakarta-Bandung versi BPKP diungkapkan Didiek Hartantyo dalam presentasi di hadapan anggota Dewan. Didiek menyebutkan BPKP menilai pembengkakan biaya mencapai US$ 1,176 miliar (sekitar Rp 16,8 triliun).
Tapi hasil perhitungan BPKP itu belum termasuk pembengkakan biaya akibat perubahan biaya yang berasal dari grup kontraktor High Speed Railway Contractor Consortium. Tambahan biaya itu rencananya diselesaikan lebih dulu melalui Dewan Penyelesaian Sengketa, sebagaimana diatur dalam kontrak konstruksi.
Kementerian BUMN lantas menghitung ulang biaya lain yang belum termasuk dalam review. Kemudian, pada 19 Mei 2022, Menteri BUMN Erick Thohir bersurat kepada para anggota Komite Kereta Cepat. Surat itu berisi pemberitahuan soal nilai cost overrun sesuai dengan hasil review BPKP, plus potensi biaya tambahan pada grup kontraktor, dan usul untuk menambah dana cadangan sebesar 5-8 persen dari nilai kontrak EPC.
Kementerian juga memasukkan potensi pembengkakan biaya yang terjadi akibat adanya tambahan eksposur pajak yang berasal dari pajak pertambahan nilai (PPN) atas cost overrun, perubahan kebijakan nilai PPN 10 persen menjadi 11 persen, dan eksposur pajak atas pengadaan tanah. Hasil perhitungan Kementerian BUMN ini menghasilkan angka cost overrun sebesar US$ 1,9 miliar (sekitar Rp 27,2 triliun)
Kepada anggota Komisi VI DPR, Didiek menyampaikan bahwa cost overrun proyek kereta cepat Jakarta-Bandung itu akan ditutupi sebanyak 75 persen dari pinjaman CDB. Sisanya, sebesar 25 persen, menjadi tanggung jawab konsorsium PSBI. “Jika tidak terdapat kepastian dalam hal pendanaan cost overrun, hal ini akan berpengaruh pada arus kas para kontraktor untuk dapat menyelesaikan proyek itu pada Juni 2023. Proses pembangunan dapat kembali terlambat atau terhenti,” kata Didiek.
Dengan asumsi demikian, PT KAI menghitung porsi pembengkakan biaya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang menjadi tanggung jawab sponsor Indonesia adalah sebesar Rp 2,5 triliun hingga Rp 4,1 triliun. KAI pun mengusulkan dana tersebut dipenuhi melalui penyertaan modal negara untuk tahun anggaran 2022, setelah ada keputusan dari Komite Kereta Cepat.
PRAGA UTAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo